Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menyibak Tabir Rahasia Basmalah

Menyibak Tabir Rahasia Basmalah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (hdn)

dakwatuna.com – Allah SWT berfirman:

إِنَّهُ مِن سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ ﴿٣٠﴾ أَلَّا تَعْلُوا عَلَيَّ وَأْتُونِي مُسْلِمِينَ ﴿٣١﴾

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Naml [27]: 30-31)

Abu Hurairah RA berkata:

(كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ)

“Setiap perkara penting yang tidak didahului dengan Basmalah maka ia kehilangan berkah.”[[1]]

Sadar atau tidak sadar, Basmalah terucap seperti air sejuk yang memenuhi rongga-rongga tenggorokan di bawah terik sinar mentari. Akan tetapi, pernahkah kita berhenti sejenak merenungi maknanya. Ia dengan lihai menyulam renda-renda keagungan, keindahan, dan kesempurnaan Sang Maha Pencipta yang memesona dengan pintalan-pintalan makna, mengukir seni kehidupan dengan taburan-taburan warna. Singkatnya, tulisan ini mengajak pemerhati Basmalah berhenti sejenak menelaah sejauh mana makna yang dipancarkannya.

Karena Basmalah melukiskan kepapaan manusia dan khazanah kekayaan ilahi yang abadi, maka tulisan ini lebih memilih bentuk tanya jawab untuk memungut makna-makna tersebut. Bukankah pertanyaan tanda tidak tahu? Bukankah sebaik-baik pemberi tahu adalah Allah yang Maha Mengetahui? Semoga dengan pertanyaan yang lahir dari kepapaan ini penulis dan Anda sekalian mendapatkan pembukaan dan pencerahan dari Allah Pemilik Basmalah.

Jika Anda bertanya: di ayat pertama Nabi Sulaiman AS menyebutkan Basmalah lebih awal dari kalimat (أَلاَّ تَعْلُوْا عَلَيَّ، وَأْتُوْنِيْ مُسْلِمِيْن) di saat menyurat ke Ratu Balqis. Mengapa kalimat itu bukan yang pertama kali disebutkan? Bukankah ia maksud utama dari surat tersebut?

Kepada Anda dikatakan: di sana ada dua ungkapan yang cukup berbeda, pertama: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang saya membaca, mengaji…,”dan kedua: “saya membaca, mengaji… dengan menyebut nama Allah.” Tentunya, ungkapan pertama jauh lebih bermakna dari ungkapan kedua dari pelbagai sisi, di antaranya: tidak ada segala sesuatu yang terjadi kecuali dengan izin-Nya, hasil usaha tidak selamanya mendatangkan berkah meski terlihat di hadapan mata banyak dan baik. Olehnya itu, supaya menuai berkah ingat Allah Pemberi Berkah sebelum memulai, Ia starting point terhadap kesinambungan berkah pekerjaan. Kemudian, ia juga menyinarkan bahwa kekuatan bukan dengan memperlihatkan kecongkakan dan kesombongan, tetapi lebih ditentukan oleh sejauh mana hamba memperlihatkan kepapaan dan kelemahannya di depan kekayaan dan keagungan-Nya.

Di sini Nabi Sulaiman AS seperti berseru dan berkata: “Wahai Balqis, Seruan itu datang dari-Nya (اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ) yang melapisi kelemahanku dengan tekad baja, memberikan aku kekuatan materi dan maknawi yang lahir dari kepapaanku terhadap keagungan-Nya, dan mengajarkan aku kelemahlembutan dalam menjalankan politik negara. Aku tidak menyeru kalian tunduk terhadapku kecuali seruan dan kekuatan itu datang dari-Nya. Maka tunduklah sebelum kelemahlembutan ini habis masa!”

Sistematika seperti ini telah dijumpai di orang-orang Arab dahulu. Mereka sering mengatakan: “Dengan Bismillah aku bekerja,” dan bukan: “aku bekerja dengan Bismillah.” Jika Anda bertanya: “Kenapa seperti itu? Bukankah keduanya sama saja?” Mereka menjawab: “yah, seperti itu, karena ia adalah doa yang mampu melahirkan rasa kebersamaan dengan Allah dalam hati, sehingga dengan sendirinya tiada menjadi ada, sedikit jadi banyak, dan perasaan lemah jadi kekuatan yang tidak terpadamkan. Inilah yang disebut sebagian orang berkah Basmalah.

Dalam hal ini mari melihat secara saksama simfoni makna yang dilantukan goresan pena Prof. Dr. Muhammad Bakr Ismail (guru besar tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an di universitas Al-Azhar), beliau berkata:

“Hamba diminta kembali meminta pertolongan dan perlindungan kepada-Nya dengan segenap hati, ruh, akal, dan panca indera, karena tidak ada tempat berlindung dari-Nya kecuali kepada-Nya. Merasa butuh dan ingin kembali kepada-Nya merupakan pengejawantahan tauhid tertinggi sebagai tempat bernaung orang-orang dahulu dan yang akan datang di kemudian hari.

Sesungguhnya semua entitas kehidupan tanpa Allah yang Maha Esa nol besar, tidak punya arti apa-apa. Akan tetapi, dengan meminta kebersamaan Allah nol menjadi 10, dua nol menjadi 100, dan seterusnya. Cermati misal ini, dan jangan lalai dari kandungannya.

Makna ini telah diterjemahkan oleh salah seorang penyair ketauhidan dalam syairnya berikut ini [[2]]:

اللَّه قُلْ وَذَرِ الوُجُوْدَ وَماَ حَوَى  #      إِنْ كُنْتَ مُرْتَادًا بلُوْغَ كَمَالِ

فَالْكُلُّ دُوْنَ اللهِ إِنْ حَقَّقْتَهُ     #      عَدَمٌ عَلَى التَّفْصِيْلِ والإِجْمَالِ[[3]]

Jika Anda bertanya yang kedua kalinya: “kenapa di Basmalah kita meminta berkah dengan menyebut nama-Nya: (بِبِسْمِ اللَّهِ), kenapa tidak langsung saja menyebut zat-Nya dengan: (بِاللَّهِ)?”

Syekh Abu Suûd menyuguhkan kepada Anda dua jawaban, beliau berkata:

“Tidak dikatakan (بِاللَّهِ) demi membedakan antara sumpah dan harapan, atau guna mewujudkan tujuan utama pemaknaan, yaitu (الاسْتِعَانَةُ), meminta pertolongan. Kita kadang meminta pertolongan dengan menyebut zat-Nya. Artinya: meminta pertolongan untuk melakukan sebuah pekerjaan yang wajib dilaksanakan selaku hamba. Makna ini tersirat di (إِيَّكَ نَعْبُدُ), dan kadang juga dengan nama-Nya. Artinya, meminta pertolongan dan rahmat-Nya supaya pekerjaan itu punya nilai ibadah di mata syariat sehingga ia punya berkah, karena jika tidak disertai dengan nama Allah, maka ia pun tidak terhitung dan sia-sia. Dan tatkala kedua bentuk permintaan itu terdapat di al-Fatihah maka makna terakhir ini wajib dibedakan dari yang pertama dengan menempatkan kata (الإِسْم).”[[4]]

Hematnya, Karena Al-Fatihah pembuka surah-surah Al-Qur’an, ia seperti telah dirancang khusus untuk mengoleksi kedua pemaknaan ini, sehingga dengan sendirinya ia mengajarkan adab berdoa. Ia seperti berkata: “wahai hamba Allah, jika Anda ingin berdoa, maka berdoalah dengan menyebut Zat atau nama-Nya, atau kedua-Nya.” Di satu sisi, ia mengisyaratkan bahwa hamba dalam berdoa hendaknya kondisi kejiwaannya mengalami peningkatan derajat (التَّرَقِّيْ المَعْنَوِي) dari satu makna ke makna yang lebih dalam lagi.

Tetapi, kenapa yang datang setelah (الإِسْم) adalah (الله) dan bukan nama-nama-Nya yang lain?

Di sini saya mengajak Anda menemukan jawabannya dengan berupaya mencerna pernyataan Syekh Mutawalli as-Sya’rawi berikut ini:

“Asmaul Husna adalah nama-nama yang Allah letakkan guna menunjukkan zat-Nya. Petunjuk tersebut ada dua bagian: (دِلاَلَة ٌعَالَمِيَّة), yaitu nama yang menunjukkan langsung zat Allah yang wajib, yaitu (الله). Adapun nama-nama lain, seperti: (الرَّحْمَن) pada dasarnya mereka menunjukkan kesempurnaan sifat-sifat Allah, meskipun kita menyebut mereka sebagai nama. Inilah yang lebih dikenal dengan (دِلاَلَةٌ وَصْفِيَّةٌ).

(الله) mengoleksi keagungan, keindahan, dan kesempurnaan zat maha pencipta yang dibiaskan oleh nama-nama-Nya yang melukiskan nilai-nilai ketuhanan demi menjaga keseimbangan hidup di kosmos ini.

Karena Allah Tuhan semesta alam, maka kekuasaan-Nya butuh pelaksanaan, dan pelaksanaan-Nya lahir dari kepemilikan, dan kepemilikan-Nya butuh pengaturan, dan pengaturan-Nya butuh kepada perintah, dan perintah-Nya itu butuh kepada kekuatan pelaksanaan yang ada di zat Allah sendiri.[[5]]

Sebelumnya itu, Ustadz Said Nursi juga telah menjelaskan makna di atas, beliau berkata:

“adapun (الإِسْم) maka ketahuilah bahwa Allah punya nama-nama yang menunjukkan zat-Nya dan nama-nama yang menunjukkan sifat perbuatan-Nya, seperti: (الرَّزَّاق) yang Maha Pemberi Rezeki, (الغَفَّار) yang Maha pengampun, (المُحْيِي) Yang Maha menghidupkan, dan yang lain. Keanekaragaman nama-nama Allah disebabkan oleh banyaknya keterikatan Qudra Azali Allah terhadap pelbagai bentuk makhluk. Olehnya itu, (بِبِسْمِ اللَّهِ) sarana terbaik meminta keterikatan Qudra tersebut sehingga dengan sendirinya ia seperti ruh yang menjadikan setiap pekerjaan punya nuansa hidup.

Sementara itu, lafal (الله) mencakup seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang dibiaskan oleh nama-nama-Nya yang lain.[[6]]

Hematnya, karena (الله) penamaan terhadap zat-Nya yang mengoleksi kesempurnaan sifat-sifat yang dilukiskan oleh nama-nama-Nya yang lain, maka ia pun disebutkan lebih awal dan nama-nama yang datang setelahnya seperti penafsir-penafsir yang sedang memberikan penjelasan tersendiri terhadap kesempurnaan, keagungan, keindahan zat yang ditunjukkan oleh (الله) itu.

Jika Anda bertanya yang ketiga kalinya: Kenapa (الرَّحْمَن) peletakannya mendahului (الرَّحِيْمِ)? Bukankah keduanya terambil dari akar kata yang sama, yaitu: (الرَّحْمَة)? Bukankah (الرَّحْمَن) yang maknanya lebih luas dari (الرَّحِيْمِ) [[7]] seyogianya ditempatkan di akhir kalimat, khususnya, Basmalah sebagaimana yang diketahui mengoleksi nikmat yang paling tinggi, yaitu rahmat Allah SWT terhadap makhluk? Dan jika salah satu gaya pembahasan Al-Qur’an dalam memamerkan aneka ragam nikmat adalah menyebut yang terkecil ke yang terbesar, kenapa di sini justru terbalik?

Di sini, para pemerhati tafsir telah mengorek indera rasa Anda dalam memberikan pemaknaan. Olehnya itu, Anda dipersilakan menyibak kabut-kabut tipis yang melindungi penglihatan Anda dari makna-makna yang ada lewat pernyataan Jarullah az-Zamakhsyari berikut ini:

“Yang demikian itu karena tatkala (الرَّحْمَن) meliputi segala bentuk kenikmatan dan nikmat-nikmat yang besar, maka ia pun menyebut setelahnya (الرَّحِيْمِ) sebagai penyempurna, mengingat ia meliputi nikmat yang sering dilupakan hanya karena kelalaian atau sulit terdeteksi oleh indera.”[[8]]

Olehnya itu, Molla Abdullah Majid Nursi [[9]] melihat bahwa mekanisme seperti ini bertujuan memberikan peringatan terhadap mereka yang kadang lalai mensyukuri nikmat yang tidak nampak olehnya, atau nampak tetapi kelihatan kecil baginya, dia ada atau tidak sama saja untuknya. Jadi, (الرَّحْمَن الرَّحِيْم) seperti berkata ke wajah mereka memperingatkan: “Wahai yang lalai dari nikmat Allah! Semua nikmat itu sama, meskipun di kaca mata manusia ada yang kecil dan ada yang besar. Itu karena semuanya datang dari satu sumber, yaitu Maha Pemberi Rezeki yang tidak membedakan antara satu dengan yang lain. Maka dari itu, mulailah sekarang menghargai dan mensyukuri setiap nikmat meski ia nampak kecil di mata Anda!”

Selain jawaban ini, di sana ada jawaban lain yang diutarakan oleh Imam Zainuddin ar-Razi, beliau berkata:

(الله) disebutkan terdahulu karena nama ini hanya khusus untuk Allah semata, baik ia berdiri secara sendiri atau bergandengan dengan kata lain, (الرَّحِيْم) dapat disandang selain dari Allah baik ia berdiri sendiri [[10]] atau bergandengan dengan kata lain, [[11]] sehingga ia ditempatkan di akhir kalimat, dan (الرَّحْمَن) dapat disandang selain dari-Nya jika bergandengan dengan kata lain, seperti: (عَبْدُ الرَّحْمَن), dan tidak bisa disandang secara tersendiri sebagai sifat selain dari-Nya.”[[12]]

Hematnya, pernyataan singkat ini memberitahu umat tata cara dan adab penggunaan Asmaul Husna. Dan karena Musailamah al-Kassab menamakan dirinya (رَحْمَن اليَمَامَة), ia pun terbunuh dengan keji oleh umat Islam di perang Yamamah sebagai balasan terhadap kelancangannya melanggar tatakrama nama-nama Allah. Olehnya itu, Imam al-Qurtubi menyimpulkan bahwa (الرَّحْمَن) merupakan salah satu nama Allah yang paling agung yang mempunyai cakupan makna tidak jauh beda dengan apa yang ada pada (الله). [[13]]

Jika Anda bertanya yang kesekian kalinya: kenapa Basmalah disebutkan di awal setiap surah? Bukankah yang berulang-ulang itu membosankan?

Di sini Anda diminta berdiam sejenak memfokuskan perhatian kepada apa yang dijelaskan Badiuzzaman Said Nursi di bawah ini:

“tidak selamanya yang berulang-ulang itu membosankan. Akan tetapi, kadang ia terhitung baik dan kadang pula menjemukan. Contohnya, Di antara makanan manusia ada makanan pokok yang setiap kali dikonsumsi maka setiap kali itu juga ia lezat dan nikmat, dan ada pula makanan sekunder yang jika dijadikan makanan pokok maka ia membosankan, beda halnya, jika ia disajikan sebagai pencuci mulut atau makanan selingan. Jika demikian halnya, maka demikian pula dengan perkataan, di antaranya ada yang menjadi cernaan dan kekuatan terhadap pemikiran, sari pati untuk ruh, yang jika didengarkan berulang kali ia terdengar lunak dan enak karena menyatu dengan perasaan, seperti cahaya matahari yang tidak pernah membosankan. Di sana ada juga perkataan yang serupa perhiasan dan makanan selingan yang kelezatannya nampak dari perubahan-perubahan bentuk dan gaya pembahasannya.

Jika Anda telah menyadari ini, maka ketahuilah bahwa sebagaimana Al-Qur’an secara keseluruhan sari makanan dan kekuatan terhadap hati yang tidak pernah membosankan meski terdengar berulang kali, maka di dalamnya ada pula yang sederajat dengan ruh terhadap sari pati makanan tersebut yang setiap kali berulang ia memantulkan cahaya dan kilau kebenaran dan hakikat dari pelbagai sisinya. Yang demikian itu adalah Basmalah simpul kehidupan dan cahaya ketuhanan.

Kilauan-kilauan cahaya itu dapat Anda temukan di pelbagai sisi Basmalah, seperti: Basmalah sarana cepat meminta pertolongan, berkah, dan ia juga seperti tema, bahkan tujuan dan indeks terhadap point-point utama di dalam Al-Qur’an.

Ia pun menyiratkan ketauhidan, penyucian, pujian, keagungan, keindahan, dan ihsan. Ia seperti halte-halte ketuhanan yang wajib disinggahi untuk menyuarakan makna-makna tersebut.

Dan ia pun mengisyaratkan pelbagai hukum, seperti: ketauhidan, kenabian, hari kebangkitan, dan keadilan.”[[14]]

Hematnya, karena Basmalah indeks tema-tema besar Al-Qur’an dan rumus-rumus kehidupan, maka ia pun disebutkan di setiap awal surah. Ia tidak salah tempat karena keuniversalan makna yang dikantonginya ia selalu tepat di tempat mana saja diletakkan, dan ia tidak membosankan karena di khazanahnya terdapat koleksi-koleksi makna yang tidak kunjung habis dipetik, setiap kali dipetik lahir makna baru yang mungkin lebih kaya lagi dari makna pertama, dan seterusnya.

Di penghujung tulisan ini, pemerhati tema-tema tafsir kitab suci Allah tidak diajak menyuarakan sebuah kesimpulan seperti biasa, karena setiap jawaban kesimpulan dari pernyataan yang dilontarkan.


Catatan Kaki:

[1] Hadits ini kadang periwayatannya dikembalikan kepada Rasul Saw sebagai Hadits Marfu’, kadang pula dijustifikasi sebagai Hadits Mursal yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. Yang benarnya, riwayat ini termasuk Hadits Mursal. Kemudian, redaksi (matan) hadits ini pun berbeda-beda dalam pelbagai periwayatan, ia kadang datang dengan lafal (كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللَّهِ فَهُوَ أَجْذَمُ), kadang juga dengan (فَهُوَ أَبْتَرُ), dan juga (فَهُوَ أقْطَعُ). Olehnya itu, terdapat perbedaan pendapat antara ahli hadits dalam justifikasi mereka, tetapi kebanyakan dari mereka menjustifikasinya sebagai Hadits Hasan. Mari kita melihat secara saksama justifikasi mereka sebagaimana berikut:

Al-Allâmah al-Hasan ar-Rubbâi berkata:

“Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud, an-Nasâi’, Ibn Mâjah, Abu Awwâna, ad-Dâruqutni, dan Ibn Hibbân dan dijustifikasi sebagai Hadits Hasan oleh Ibn as-Shalâh dan yang lain. Ibn Sayyid an-Nâs dalam (Syarh at-Tirmidzi) berkata: “sesungguhnya kebaikan hadits ini jelas dan tidak dipungkiri, namun tidak dijustifikasi sebagai hadits Shahih.” Dan Al-Mundziri berkata: “hadits-hadits ini saling menguatkan disebabkan oleh banyaknya bentuk periwayatan yang ada.”” [Al-Allâmah al-Hasan bin ar-Rubbâi: Fathul Gaffâr al-Jâmi’ li Ahkâm Sunnati Nabiyyinâ al-Mukhtâr, kitab at-Thaharah, bab at-Tasmiyah fil Wudhu’ Dar Alam al-Fawâid), no. hadits 232, vol. 1, hlm. 85]

Di lain sisi, hadits ini dijustifikasi Syekh Ahmad al-Gamâri sebagai hadits Maudhu’ (hadits yang derajatnya sangat lemah. Ia sengaja diletakkan dengan tujuan tertentu, khususnya untuk Targib (mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan dengan memperlihatkan kebaikannya), dan tidak sah pengembaliannya kepada Nabi Saw). Berikut ini justifikasi beliau:

“apa yang dianggap ulama-ulama khalaf, seperti para pensyarah kitab, bahwa penyebutan Basmalah lebih awal dari Hamdalah disebabkan oleh hadits tentang Basmalah Shahih dan hadits tentang Hamdalah Hasan saja, atau karena hadits Basmalah sesuai dengan syarat sah hadits menurut Imam Bukhari dan hadits Hamdalah tidak memenuhi syarat sah tersebut, atau hadits kedua baik dan hadits pertama sangat baik, bahkan sebagian dari mereka berkata: “sesungguhnya hadits Basmalah itu masyhur.” Parahnya lagi, keberanian seseorang menjustifikasinya sebagai Hadits Mutawatir. Semua justifikasi itu keliru dan membingungkan yang lahir dari taklid buta, khususnya jika itu datang dari mereka yang tidak menekuni dan mengetahui seni hadits.

Demikian pula pengembalian mereka terhadap hadits ini ke Sunan Abi Daud, an-Nasâi, Ibn Mâjah, Shahih Abi Awwânah, dan Shahih Ibn Hibbân, sesungguhnya hadits itu tidak didapatkan sama sekali dalam kitab-kitab ini. Akan tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh al-Khatib al-Bagdadi di (al-Jami’ li Akhlâq ar-Râwi wa Âdab as-Sâmi’) dan disebutkan sanadnya oleh ar-Rakhâwi di (al-Arbain) dan di periwayatan Imam Ahmad.” [Syekh Ahmad bin Muhammad bin as-Shiddîq al-Gamâri, al-Istiâdsah wa al-Hasbalah Mimman Shahaha Hadits al-Basmalah: (كُلُّ أَمْرٍ ذِيْ بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَقْطَعُ), Maktabah Tibriyyah, Riyadh, hlm. 16]

Di sini penulis lebih cenderung menguatkan justifikasi Syekh Ahmad al-Gamâri. Karena setelah kembali mencheck-up hadits ini di buku-buku hadits sebagaimana yang diberitakan oleh sebagian ulama, hadits itu tidak dijumpai di sana. Hematnya, karena makna hadits ini baik, maka sebagian ulama meriwayatkannya, tetapi mereka tidak berhak menjustifikasinya sebagai Hadits Hasan hanya karena datang dengan pelbagai bentuk periwayatan, justru dengan berbedanya redaksi hadits ini di tiap periwayatan seyogianya menjadi tanda tanya yang menuntun mereka mendiagnosa hadits ini sebelum menjatuhkan sebuah justifikasi.

[2] Maksudnya, kesempurnaan Ma’rifah terhadap Allah lebih ditentukan oleh sejauh mana keterkaitan dan kedekatan hamba terhadap-Nya. Memiliki kebersamaan dengan-Nya seperti memiliki kosmos dan isinya, tetapi tanpa kebersamaan itu, Anda tidak punya apa-apa meski Anda merasa memiliki semua. Syair itu dinyanyikan oleh Syekh Abu Madyan al-Gausth al-Magribi. [lihat: Diwan Sayyidi Syekh Abu Madyan al-Gausth, (tidak disebutkan tahun cetak dan tempat percetakannya), hlm. 5, lembaran-lembaran ini diupload di: http://www.4shared.com/office/9UxZZErR/_____.htm. Selanjutnya, syair-syair syekh tersebut juga disebutkan oleh Imam Akbar Syekh Abdul Halim Mahmud di bukunya: Abu Madyan al-Gausth, Dar al-Maârif, Cairo, hlm.121]

[3] Syekh Muhammad Bakr Ismail, Asmaullahi al-Husna, Âtsaruha wa Asrâruha, Dar al-Manar, Cairo, cet. 1, 2000, hlm. 8

[4] Tafsir Syekh Abi Suûd, vol. 1, hlm. 16-17

[5] Syekh Mutawalli as-Sya’rawi, Asmâullâhi al-Husna, Akhbar el-Youm, Cairo, hlm. 19-20

[6] Isyârât al-I’jâz fi Madzhânni al-Îjâz, hlm. 24

[7] di antara perbedaan makna di antara keduanya, seperti: (الرَّحْمَن) Pemilik rahmat umum di dunia terhadap seluruh makhluk dan pemilik rahmat umum terhadap orang-orang beriman di hari kiamat. Sementara, (الرَّحِيْمِ) pemilik rahmat umum terhadap orang-orang beriman dan yang lain di dunia, sebagaimana firman Allah SWT: ﭽ ﮕ  ﮖ  ﮗ  ﮘ ﮙ  ﮚﭼ  (QS. Al-Baqarah [2]: 143). Artinya, yang Maha penyanyang terhadap seluruh manusia meskipun ras, suku, bangsa, dan agama mereka berbeda. Adapun di akhirat ia hanya merahmati orang-orang beriman saja, sebagaimana firman-Nya berikut ini: ﭽ ﰆ  ﰇ ﰈ  ﰉ  ﰊ  ﰋ ﰌ  ﰍ  ﰎ  ﰏﰐ  ﰑ  ﰒ  ﰓﭼ  (Q.S. Al-Ahzab [33]: 43). [lihat: Syekh Muhammad Bakr Ismail, Op.Cit, hlm. 18].

[8] al-Kasyyâf, vol. 1, hlm. 110-111

[9] Lihat: catatan kaki beliau terhadap syarah Ustadz Said Nursi (Qizl Îjaz) atas (Sullam al-Mantiq) oleh Syekh Abdurrahman al-akhduri di Saeqal al-Islâm, karya Ustadz Said Nursi, hlm. 167

[10] seperti: رَحِيْم, sifat yang diberikan kepada seseorang yang menurut Anda sendiri ia berhak menyandangnya karena ia penyanyang.

[11] seperti: عَبْدُ الرَّحِيْم

[12] Imam Zainuddin Muhammad bin Abi Bakr ar-Razi, Unmûsaj Jalîl fi Asilah wa Ajwibah an Garâib Âyi at-Tanzîl, Dar Âlam al-Kutub, cet. 1, 1991, Saudi Arabia, hlm. 2

[13] Lihat: Imam al-Qurtubi Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr, al-Asna fi Syar Asmâillâhi al-Husna, Dar as-Shahabah, Tanta, cet. 1, 1995, vol. 1, hlm, 62-63

[14] Isyârât al-I’jâz fi Madzhânni al-Îjâz, hlm. 37-38

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (25 votes, average: 8.68 out of 5)
Loading...
Pensyarah antar-bangsa (Dosen) Fakulti Pengajian Alqur'an dan Sunnah, universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Degree, Master, Phd: Universiti Al-Azhar, Cairo. Egypt

Lihat Juga

Menyibak Rahasia Kesuksesan Ala Hadits Nabi tentang Pentingnya Ilmu, Ulama, dan Adab

Figure
Organization