Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Syarat Bukan Penolakan Halus, Akhi!

Syarat Bukan Penolakan Halus, Akhi!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Beberapa hari lalu seorang akhwat mengadu sembari meneteskan air mata. Sepertinya ia agak tersinggung dengan perkataan seorang temannya dalam sebuah percakapan singkat via telepon. Kira-kira seperti ini percakapannya:

“Assalamu’alaikum, ukhti!”

“Wa’alaikumsalam warahmatullahi”

Ukhti, lagi di mana?”

“Lagi di rumah teman, ada apa?”

Ane dengar dari mas (Fulan), anti sudah membuat keputusan”

“Iya, kok, Antum tahu?”

Ane diberitahu bahwa anti mengajukan syarat ini dan itu.”

“Iya, memang kenapa?”

“Itu sama saja anti menolak secara halus”

Astaghfirullah, cukup! Antum, nih terlalu jauh mencampuri urusan yang tak semestinya”

Tanpa mendengarkan perkataan sang akhwat, seorang teman tersebut melanjutkan kembali kalimat nasihatnya.

Ane sebagai seorang laki-laki, tak meragukan lagi ketaatan mas (Fulan), anti coba pertimbangkan lagi, coba istikharah lagi!”

“Tak ada yang meragukannya, Akhi, bahkan dengan segala pertimbangan dan melalui istikharah yang panjang ane sudah menerima dengan segala kelebihan dan kekurangan beliau.”

“Iya, tapi, kok, anti membuat persyaratan demikian, anti, kan tahu, beliau hidup dan mencari nafkah di tempatnya sekarang ini. Ya, wajar lah beliau merasa persyaratan itu amat berat.”

Afwan, ya, Akhi, Antum berbicara seperti itu, kok, ane merasa dihakimi. Bukan wewenang Antum. Kalau memang kami berjodoh, Allah akan menunjukkan jalan kemudahan.”

“Iya, ane tahu itu. Ane hanya ingin memberitahukan bahwa anti sangat rugi bila menolak mas (Fulan), susah mencari lelaki shalih. Ane mohon, anti istikharah lagi, ya!”

Usai menerima telepon, si akhwat meneteskan air mata. Nasihat temannya itu, memang selalu ada di benaknya. Ia membenarkannya. Tanpa ada nasihat dari sang teman, ia pun masih menimbang-nimbang keputusannya. Hanya saja, ia tidak rela kalau syarat yang diajukannya dikatakan sebuah bentuk penolakan secara halus kepada ikhwan yang hendak berniat baik padanya. Bukan kali pertama, ia menerima ucapan demikian dari pihak ikhwan. Makanya, sang akhwat merasa sangat tidak adil bila dikatakan demikian. Siapa yang hendak menolak lelaki shalih? Tidak ada.

Sepenggal kisah di atas, cukup menjadi pelajaran buat siapa pun yang mengalami kasus yang sama. Pernikahan, yang terbentur pada syarat. Pernikahan yang nyaris gagal karena syarat. Pernikahan yang tak jadi-jadi karena syarat. Intinya, banyak rencana pernikahan yang gagal karena syarat.

Seorang yang berilmu tentu tak akan menyalahkan ini dan itu, bila hal demikian sudah terjadi. Sebab, kita pun sudah amat yakin akan janji Allah tentang jodoh dan rezeki. Kalau jodoh takkan lari meskipun kau kejar. Dan kalau rezeki itu takkan tertukar.

Kita paham bahwa jodoh itu rezeki, maka tentu kita pun harus memahami bahwa bila hari ini, seseorang sudah memantapkan hati memilih dia, dia, atau dia untuk melabuhkan hatinya. Maka sudah tentu takkan ada alasan lagi baginya untuk mengatakan mengapa aku tak memilih, dia, dia, atau dia. Sudah, kita yakini, rezeki itu takkan tertukar. Jodoh itu adalah rezeki. Seperti apa pun seseorang menghendaki dan mengikhtiarkan seorang yang ditaksirnya, namun bila yang maha berkehendak tak merestuinya, tentulah ada jalan yang membuatnya tersendat, termasuk dengan “SYARAT” yang diajukan oleh kedua belah pihak. Ada DIA yang maha mengatur. Ada DIA yang mahatahu. Serahkan pada-Nya segala sesuatu. DIA mengetahui jalan terbaik bagi hamba-Nya. Dia mengetahui yang lampau, yang sedang terjadi, bahkan mengetahui yang akan terjadi ke depannya.

Penulis hendak berbicara pada kapasitas seorang penulis dan juga sebagai seorang perempuan.

Ada sisi yang tak bisa dimengerti dari makhluk ciptaan Allah yang bernama “perempuan”. Perempuan tercipta dengan begitu sensitif, hingga kadar sensitif tersebut tak bisa dibanding-bandingkan dengan ‘lelaki’. Perempuan begitu peka memaknai sesuatu hingga terkadang ada sesi di mana lelaki merasa bahwa perempuan adalah makhluk paling manja. Tak ada yang salah dengan kondisi demikian. Pun tak perlu dicari letak benar atau tidaknya pernyataan demikian. Bahkan, kalau sekiranya secara umum lelaki beranggapan bahwa perempuan adalah makhluk manja, silakan! Ruang berpendapat terbuka lebar. Namun, satu hal yang mesti dipahami bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Kapan ia tersinggung, maka butuh waktu untuk membuatnya kembali seperti sedia kala. Makanya, ia begitu sensitif. Lelaki pun perlu memahaminya, bahkan sesama perempuan pun mesti menyadari akan hal demikian.

Perempuan yang berilmu, maka tentu akan mampu mengambil keputusan, menimbang, dan bertindak bijaksana terhadap keputusannya. Keputusan yang diambilnya tentu melalui proses syar’i (istikharah) hingga terkadang kata hatinya selalu bersinergi dengan hasil istikharahnya. Pun jangan lupa, kodrat perempuan adalah makhluk Allah yang lembut. Termasuk perasaan. Wajar, bila kita melihat seorang perempuan bertindak cengeng sedang merajuk. Amat wajar. Pun wajar bila perempuan memiliki sensitivitas tinggi pada sebuah jalinan yang hendak dibangun, termasuk bahtera rumah tangga. Oleh karena itu pula, sering dijumpai, ada akhwat/ perempuan yang mengajukan syarat aneh-aneh, minta ini dan itu. Namun, pihak perempuan pun harus lebih bijak dalam mengajukan syarat dan tidak materialistis tentunya.  Terkait “SYARAT” ini, mungkin, ada pihak lelaki yang nyeletuk, “ada-ada saja syaratnya”, “manja sekali, sih, akhwat/ perempuan ini”, “tak punya pendirian, masa mengatasnamakan ibu, kakek, nenek, atau siapa lah”, “yang mau nikah siapa? Kok bawa-bawa keluarga?” Yah, bisa dipahami, kalau dalam sebuah ikatan suci, campur tangan keluarga kerap terjadi. Sekali lagi, kondisi demikian, amat wajar dan tak perlu mencari pembenaran atasnya. Sebab tentu masing-masing punya alasan.

Penulis teringat dengan kisah seorang sahabat yang ada rantauan, beliau seorang dosen muda di sebuah perguruan tinggi negeri di kota gading. Ia ditaksir oleh seorang dosen pula di tempat pengabdiannya. Sang sahabat belum sempat mengajukan syarat ‘ini dan itu’ kepada sang lelaki, namun pihak orang tua perempuan menginginkan agar anaknya tidak jauh-jauh dari kampung halamannya bila hendak mencari jodoh. Nah, kalau demikian, kan, repot. Kalau sang anak memiliki sifat seperti Abu Jandal (taat pada orang tua), maka tentu ia akan mengikut apa kata orang tuanya, sebab ia ingin mengabdi. Makanya, tak berani menolak. Ah, kondisi demikian, kan, masih bisa dicari jalan keluarnya. Maka, di sini lah biasanya, “SYARAT” bermain. Orang tua sahabat pun, bertanya, “Apa tidak bisa, ya, lelakinya pindah dan ikut kamu?”

“Tidak bisa, Umi. Justru saya yang harus menetap di sini (kota gading)!”

“Kalau begitu, ibu tak mengizinkan! Kami, tuh, mau kamu tidak jauh dari keluarga”

Ah, mengapa tidak melihat sisi lainnya. Mungkin, si lelaki, bagus agamanya, terpercaya akhlaqnya. Bisa saja, kan, orang tua luluh hingga merelakan anak gadisnya tinggal jauh darinya. Ikhtiar perlu juga. Kedua pihak perlu mengikhtiarkan bila hendak mengkhitbah dan dikhitbah, maka ia akan mencoba memudahkan segalanya sambil mencari jawaban (termasuk nego dengan keluarga) sembari istikharah. Jika sudah dilakukan, namun tetap tak menemukan solusi. Berarti memang belum diamanahkan untuk menjalani mahligai rumah tangga.

Kembali pada kisah sahabat, memang, sih, dia sudah terlalu lama pergi merantau dengan kondisi ‘masih sendiri’, tentu orang tuanya cemas. Bahkan, ia menginginkan anaknya tinggal dekat dari mereka. Jadi, amat wajar bila ia mengajukan syarat macam-macam, termasuk ‘lelaki ikut perempuan’. Kisah ini, bukan lah sebuah pembelaan atau pembenaran terhadap kondisi demikian. Hanya saja, ada batas-batas perasaan yang dimiliki oleh perempuan, namun tak dimiliki oleh lelaki, ‘sensitif’, ‘mengedepankan perasaan’ (termasuk mengikuti apa kata hatinya).

Bagi siapa pun, tak patut rasanya memiliki pendapat bahwa “syarat adalah penolakan secara halus”. Perlu penelusuran lebih jauh. Apa benar, syarat yang diajukan adalah niat untuk mencegat?  Na’udzubillah tsumma na’udzu billah. Semoga, kita dijauhkan dari sifat demikian.

Bagaimana, bila kisah Anda sama dengan kisah sahabat yang penulis ceritakan? Apa tidak bisa ditawar-tawar lagi? Katakan, bisa. Namun, jika sudah mentok, dan tak sesuai dengan harapan, itu berarti memang “bukan jodoh”. Wallohu’alam bissawwab.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (22 votes, average: 8.32 out of 5)
Loading...

Tentang

Fasilitator Komunitas Guru Gugus SGI Dompet Dhuafa. Bantaeng, Sulsel.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization