Topic
Home / Pemuda / Cerpen / My Lovely Bunda (Bagian ke-2)

My Lovely Bunda (Bagian ke-2)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – ‘Bunda! Jangan pernah menyebut kata itu lagi Bunda. Bunda mau, anak Bunda ini jadi gila? Apa yang terjadi dengan GFF jika mendengar kabar kalau salah seorang member Garuda Boys yang paling tampan, lead vocal paling karismatik dan satu-satunya member yang dari hari-kehari semakin keren dan awet muda ini tiba-tiba mendadak gila gara-gara bundanya baru saja menyebut-nyebut kata mati?’ Alif masih sempat narsis berlipat-lipat di tengah kegusarannya. Seakan-akan aura kenarsisan semua member berkumpul di dalam dirinya. Narsisnya si bungsu evil Garda apa lagi, lebih mendominasi!!

‘Ish…’ Bunda menjauhkan tangan sang putra dari bibirnya dengan kesal. ‘Kau…Alif, kau mempermainkan Bunda?’ Bunda mulai memasang ekspresi yang merupakan jurus terakhir dan yang pasti jurus andalannya. Nah…nah bersiap-siaplah dirimu, Alif Darmawan!

‘Mr. Alif,’ mata Bunda sudah mulai memerah, pokoknya wajah itu mendadak sendu dan sangat kelabu membuat Alif mendadak sulit berkutik. ‘Kau tidak menyayangi Bunda?’ Bunda mengusap air matanya sambil sesenggukan. Alif ternganga, merutuki dirinya sendiri karena telah berani-beraninya membuat wanita yang sangat disayanginya ini meneteskan air mata. Alif meremas rambutnya dan meringis mulai putus asa dengan keadaan ini. ‘Bunda,’ lirihnya tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan air mata itu karena air matanya juga mulai menggenang di pelupuk mata.

Ternyata memang benar kata pepatah, cinta seorang ibu sepanjang jalan. Melihat ekspresi putranya yang tak ubahnya seperti anak hilang, Bunda menghapus air matanya dan kembali memasang senyum seorang ibu.

‘Ya…ya, Bunda tahu, tak perlu Bunda tanyakan pun, Bunda sudah tahu kau sangat menyayangi Bunda. Sudah, sudah hapus air matamu, jelek sekali,’ Bunda meraih pipi putranya dan mengusap-usapnya lembut, berusaha menghentikan air mata putranya yang mungkin sebentar lagi akan jatuh.

‘Ow, putra Bunda yang sudah sebesar ini, kenapa mudah sekali menangis sih? Jelek sekali,’ bujuk Bunda sambil merapikan rambut Alif yang memang modelnya awut-awutan.

Dan benar saja, air mata itu pun jatuh sudah. Tes…tes, melewati wajah datarnya dan jatuh ke punggung tangan Bunda yang masih mengusap pipi Alif.

Ahda yang tadinya sibuk melayani pengunjung dan memang sesekali memperhatikan perdebatan antara dua orang ibu dan anak itu sekali lagi menolehkan pandangannya kepada bunda dan abangnya dan mendapati pemandangan yang tak enak di pandang mata itu.

‘Cih…!! Ada apa lagi dengan si kepala besar itu?’ sungutnya di dalam hati. Pengunjung yang tengah menunggu pesanannya membuat Ahda akhirnya mengurungkan niat menghampiri bunda dan abangnya itu.

‘Hey! Sudah, kenapa malah kau yang menangis sih? Seharusnya Bunda yang menangis,  kenapa kau yang menangis? Cih…! Mana lead vokal Garuda Boys yang melegenda itu? Cengeng sekali, hapus air matamu!’ bujuk Bunda lagi.

Alif menuruti perintah bundanya, ia menghapus air matanya dengan punggung tangan sambil sesekali sesenggukan. Terbayang bukan, seorang pemuda umur 28 tahun sesenggukan seperti apa?

‘Sssst, sudah…’ tangisan Alif sudah mulai reda. Ia sudah tak sesenggukan lagi.

‘Maafkan Bunda ya, Bunda tak akan mengulanginya lagi,’ gak kebalik tuh, bang?

‘Ti-dak,’ suara Alif yang memang serak serak basah sekarang tambah serak dan bergetar, pipinya basah oleh bekas-bekas air mata, begitu juga dengan bulu matanya masih dipenuhi oleh bulir-bulir air mata. Puncak hidung mancungnya memerah. Benar-benar deh seperti bocah yang baru saja raungannya mereda. ‘Aku yang harus minta maaf, aku yang jahat karena telah membuat Bunda menangis. Maaf Bunda,’ ujarnya nyaris hampir menangis lagi.

‘Ish… Kau lihat ‘kan, Bunda tidak jadi menangis? Jika kau tak ingin Bunda menangis, hentikan tangisanmu yang konyol itu! Sudah setua ini masih juga menangis,’ Bunda berdecak sok kesal menghadapi tingkah Alif.

Mendengar ancaman bundanya, Alif mendadak memasang senyum yang menawan hingga mata kecilnya menghilang. Detik kemudian, Alif sudah berada dipelukan bundanya. Kedua tangan Alif melingkar disekeliling pinggang Bunda dan kepala besarnya bersandar di bahu wanita paling dipujanya di dunia ini.

‘Tapi, Alif, putra Bunda sayang… Sekali ini saja, bantu Bunda, ya? Bunda sudah terlanjur berjanji dengan teman Bunda mengenalkan kau dengan putrinya, putri angkatnya. Bunda akan merasa sangat tidak enak sekali pada teman Bunda itu jika Bunda mengingkari janji Bunda. Bunda janji ini yang terakhir kalinya, kita hanya perlu bertemu, setelah itu Bunda berjanji tidak akan mengungkit masalah pernikahanmu lagi. Kau bebas menentukan kapan kau akan menikah, Bunda tak akan mengganggumu lagi,’ Bunda membelai pelan kepala Alif yang bersandar di bahunya.

‘Benarkah, Bunda? Ini yang terakhir ya?’ dengan sedikit ragu akhirnya Alif mengangguk, memenuhi permintaan Bundanya. Tapi, kata ‘yang terakhir’ membuatnya merasa risih jika memikirkan makna lain dari kata-kata itu. ‘Maaf Bunda, tapi aku tetap ingin melanjutkan mimpi-mimpiku dulu ya, Bunda,’ rengek Alif yang dibalas anggukan oleh Bundanya. Menyetujui ikut denganku besok saja, itu sudah sangat luar biasa bagiku Alif sayang, kita lihat saja besok apakah kau akan tetap bersikukuh dengan kata ‘nanti..nanti’-mu itu? bunda membatin.

Tiba-tiba, Ahda sudah berdiri di depan ibu dan anak itu. Alif menatap Ahda tajam, seolah-olah tatapan itu menyuarakan isi hatinya; ini gara-gara kau! Coba aku juga punya alasan seperti dirimu, ‘masih kecil’ lah, ‘melanjutkan kuliah dulu’ lah, ‘harusnya abang duluan’ lah, aku pasti juga merdeka dari ‘nerakanya’ orang dewasa ini. Aku kan masih muda. Banyak GFF yang mengakui aku masih imut-imut. Hidupku rasanya terlalu menyenangkan hanya untuk dipusingkan oleh hal-hal yang berbau ‘dewasa’. Begitu panjang pergolakan batin Alif sampai-sampai ia hanya baru tersadar ketika jitakan Ahda mendarat di kepalanya. ‘Bang! Kau manja sekali…Kau tak layak jadi abangku. Minggir Sana!’

Bunda hanya terkekeh melihat tingkah dua pangerannya.

Tindakan Ahda membuat Alif melepaskan pelukannya dari bunda.

‘Bocah! Awas kau!’ Alif meradang dan berniat mengejar Ahda yang berlari menghindari abangnya.

 

******

Alif POV (Point of View)

Dan di sinilah aku sekarang, berada di belakang ekor bunda. Eh, salah! Maksudnya, aku sekarang mengekori ke mana bundaku melangkah. Hey!!! Aku tidak sedurhaka itu sampai-sampai mengatai bundaku sendiri memiliki ekor. Jika itu terjadi, berarti aku juga punya ekor dong karena aku terlahir dari keturunan yang memiliki ekor. Ah, sudahlah, sepertinya aku sudah mulai gila. Sebagai orang yang dikenal jutaan GFF si pemuda anehnya Garuda Boys yang berbakti dan penyayang kepada orang tua, aku ingin sekali mewujudkan harapan bundaku; memberinya seorang menantu dan cucu sesegera mungkin. Tentu saja aku akan mewujudkannya, tapi tidak sekarang. Dan semua orang juga tahu semua harapan bundaku pasti aku wujudkan, salah satu harapan bundaku; mempunyai anak tertampan dan sukses menjadi penyanyi yang go internasional, sudah! Sebagi Muslim, menghajikan keluarga, sudah! Lalu, menghadiahkan Café Bunda yang sudah lama diimpi-impikan Bunda, juga sudah! Jika disebutkan satu persatu, tentu fiksi ini akan berubah menjadi sebuah novel bukan lagi sebuah cerpen. Nah, sekarang harapan yang bunda bilang harapan terakhirnya ini pasti juga akan kuwujudkan, aku ‘kan anak yang berbakti. Tapi, masalahnya adalah waktu, bunda maunya sekarang juga, sementara aku berharap, bunda bersabar sebentar lagi. Jujur, aku masih belum puas bermain (Ingat umur, bang!).

Ting… Tong! Kami tiba di depan rumah yang terlihat sederhna, tetapi ukurannya luar biasa besar. Berapa banyak jumlah penghuni rumah ini? Pikirku, sebelum akhirnya aku melihat plang yang berdiri di depan rumah besar itu. ‘Panti Asuhan bla bla bla’

Oh panti asuhan, toh?

Seorang wanita seumuran bundaku muncul di balik pintu dan melongokkan kepalanya ke arah kami yang masih berdiri di balik pagar bercat hijau ini. Rupanya itulah teman bunda yang sering beliau ceritakan. Setelah saling berpelukan -bunda dan temannya itu- bunda memperkenalkan aku pada temannya dan akhirnya aku dibawa ke dalam panti asuhan yang memang besar. Panti asuhan sekarang memang dalam keadaan sepi, karena sebagian besar penghuninya sedang bersekolah. Aku duduk di sebuah kursi ruang tamu sambil sesekali melirik foto-foto yang bergelantungan di dinding. Banyak sekali fotonya, sepertinya foto penghuni panti ini. Dalam setiap foto itu terdapat dua orang atau lebih dan masing-masing mereka mempunyai medali-medali penghargaan yang tergantung di leher mereka, sepertinya mereka berfoto sehabis memenangkan sebuah perlombaan. Kulihat Bunda masih asik bercengkrama dengan temannya dan sesekali teman bunda menanyaiku yang kujawab ala kadarnya. Meski pun aku terkenal dengan sikap konyolku, aku bisa jadi jauh lebih pendiam di depan orang yang jauh lebih tua dariku. Takut, jika sikap konyolku nantinya membuat orang itu beranggapan aku tak menghormati orang yang lebih tua.

Tiba-tiba, seorang wanita, eh, gadis menghampiri kami sambil menating nampan yang di atasnya terdapat gelas-gelas yang berisi minuman yang kelihatannya menggiurkan. Akhh, kebetulan aku sedang haus sekali. Air liurku menetes. Gadis itu berhenti sejenak di depan pintu dan memberi salam kepada kami semua yang ada di hapannya. Oke, maksudku kepada aku dan bundaku. Setelah gadis itu mempersilahkan kami minum aku langsung menyambar minuman itu.

‘Zahra, duduk sini dekat Bunda,’ kudengar tante, teman bunda memanggil gadis itu yang baru saja akan berbalik kembali ke ruangan di mana ia muncul tadi. Kulihat dari sudut mataku    -karena aku sedang menyeruput minumanku- gadis itu menghentikan langkahnya dan duduk di samping tante.

‘Zahra, kau tidak ingin berkenalan dengan tamu kita ini? Bukankah kau mengidolakan Garuda Boys? Kau tidak ingat, siapa pemuda tampan di depan ibu ini?’ ujar tante yang entahlah aku lupa namanya- sambil tersenyum jahil.

Mendengar Garuda Boys disebut-sebut, aku pun memusatkan perhatianku sepenuhnya ke pada gadis itu. Tentu saja aku harus memberikan ‘servis’ terbaikku untuk GFF, aku mulai memamerkan senyum handalanku. Gadis itu juga menatapku dan membalas senyumku sekilas. ‘Tentu saja aku kenal dan ingat, Bu. Alif Garuda Boys siapa yang tidak kenal. Seluruh Asia juga kenal, Bu. Aku hanya malu dan tidak menyangka ternyata sekarang aku sedang berhadapan dengan seorang member Garuda Boys yang aku idolakan,’ gadis yang dipanggil Zahra oleh ibunya ini berbicara sambil melirikku dan ibunya bergantian dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. Jika kugambarkan gadis ini…gerak geriknya, gestur tubuhnya atau pembawaannya, atau apalah namanya mengingatkan aku pada Ana Atafunnisa, pasangan main bang Indra, leader boy band kami, di Filem Ketika Cinta Bertasbih yang dibintanginya. Tenang dan murah senyum. Kalau dari segi penampilan…Hahaha, rasanya aku ingin tertawa ketika bayangan itu melintas di kepalaku, untung saja hanya di dalam hati, penampilannya mengingatkan aku pada Risti dan Rara, dua gadis asing yang ada di acara variety show yang dibawakan boy band kami. Mereka gadis yang berpenampilan sederhana, selalu berpakaian sopan dengan blus dan rok yang juga panjang. Tapi, meski sederhana dimataku mereka punya daya tarik tersendiri. Biasanya benda yang bernilai seni tinggi, berkualitas dan berdaya jual mahal tidak akan diletakkan di sembarang tempat. Begitu juga dengan mereka, mereka jelas adalah dua gadis yang tau betul bagaimana menghargai diri sendiri. Bagi mereka cantik tak harus buka-bukaan. Biasanya suatu daerah yang belum terjamah oleh hiruk pikuk kota pasti masih asri, segar dan indah. Tanpa sadar aku mengulum senyum, sejak kapan aku tertular penyakit si  Rangga, lead dancernya boy band kami yang otaknya condong agak ke ‘kiri-kirian’ itu?

Eh…Tapi, jika kubandingkan dia dengan Risti dan Rara yang variety shownya mengudara sekitar lima tahunan yang lalu di Indonesia, berarti gadis ini termasuk gadis yang kuno. Huwahaha, di jaman sekeren sekarang masih saja ada gadis berpenampilan kuno seperti dia. Kurasa, bukan kuno, tapi klasik. Bukankah benda klasik itu sekarang malah bernilai jual mahal, antik, sulit didapat dan diburu banyak peminatnya? Apa-apaan aku ini? Kutahan hasratku yang ingin tertawa, kupasang kembali wajah datarku mengingat orang yang bersangkutan sedang berada di depanku sedang berbicara dengan bunda. Bunda sejak tadi sering sekali melirikku, memberikan isyarat-isyarat yang tak jelas agar aku bicara dan sepertinya beliau ingin aku menggoda gadis berjilbab itu. Memangnya aku ini jin bernama iblis yang dijebloskan ke bumi hanya untuk menggoda umat manusia? Yang benar saja bunda!!! Sudah jelas aku ini tipe pria baik-baik yang mendadak jadi pendiam jika berdekatan dengan perempuan apa lagi katanya gadis ini lah yang akan di jodohkan denganku. Semua orang boleh mengenal aku sebagai lelaki yang aneh, kocak, konyol dan bisa mengundang tawa banyak orang yang ada disekitarku, tapi jika diminta dekat atau bergaul dengan perempuan aku bukan ahlinya. Ya…meskipun aku punya abang yang ahli dalam hal perempuan seperti Bang Gilang, member boyband kami yang berwajah cantik, yang punya banyak teman perempuan, dan entah kenapa sedikitpun kelebihannya itu tak menular sedikit pun kepadaku. Bukan berarti aku tidak punya teman perempuan sama sekali. Aku punya, tapi, yah, pertemananku dengan makhluk yang bernama perempuan itu selalu berlandaskan sebuah kepentingan. Misalnya, rekan kerjaku di dunia musik, atau kenalanku di sebuah reality show, tidak pernah ada hubungan pertemanan yang melibatkan perasaan antara aku dengan perempuan mana pun. Ah sudahlah, dialog batinku ini harus dihentikan secepatnya jika aku tak ingin wanita-wanita di depanku ini menganggap aku sebagai pemuda bodoh yang paling tampan di tanah air ini.

 

Writer POV

‘Bang…bukan begitu,’ ujar seorang pemuda yang logat Minangnya cukup kentara.

‘Setahuku, di sana bukan tempat yang strategis untuk bisnis ini. Terlalu sepi,’ tambah pemuda itu lagi. Wajah pemuda yang baru saja berbicara, agak mirip dengan seorang pemuda yang memiliki bakat sebagai dancer, khususnya tarian-tarian yang luar biasa konyol, norak, dan gaje (gak jelas). Matanya juga mirip dengan pemuda yang ternyata tarian-tarian norak itu hanyalah bakat sampingan, dan bakat utamanya adalah suara emas yang sukses mengantarkan sang pemuda menjadi lead vocal boyband papan atas Indonesia.

‘Justru itu, Ahda! Kita akan bikin tempat itu menjadi hidup. Kehadiran kita di sana akan meramaikan kembali tempat itu. Kau tidak lupa bukan, kita hanya perlu mengembalikan kejayaan tempat yang dulu pernah menjadi tempat teramai di Jakarta,’ balas pemuda kedua yang lebih tua dari pada pemuda yang disebut-sebut agak mirip dengan salah seorang member boyband tadi. Dan, ya, ternyata pemuda yang agak mirip dengan pemuda yang- entahlah siapa itu- bernama Ahda.

Ahda menyipitkan matanya yang memang sudah sipit. Maklumlah, ibu Minang, Ayah Cina.  Meringis ragu pada pemuda yang ada di depannya, sebuah tanda-tanda dari seorang Ahda bahwa ekspresi seperti itu menunjukan ia sedang berfikir.

‘Betul Bang, ide bagus itu. Aku setuju. Masyarakat di sekitar tempat itu pasti bersyukur jika kita berhasil menghidupkan tempat itu lagi karena mereka pasti akan memperoleh keuntungan juga. Perekonomian mereka mungkin akan bangkit kembali. Orang-orang akan berbondong-bondong untuk berbisnis di daerah itu lagi,’ Ahda menoleh pada pemuda ke tiga dari tiga dialoger yang akhirnya mengeluarkan statemen setelah lama berdiam diri. Dan, pemuda ketiga ini adalah pemuda yang dari tadi di sebut-sebut sebagai pemuda yang sedikit menyerupai Ahda.

Ahda masih memandangi pemuda yang duduk di sampingnya itu dalam keadaan mulut yang tidak mingkem. Tanda-tanda yang kesekian dari Ahda bahwa dia masih dalam keadaan berfikir. Pemuda yang katanya mirip Ahda itu menyeruput capucino dingin berpenyedot blue sapphire-nya.

‘Kenapa kau bisa seyakin itu, Bang?’ ujar Ahda lagi akhirnya. Masih kepada pemuda di sampingnya.

‘Ck…Bocah! Kau lupa siapa abangmu ini, heh?’ retoris pemuda kedua yang lebih tua seraya mengacungkan telunjuknya pada pemuda di samping Ahda dengan masih menatapi Ahda.

‘Alif Darmawan -lead vocal dari boyband papan atas Indonesia yang mendunia – sekaligus putra sulung dari seorang wanita bersahaja, Nurhaliza Darmawan!’ ujar seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah alotnya perdebatan ke tiga pemuda keren tadi. Kalimat itu diucapkan dengan penuh penekanan. Layaknya kalimat yang disabdakan oleh seorang ratu yang menuntut agar seluruh perhatian bawahannya hanya ditujukan untuk sang ratu seorang. Ketiga pemuda itu pun menoleh dan memusatkan perhatian kepada wanita yang akhirnya duduk di salah satu bangku di samping mereka sambil memamerkan gigi-giginya.

‘Rapatnya belum selesai Bunda. Kenapa Bunda sudah ada di sini?’ ujar Ahda menyela senyum sumringah bundanya.

‘Ck! Apa-apaan ini, bukankah pemilik cafe ini adalah aku? Kenapa aku tidak diikutsertakan dalam rapat ini?’ Bunda berdecak kesal menerima penolakan putranya.

‘Bunda, sudah kubilang menjadi pemilik itu tugasnya hanya duduk-duduk saja sambil mempertimbangkan ide-ide bawahannya, memutuskan lalu memerintah. Apakah perlu kuulangi berulang-ulang kali?’ Ahda menghitung dengan jari-jari tangannya, dengan wajah yang juga berpotensi datar seperti wajah Alif, abang kandungnya. Alif hanya tersenyum-senyum melihat tingkah Ahda yang mengajari bundanya. Anggap saja di sini bundanya Alif agak tidak terlalu pintar ya.

‘Ya, ya, aku tahu. Aku hanya mau mengingatkan, cepat selesaikan rapatnya, setelah ini sebelum pulang, kau masih harus berbicara denganku, Alif Darmawan! Ada hal penting yang ingin kubicarakan,’ tandas Omma kesal karena ia diajari oleh anaknya sendiri, lalu pergi memulai aktivitasnya lagi yang tadi sempat tertunda. Bersih-bersih.

— Bersambung…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 8.67 out of 5)
Loading...

Tentang

Lulusan Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang, angkatan 2005. Diwisuda pada bulan September 2011. Pada tahun ajaran baru ini insyaallah akan berkegiatan mengajar di sebuah TKIT di kota Pariaman.

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization