Topic
Home / Pemuda / Cerpen / The Journalist: Rise of the Justice

The Journalist: Rise of the Justice

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (ist)

dakwatuna.com – “Ergh…!”

Cairan hangat berlinang melewati wajahku, menitik di atas kamera yang sedang kutenteng. Aku meraba keningku tepatnya sebelah kiri di dekat pelipisku, perih menggigit. Aku sempoyongan. Aku butuh pertolongan segera. Percuma aku berdebat dengan mereka sejak tadi dan ternyata ini yang mereka perbuat padaku.

Aku ingin protes, ingin juga melayangkan pukulanku pada mereka karena marah, tapi keributan di ujung jalan ini tidak mendukungku, orang-orang berpakaian militer itu ribut dan saling dorong-mendorong dengan warga sipil yang sebagian besar adalah lelaki dewasa yang baru saja usai Shalat Zhuhur bersamaku. Ditambah lagi perlakuan tentara itu padaku membuat para lelaki dewasa itu naik darah.

Aku limbung, membungkuk dan membiarkan tanganku menopang lutut agar tidak jatuh. Abu Haidar berlari dari seberang jalan menuju tempatku berjongkok tak seimbang. Dia Menerobos keributan jeruji manusia yang mulai rusuh penuh teriakan. Diambilnya kamera dari tanganku dan berusaha membopongku bangun.

“Kau terluka Abdi, kau harus diobati.” Begitu ucapnya dalam bahasa inggris yang bercampur kental dengan aksen Arab.

Aku berusaha tegak dan lepas dari bopongan tangannya. Kuraih kamera kesayanganku, merogoh sebuah sapu tangan cokelat lusuh untuk membersihkan titikan darah di atasnya. Kucoba pula menyeka wajahku. Abu Haidar meringis ngeri melihatku karena cairan kental itu justru merembes ke kerah bajuku dan sekitar wajahku. Aku terus menyekanya.

“Kau harus diobati Abdi! Segera!” Sekali lagi lelaki berkepala empat itu mencoba menopangku sepertinya ingin membawaku menyingkir dari tempat itu. Tapi kupaksa mengangkat kamera ke pundakku dan menyorotkan lensanya ke arah keributan itu. Menentukan fokus.

Seorang tentara bertubuh tinggi menunjuk tajam kearahku, ia menyingkap Abu Haidar dari hadapanku dengan kasar, dia menuju ke arahku. Matanya yang tajam seperti elang bertaut seperti hendak memangsaku. “Wartawan sialan, bosan hidup!” Hentakan tangannya membuat kamera di bahuku oleng. Tenaganya menohok tubuhku limbung ke belakang, aku hampir kehilangan keseimbangan.

“Kau mau mati Hah! Mau mati!” itu kalimat yang diulang-ulangnya dengan suara berat. Aku bertahan sambil memasang wajah tegas, walaupun perih masih terasa. Entah ceracau apa lagi yang keluar dari mulutnya, tidak jelas bagiku. Bahasa Ibrani belum pernah kupelajari. Sedang aku hanya menggerutukkan gigiku yang bersembunyi di balik rahang, sedikit bergumam membuatnya kesal.

DORRR!

Apa itu!?

Segera saja pandanganku melintasi bahu tentara garang itu. Biadab! Seenaknya mereka melepas tembakan pada warga sipil. Seorang lelaki terkapar, mengerang sakit, kakinya tertembus timah panas! Kuangkat kameraku. Namun belum sempat kuaktifkan, Sialan! Popor senapan itu menghantam tanganku. Kamera itu terlepas dan jatuh pasrah, aku tidak akan memaafkan hal yang dilakukannya dalam waktu sekejap itu.

Akan kuingat, sepatunya menendang kasar melontarkan kamera itu tiga meter dariku. Direngkuhnya kerah bajuku, dengan dialek Arab yang kasar dia menyumpahiku. Aku melawan dan ini menjadi awal perubahan dalam garis hidupku, suatu perubahan yang berarti.

***

Raihana masih menyiapkan makan malam untuk kami. Setelah satu hari berburu berita membuatku letih dan lapar, tahukah kawan seharian ini cuma sebuah roti basah saja yang membuat tegak badanku. Seperti malam ini saat menunggu makan malam seperti sekarang kuisi dengan menonton kembali hasil liputanku siang tadi, ada juga beberapa rekaman mentah yang belum bisa kulaporkan ke kantor produksi, rencanaku malam ini akan kukirim untuk dapat diputar besok pagi.

Inilah pekerjaan yang selalu membuatku tertantang untuk mengenal siapa diriku sebenarnya, bukankah semakin banyak hal yang kau tahu dan kau hadapi menuntutmu untuk lebih banyak memberi tahu pada yang belum tahu. Itulah tugas orang sepertiku, dan ini sangat-sangat mempengaruhi pola kehidupanku setiap hari, sampai saat ini.

Bagiku pola hidup ini adalah hal biasa, tapi bagi Raihana ini adalah penyakit, katanya kebiasaan ini bisa menyengsarakanku. Kalau kupikir-pikir benar juga, karena pernah dua hari aku terbaring tidak bisa berbuat apapun karena perut melilit, makanan tidak banyak yang bisa masuk dan muntah-muntah yang tiada hentinya. Mengingat kondisi memprihatinkan waktu itu membuatku membandingkan dengan kondisi Raihana sekarang yang sering muntah-muntah.

Tapi ini berbeda kawan, ini tidak memprihatinkan tapi sungguh bunga-bunga bahagia memeriahkan rumah kami setelah Dokter Setiawan memintanya banyak istirahat, melarangnya untuk terlalu letih, dan rajin mengkonsumsi makanan yang bergizi.

Raihana mengandung buah hati pertama kami. Sudah dua bulan.

“Kenapa sih selalu saja lupa makan? Tubuh juga punya hak, Hana nggak suka Kakak seperti ini terus. Seberapa penting sih berita yang Kakak kejar? Sekedar makan saja jadi lupa.” Wanita tercantik dalam hidupku itu terdengar cemas. Ia menata menu makan malam di atas karpet merah berhias bunga, inilah tempat kami biasa menikmati kedekatan kami.

Tidak di atas meja makan mewah dan bertabur hiasan. Hidup kami sederhana, sangat sederhana untuk sebuah keluarga baru yang belajar tentang hidup di sudut kota Gudeg ini.

“Yaa maaf Dek. Penyakitnya ini sudah akrab jadi kasihan kalau ditinggalin.” Aku berseloroh sambil memperhatikannya kembali masuk ke dapur.

“Penyakit lupa makan kok di akrabin. Nanti kalau sudah gawat penyakit lupanya, bisa-bisa hal penting seperti ini juga dilupain.” Suara Raihana dari dapur membuatku penasaran.

Apa maksudnya hal penting?

“Penting apa, Dek?” nasi yang dibawanya dari dapur diletakkannya di tengah karpet lalu beberapa sendok nasi dihidangkannya ke piringku. Wajahnya yang terbingkai oleh jilbab biru langit itu membuatku mengucap syukur telah dianugerahkan seorang bidadari di rumah ini.

“Masya Allah…Tuh kan lupa. Sudah makan dulu!”

“Cerita dulu, apaan?” Caranya menyembunyikan rahasia itu membuatku suka, benar-benar membuatku digulung penasaran.

“Sudah makan saja dulu…”

“Cerita dulu!” Aku mematung. Memandangi wajahnya yang menunduk fokus memindahkan sesendok nasi ke atas piringnya. Wajahnya berubah pias, merona.

“Udah ah, makan dulu. Siapa suruh pikun.”

Ya Tuhan, caranya mengejekku membuatku merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Kuturuti maunya, kunikmati menu malam itu dengan rasa penasaran yang dibuat Raihana padaku. Tapi rasa masakan khas ramuan tangan Raihana selalu mengalahkan pikiran-pikiran iseng yang muncul saat makan. Rasa masakan inilah yang akan selalu kurindukan nanti, sangat kurindukan.

Usai sudah Raihana membereskan segala hal tentang makan malam tadi, piring kotor, gelas, mangkuk sayur dan segala perkakas. Sekarang dia membereskan jaketku, menggantungnya di dalam kamar. Tas punggungku yang berat diangkatnya, aku jadi merasa merepotkannya saat dia seharusnya banyak istirahat sekarang.

“Sudah, nggak usah disimpan. Laptopnya mau kakak pakai untuk ngolah reportase. Kamu istirahat saja Na, jangan terlalu capek.” Kuambil tas punggung berisi laptop, buku, dan segala perlengkapan kerjaku dari tangannya. Orang yang melihatnya saja sudah bisa menilai bobot tasku ini. Berat, cukup itu kesimpulannya.

“Benar nggak ingat?” pertanyaan Raihana mengingatkanku lagi pada teka-teki hal penting yang diungkitnya sebelum makan malam tadi. Aku hanya berdiri bingung memandangnya.

“Apa sih Dek?” Aku harus tahu apa maksudnya. Tapi dia berbalik dan tidak menoleh.

“Ya sudahlah, memang penyakit pikun kakak sudah gawat.” Ya Tuhan, lagi-lagi caranya mengejekku membuatku merasa menjadi orang paling spesial hari ini.

Dia berlalu ke dalam kamar. Kuurungkan niat menyusul dan memaksanya untuk memberitahuku apa rahasia yang disembunyikannya, mungkin nanti saja. Karena reportase ini harus kuselesaikan malam ini, aku melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Kukeluarkan laptop dan mulai mengoperasikannya. Mengambil tas hitam berisi Handycam yang kugunakan meliput berita siang tadi. Setelah lima menit, Raihana tidak lagi keluar kamar.

Rasa penasaran menggangguku. Kucoba menengoknya di dalam kamar.

Ah, dia lelap.

Aku tersenyum, inilah sebagian dari obat keletihannya melayani seorang suami seperti aku. Siang hari membantu Ibunya di toko pernak-pernik keluarga ditambah lagi menjalankan tugasnya sebagai seorang Istri pasti membuatnya lelah. Tapi malam ini, dia tinggalkan rasa penasaran bersamaku.

***

 “Kamu bisa ambil suratnya besok. Ananta juga sudah menyanggupi, jadi jangan khawatir kesepian…” Lelaki itu tertawa dengan aneh, membuatku tergelitik.

“Masalah Visa, passport, perlengkapan, dan lain sebagainya sudah ada yang mengurus. Kamu hanya butuh kesiapan di sana nanti. Reportase selama sebulan kurasa tidak berat kan?” Suara berat itu melanjutkan pembicaraannya,  masih mencoba meyakinkanku.

“Memang sih untuk kesiapan, siapa pun harus siap. Tapi bagi saya ini memang tawaran yang tidak mudah, kalau besok pagi saya berikan keputusan bagaimana, Pak?”

Tak ada jawaban. Kau tahu kawan, orang yang di seberang telepon sana adalah Pimpinan bidang peliputan di kantor penyiaran televisi Nasional yang memiliki cabang di Kota ini, maaf aku tak bisa menyebut nama beliau juga nama kantor produksinya. Tapi bukan itu masalahnya, sekarang yang jadi masalah adalah keputusan yang harus kuberikan padanya.

“Baiklah, tapi yang jelas besok pagi kutelepon lagi untuk kepastianmu. Kami sangat berharap kamu siap berangkat. Kamu punya skill untuk menjemput berita ini daripada reporter lainnya. Baiklah Abdi, itu saja…pikirkan malam ini dan besok pagi kuhubungi lagi.”

Kupandangi layar laptop milikku yang sekarang tengah berselancar di dunia maya. File Tertulis Reportase untuk hari ini baru saja terkirim via email ke alamat produksi.

“Ya Pak. Saya usahakan besok pagi bapak sudah dapat jawaban dari saya.”

Terima kasih…aku tunggu. Selamat malam. Assalamu’alaikum….” Gagang telepon di seberang sana diletakkan dengan tenang, sesuai karakternya. Kawan, bukan apa yang akan kuhadapi di sana yang membuatku harus berpikir keras. Tapi banyak hal di sini yang tak dapat kutinggalkan, bahkan di rumah ini. Aku hanya bisa memandang ke arah pintu kamar.

Dari info Bosku tadi, ini waktu yang tepat untuk berangkat dan meliput lebih cepat dari media lainnya. Entah dari mana info berskala internasional ini bisa sampai padanya, mungkin inilah kelebihan keluasan pergaulannya di jejaringan media Internasional. Tidak heran kalau orang seperti beliau selalu mengontak cepat pada bawahannya untuk hunting berita. Ada yang mengatakan kalau bagi pekerja media berita adalah prioritas nomor satu dalam hidup. Seperti sekarang, dering telepon itu muncul di pagi buta.

Sudahlah, kutatap lagi layar laptopku yang tengah berselancar di beberapa home page informasi Internasional dan Nasional. Belum ada berita yang terkait dengan kondisi aktual yang diceritakan Bos. Walaupun ada hanya sedikit dan tidak terlalu dalam untuk penggalian topiknya, aku tertantang dan memang ini kesempatan langka untuk sebuah reportase. Aku akan terbang ke negeri yang sejak kuliah dulu kudengar kabar mirisnya. Sekarang di dalam pikiranku barkecamuk berbagai gambaran tentang negeri itu dan apa yang akan kuhadapi di sana, tapi kepergian ini belum kuputuskan.

Kutengok jam dinding, pukul dua dini hari. Aku menguap. Untuk sementara kusandarkan tubuhku pada dinding, menerawang langit-langit mempertimbangkan obrolan di telepon tadi, sedangkan malam pun terus bergulir bersama angin pagi buta di luar sana.

***

Sesuatu yang dingin menyentuh punggung tanganku, perlahan mataku menangkap bayangan putih yang tampak menggenggam tanganku dengan erat. Aku seperti mencoba menghimpun nyawa, mengembalikan pikiranku pada alam nyata.

Raihana…?

Ah, aku tertidur?!

Dalam kesadaranku Raihana mengecup punggung tanganku, wajahnya yang terbingkai mukena terlihat menyejukkan dengan air wudhu.

“Maaf, Hana ganggu istirahatnya. Sudah adzan, Kak.” Ini tidak biasanya, “Maafin Hana ya.”

Raihana seperti merasa bersalah akan sesuatu.

“Kenapa Dek, nggak apa-apa. Sudah seharusnya seperti itu kan.” Aku menggosok pandanganku yang masih kabur, kuamati layar laptop yang masih stand by, modem access internet masih menyala.

“Terima kasih ya Dek, jadi bisa jama’ah.” Masih setengah sadar kumatikan modem sekaligus layar kerjaku itu.

“Tunggu ya, wudhu dulu.” Aku bangkit, setelah mengemas rapi laptop dan perangkatnya. Tapi baru saja akan melangkah

Raihana menarik lengan bajuku.

“Hana benar-benar minta maaf, Kak.”

Kenapa ini, apa Raihana tahu telepon tadi. Atau masalah yang lain. Aku tersenyum, mengangguk sehingga ia melepas lengan bajuku, dan aku pun beranjak mengambil air wudhu. Kuputuskan ba’da subuh akan minta pertimbangan Raihana tentang reportase ini. Kuharap dia mengerti. Laungan adzan subuh di kejauhan yang masih terdengar mengurungkan niatku. Kuambil air wudhu bersama pikiran yang tak tenang.

Dalam sujud subuh kami, aku memohon yang terbaik untuk bahtera ini. Berharap pada-Nya memberikan suratan takdir terbaik untuk keputusan nanti. Seusai salam, aku masih duduk di atas sajadah, memandang bidadariku dengan keteduhan dan senyum.

Sekali lagi, Raihana mengecup punggung tanganku dengan takzim. Menyentuh benang-benang halus di hatiku. Ada apa dengan istriku ini. “Kenapa, Na. cerita saja.” Aku berharap dia tahu tentang telepon itu, agar aku bisa lebih mudah menyampaikannya.

“Soal semalam, Kak. Seharusnya Hana tidur setelah mengingatkan hal penting semalam.”

Bukan, Hana belum tahu soal telepon itu. Tapi lagi-lagi hal misterius yang dikatakannya penting semalam diungkitnya.

“Hana, Hana…” Aku menggamit hidungnya dengan dua jariku. Wajahnya pias. “Memangnya hal penting apa?”

Sesuatu dari balik mukenanya disodorkan padaku. Sebuah kado berbungkus cerah. “Ini apa, Dek…”

Barakallah fiiumrik, Kak…semoga selalu menjadi usia yang terbaik, menjadi sebaik-baik bekal kepulangan nanti. Semoga menjadi umur yang Allah berkahi, Kak. Hana berharap di usia kakak ini, kakak bertambah bijak dan selalu membimbing Hana untuk selalu bertaqwa pada Allah. Maafkan, seharusnya ini terucap kemarin, Kak…” Lirih yang sungguh menyentuh.

Masya Allah! Miladku, wanita spesial ini selalu mengingatnya sedangkan aku…

“Jadi ini hal penting itu, Dek? Beruntungnya aku punya bidadari sepertimu, aku benar-benar pelupa. Terima kasih…” Kukecup keningnya, “…sayang…”  wajahnya merona. Kugenggam erat tangannya. Ya Tuhan haruskah kusampaikan pembicaraan tadi.

“Hana…” Aku menggantungkan apa yang akan kuucapkan.

“Ini mungkin sulit, tapi tadi pagi ada telepon dari Bos. Ada reportase penting yang harus Kakak kejar akhir pekan ini.”

“Bagus itu, Bos langsung yang minta ini berarti kan reportase penting. Tugas pertama di usia yang baru, ini kan berkah Kak. Selamat ya.” ucapnya sambil melipat mukenanya.

Bukan seperti itu Raihana…

“Palestina…” ucapku. Kutatap wajahnya dengan mantap, berharap dia mengerti maksudku.

Ia mengangkat wajahnya yang pias, “Maksud kakak!?” aku hanya mengangguk memantapkan satu kata yang tadi kuucapkan. Aku mengirimkan bahasa hati dalam pandanganku, berharap Raihana mengerti.

“Reportase kali ini di Palestina?!” ujarnya lagi. Aku menatap wajahnya yang terkejut dengan kesimpulannya sendiri. Raihana wanita yang selalu siap dengan hal-hal seperti ini. Yang kutahu sebelum menikah, dia adalah seseorang yang tahu betul tentang tanah suci umat Islam itu. Bahkan sisa semangatnya masih kulihat setiap kali dia menunjukkan foto aktivitas kuliahnya dulu, garis-garis semangat ada di senyumnya saat itu. Dan kali ini aku cukup kuat melihatnya untuk mengangguk dan meng-ikhlaskanku untuk berangkat.

“Kak Abdi jangan bercanda!” Ia menatap dalam-dalam dan tahu kejujuran dari tatapan suaminya ini. Tatapanku menyentuh hatinya, “Kak…Hana. Mohon…”

Kenapa ini! Matanya berkaca-kaca. Titik embun itu berlinang, lidahnya urung berkata-kata, sepertinya ada sesuatu yang menyesak nafasnya. Dia bersujud di hadapanku sembari menggenggam erat tanganku, sangat erat. “Hana mohon, Kak…jangan tinggalkan Hana.”

Wanita bidadariku ini menumpahkan kesahnya di hadapanku. Dia bersujud. Yaa Allah, air mataku tak tertahankan. Aku tak kuat. “Sudah Hana. Kenapa seperti ini.” Lirihku.

“Hana mohon, jangan tinggalkan Hana. Jangan tinggalkan Hana, jangan Kak…” dia terisak-isak dalam sujudnya.

“Hana, dengarkan kakak!”

“Jangan tinggalk…” Dia tersedak dengan sesenggukannya, ini kepedihan yang berat. Tubuhnya bergetar.

Aku merengkuhnya. “Dengarkan Hana, bukankah Hana pernah bilang kalau Palestina butuh dibela. Kakak ngerti kekhawatiranmu, tapi kakak ke sana hanya untuk reportase berita, meliput kebenaran yang seharusnya tersampaikan, tidak berperang Hana. Tidak lebih. Mengerti kan…” Aku berusaha meyakinkannya tapi dia masih juga terisak. Di pundakku masih terdengar jelas gumaman dan sesenggukan itu.

“Kenapa harus Kak Abdi…?” isaknya menjadi-jadi, perih dan lirih. Aku merengkuhnya erat. Aku tak bisa menjawab. Entah berapa lama aku berusaha meredakan tangis dan sesenggukannya itu. Sampai aku sadar fajar di luar sana sudah mencoba menerobos celah jendela, cahayanya merambati sajadah tempat kami menautkan hati pada Ilahi, mencoba mencari jawaban untuk bisa saling mengerti.

Raihana, istriku yang pedih hatinya. Maafkan aku…

***

Ledakan itu menghancurkan tembok sebelah barat flat Ihab al-Wahidi.

Biadab! Apa seperti ini aturan perang orang Yahudi. Menyerang pemukiman sipil? Apakah orang-orang di dalam sana sudah mengungsi? Serentetan tembakan kembali menghujani langit malam Gaza. Aku melihat bunga apinya, bahkan sempat merekam beberapa gambar sebelum insiden penembakan Flat itu. Wajahku berdebu, lengket dengan peluh sejak petang tadi.

“Kita berlindung Abdi.” Ananta tersengal-sengal setelah berlarian bersamaku menyusuri kota Gaza.

“Aku tahu, situasi seperti ini juga sudah menuntut untuk itu!” Sama seperti warga Palestina lainnya di jalan itu. Aku dan Ananta terjebak kepanikan. Ananta, lelaki lajang yang pemberani ini adalah reporter sekaligus kameramen di kantor media yang sama denganku. Beberapa kali dia menuntunku menyeberangi keributan dan ketegangan di pusat konflik ini. Mentalnya melebihi mentalku dalam berhadapan dengan bahaya. Kawan ingatkah kalian tentang Abu Haidar? Ananta-lah yang mengenalkanku dengan lelaki usia kepala empat itu.

Perkenalan yang tidak sederhana, karena saat itu Abu Haidar-lah yang menyelamatkannya dari keributan yang timbul di pusat pertokoan Darus al-halimi. 30 orang luka-luka saat itu, 13 orang lainnya meninggal pada titik konflik. Beruntungnya Ananta, karena saat itu Abu Haidar menariknya bersembunyi di balik tembok sehingga rentetan peluru dan ledakan tidak mengenai mereka, hanya saja Abu Haidar tertembus dua peluru di bahu kanan.

Sekarang lelaki berkepala empat itu menenteng senjata. Kafyeh hitam melingkar di lehernya. Dia dengan lima orang lelaki berpostur tegap tengah mengamankan para warga sipil, benar-benar malam kekacauan. Raungan Ambulance milik Bulan Sabit Merah meraung-raung, teriakan dan pekikan memecah malam, asap mengepul pekat di antara bias cahaya lampu jalan dan percikan api di sudut bangunan yang hancur.

“Kau ingin berita kan, Abdi? Kita akan tunjukkan kebenaran pada dunia…mungkin di tanah suci ini istri dan anakmu bisa berbangga karena telah menjadi saksi perjuangan suci dua reporter kawakan seperti kita… ” Ananta tertawa kecil, aku memandanginya yang mulai mengangkat kameraku dari dalam tasku, dia menyodorkannya padaku.

“Betul sekali Anan…Kita sudah tahu banyak, dan dunia juga harus tahu tentang ini!” Jawabku berprinsip sambil mencoba meraih kameraku dari tangannya. Aku serasa seperti berada di dalam film perang.

“Dan kau tahu Ananta, aku…” belum selesai kalimatku, suara menderu-deru itu seperti menyergap dari belakangku. Terkejut hebat, membuatku urung meraih kamera di tangan Ananta. Heli penyergap milik Israel!

Suasana menjadi panik, warga sipil berhamburan hendak berlindung. Heli itu melintas dengan cepat, tidak satu, tapi dua, tiga bahkan. Mereka melintas begitu saja dengan rendah dan cepat. Berderu mengintai setiap gerak tubuh manusia yang ketakutan. Kulihat Abu Haidar dan kelima lelaki itu bersiaga dengan senjata di bahunya. Teriakan dan hentakan tegas Arabi menggiring warga sipil pada tempat yang dirasa aman.

Manuver kejam yang takkan kulupakan. Buah tindakan militer Israel yang dilakukan untuk melawan militan Palestina di kota ini. Bola-bola api itu menyambar bersusulan dinding-dinding flat hunian warga, menyapu ledakan demi ledakan, juga sudut-sudut mati tata kota Gaza. Semua orang merunduk, sebagian tiarap, getir, dan mencekam. Aku tak sempat meminta kameraku pada Ananta untuk merekam gambar kekacauan itu, kami terjebak. Kondisi medan telah masuk pada siaga penuh. Aku dan Ananta merunduk di tepian tembok yang kami nilai aman.

Ananta, Abdi! Cepat! Cepat! Cepat!” Abu Haidar berteriak lantang dengan bahasa Inggris berdialek Arabi yang membuatku bingung memahaminya, namun bahasa tubuhnya jelas menerjemahkan semua ucapannya. Aku dan Ananta berlari ke arah arus manusia yang bergerak menuju sebuah bangunan. Meliuk melewati dua tiang lampu jalan sambil merunduk dan melintasi aspal menuju mobil tua di pinggir jalan. Sampai akhirnya suara ledakan itu melontarkanku sejauh dua meter ke depan!

Mobil itu diterjang rudal Israel! Aku terpelanting! Tubuhku tergerus aspal dengan serakan aspal tajam menusuk kulit. Sial!

Tembakan ini bukan tembakan peringatan, ini serangan! UU internasional perlindungan Pers dan Medis tak ada gunanya. Aku tak habis pikir, alasan mereka selalu sama untuk penyerangan seperti ini…melawan serangan militan yang mengancam Negara Israel mereka! Sialan! Kalau ini masalahnya, siapa yang menyerang dan siapa yang diserang! Sama saja seperti kebohongan Amerika tentang senjata pemusnah masal! Legalitas pemusnahan manusia! Yahudi biadab!

Pandanganku berkunang-kunang. Mataku memicing. Abu Haidar menenteng senjatanya sembari menembus asap dan bau-bau debu berpadu mesiu. Di meloncat cepat ke arahku.

Bagaimana keadaanmu Abdi??”  Lagi-lagi English yang tercampur aksen Arabi. Aku berusaha bangkit, hanya nyeri di kulit yang membuatku meringis. Kuperiksa bagian tubuhku, kepala, wajah, kaki, tubuh, dan hanya tangan kiriku yang lecet dan kemejaku sedikit terkena cipratan api. Efek ledakan tadi masih mendengung di telingaku. Aku menyisir pandanganku pada sekitar tempatku terjatuh tadi, serpihan aspal dan kerikil bebatuan berserakan. Dan―darah―

―darah segar itu bersimbah tiga meter dari tempatku berpijak. Sosok yang sangat kukenal!  “ANANTAAA…!!!” Hentakku dengan kekhawatiran yang menyesak.

Abu Haidar beranjak tergopoh-gopoh menuju Ananta. Aku mencoba melangkah tetapi limbung dan terjatuh. Berusaha bangkit dan hanya melihat Abu Haidar mengangkat tubuh lemah Ananta, aku melangkah perlahan dan sampai saat Abu Haidar mengusap wajah Ananta.

Innalillahi wa Inna Ilaihi roji’un…” lirihnya sambil tertunduk penuh duka.

Semua sendiku serasa lepas melihat kondisi Ananta, aku berlutut bersama kesedihan. Separuh bagian kakinya hancur, sebagian tubuh dan wajahnya terbakar. Tapi yang akan selalu kuingat, kameraku masih di tangannya. Utuh dan―bersimbah darah.

Aku terpaku, memoriku merekam beberapa detik sebelum ledakan, ada hentakan yang mendorongku jatuh terpelanting ke depan. Ananta melakukannya, ledakan rudal yang membidik mobil itu menuju padaku dan dia melakukannya.

Kenapa? Ananta―

“Abdi! Cepaaat! Berlindung ke dalam sana! Cepaat! Cepaat!” Abu Haidar berteriak lantang, seorang lelaki menarik lenganku menjauh dari Abu Haidar yang segera menutupi wajah Ananta dengan kafyeh miliknya, beberapa lelaki Palestina datang membantu, mengangkat jasad tak bernyawa itu.

***

Gelap dan lembab.

“Kau masih punya keluarga, Abdi. Kau berada di sini dan bukan suatu kewajiban bagimu memperjuangkan ini semua…keluarga dan negaramu pasti ingin kau kembali.” Lembab dan dingin. Abu Haidar mengalungkan serban di lehernya untuk menghalau dingin dari dinding-dinding tanah ini.

“Terima kasih, tapi aku seorang muslim.” Abu Haidar memang tidak begitu lancar berbahasa Inggris, tapi sebagian dari kalimat sederhanaku bisa dimengerti olehnya.

“Ya! Aku tahu kau muslim! Aku juga muslim! Kita saudara, tapi satu hal―perjuangan ini akan terus berlangsung, bahkan sampai yaumil akhir nanti. Dan Dunia Islam butuh kebenaran berita untuk mempersatukan perjuangan ini.” Kugenggam benda tegak yang sedari tadi bersandar di bahuku, menopang tubuhku yang duduk berjongkok memandangi siluet tubuh Abu Haidar. Ia lalu mendekat ke arahku.

“Kau wartawan Abdi! Kau pekerja media! Jawab, Ya!” Abu Haidar mencengkram bahuku. Aku tak ingin mengangguk.

Kawan, tak akan pernah kau rasakan puncak keinginan untuk berjuang bersama saudara-saudara muslimmu seperti yang kurasakan saat ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saudara-saudara muslimku membutuhkan dukungan dari saudara-saudaranya di dunia. Dan aku saat ini sedang berada di sini, menggenggam senjata dan tidak lagi kamera. Tak ada kesempatan semulia ini.

“Berikan ini padaku!” Hentakan Abu Haidar mengejutkanku. Dia menarik benda itu, senjata yang dua pekan ini melekat bersamaku. “Maaf, tapi qiyadah[1] sudah mengingatkanku tentangmu. Kau adalah bagian dari masyarakat Internasional yang seharusnya diberikan perlindungan bukan untuk di paksakan berperang!” tegas Abu Haidar.

“Berikan senjatanya!” aku bangkit dan mendekat padanya, “Ini pilihanku!” hanya keremangan yang menghalangiku memahami bahwa Abu Haidar berharap keselamatan untukku.

“Pasukan-pasukan perbatasan akan berusaha membantumu keluar, ikuti mereka melewati jalan itu, kau akan diantarkan ke Mesir. Kedutaan negrimu sudah dihubungi tentang ini.”

“Cukup Abu Haidar! Aku sangat berterima kasih padamu dan muslim Palestina atas semua ini, perlindungan mereka terhadapku, juga perhatianmu―tapi tolong. Izinkan aku berjuang di sini, merasakan sedikit arti perjuangan sebagai tentara Allah…” Lirihku.

Aku meraih senjata dari tangan lelaki berkepala empat itu dan melangkah keluar menyusuri ruang rahasia para pejuang Palestina. Tempat yang sampai saat ini sering kukunjungi, untuk sekedar mengenal makna perjuangan dien ini.

Raihana, apa kabar? Hampir lima bulan…aku tidak menepati janjiku untuk kembali, maafkan…apakah dia sudah menendang-nendang kandunganmu…entah apa yang Allah takdirkan untuknya nanti, nanti jika dia terlahirkan sebagai wanita kuharap dia wanita yang cantik dan tabah sepertimu, dan kalaupun dia lelaki kuharap dia bisa lebih bertanggung jawab lebih dari pada diriku.

Raihana…aku di sini mengangkat senjata sebagai wujud kecintaanku pada Islam. Kau cinta Islam kan, Raihana? Nanti kita akan ajarkan mereka tentang Islam yang indah…dan akan kubawakan mereka cerita yang bukan dari negeri dongeng.

Aku janji, aku pasti kembali Raihana―aku pasti kembali―Nanti…

***

Kususuri lorong bercahaya itu dengan menenteng senjata. Suara heli pengintai menderu di luar sana, sorakan anak-anak Palestina yang pemberani bersahut-sahutan dengan lantang. Aku sadar perjuangan itu masih selalu ada di tanah suci ini. Dan semakin banyak aku tahu tentang nilai dalam perjuangan ini, semakin besar pula kewajibanku untuk memberitahukan pada dunia bahwa perjuangan di negeri Palestina adalah perjuangan suci.

The End

Untuk para journalist yang memperjuangkan kebenaran berita di Palestina


Catatan Kaki:

[1] Pemimpin

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (14 votes, average: 9.86 out of 5)
Loading...

Tentang

Lelaki kecil asal Lombok, NTB yang mulai menggeluti dunia seni dan literasi sejak sekolah menengah dan berlanjut hingga saat ini. Bergabung bersama komunitas menulis FLP Yogyakarta sejak tahun 2006.

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization