Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Belajar Menjadi Kakak

Belajar Menjadi Kakak

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (ist)

dakwatuna.com – “Sudah Kak! Jangan ngatur-ngatur! Adek sudah gede. Sudah bisa mikir.” Untuk kesekian kalinya aku bingung menghadapi gadis ABG di hadapanku. Entah dua pekan ini aku seringkali perang mulut dengannya. Dan sekarang dia memilih tetap pergi ke acara yang diadakan temannya, Birthday Party katanya. Aku tidak heran jika anak tujuh belas tahun seperti dirinya senang dengan acara seperti itu, karena teman-temanku di kampus yang umurnya dua tahun lebih tua dariku pun masih merasa muda dalam acara-acara seperti itu.

Namun kali ini aku benar-benar khawatir, ini malam hari. Sedangkan ia adik kecilku satu-satunya. Dengan siapa dia pergi? Nanti siapa yang mengantarnya pulang? Beribu tanya menyesakkanku. Sedang di kamar Ibu sudah lelap karena letihnya, sejak siang tadi dagangan tidak terlihat ramai pembeli.

“Aku tetap usahakan pulang cepat kok Kak. Di luar Diana sudah nunggu, aku berangkat. Assalamu’alaikum.” Aku tak bisa berbuat apa-apa, langkahnya yang ringan membawanya keluar melewati ruang tamu, meninggalkanku yang masih terlihat berfikir sambil menggenggam remote televisi. Aku hanya diam menggigit bibir, berharap ia bisa menjaga diri. Bangkit dari karpet dan beranjak ke kamar Ibu, ingin pamit pada sosoknya yang letih walaupun dengan bisikan. Aku berniat untuk menyusul gadis kecil itu. Aku kakaknya.

Tidak lama, aku sudah begitu dekat dengan rumah mewah yang gemerlap dengan lampu tamannya. Terdengar riuh renyah tawa dan canda dari dalamnya, musik gaduh menyapa sampai tempatku mengamati saat ini. Kuparkir motorku tidak jauh dari trotoar tempatku duduk. Aku gelisah, mataku seperti pemburu yang mencari buruannya.

“Aaaaa…” teriakan itu memecah pikiranku, melempar pandanganku pada sumber suara. Aku kenal suara itu, sebuah mobil Jeep hitam terlihat menyalakan mesinnya. Tapi____

Sinta! Tubuh kecil adikku itu tak berdaya. Sedang pemuda-pemuda sebayanya terlihat membopong dirinya ke dalam mobil! Ada apa ini?! Yaa Allah!

Aku bangkit dan setengah berlari ke mobil itu sambil berteriak garang. Aku tidak rela adik kecilku dinodai! Walaupun harus di neraka aku habisi kalian. Sungutku. Ini yang kuhawatirkan sejak dulu, Sinta.

***

“Kak bagus tidak?” Ia bertanya tentang penampilannya.

“Apa gak ada pakaian lain Sin?” jujur saja, aku sebagai kakak masih heran. Penampilannya itu keterlaluan, aku bisa bilang itu memang trend mode saat ini tapi di mata laki-laki itu sudah cukup mengundang godaan.

“Ganti!” pintaku padanya, tingkah cueknya tetap saja ia tunjukkan. Aku bingung. Rok panjang dan baju muslimah yang sudah kupilihkan untuknya seperti tak ada harganya.

“Ini sudah membuat Sinta cantik kakakku sayang. Teman-teman lebih bisa nerima Sinta, Sinta gak mau ketinggalan zaman dengan pakaian norak kemarin.” Ada yang menghujam di hatiku. Aku memberikan pakaian itu untukmu agar kau lebih anggun, lebih sopan, lebih terjaga dari orang-orang bermata jahil, tapi kenapa justru kau bilang itu kuno. Gumamku.

***

Jeep itu membawa pergi adik kecilku Sinta yang tak berdaya_____

Segera kupacu motor itu dengan kecepatan maksimal, aku tak peduli karena ada yang harus kulindungi. Di pertigaan itu Jeep berbelok ke arah kanan dengan kecepatan tinggi, jarakku yang sudah tidak terlalu jauh membuat darah di otakku mendidih membuatku mengambil keputusan menarik gas lebih cepat tanpa menahan rem. Terlambat.

“Aaaargh…” Cahaya menyilaukan itu tepat berada di sampingku. Gemuruh mesin terasa jelas di telingaku, itu truk barang! Aku terlindas_____”Sintaaa…!”_____

***

“Kak, bangun.” Sayup aku mendengar suara lembut itu. Kubuka mataku, wajah mungil dan cantik tersenyum padaku. Sinta? Aku tidak percaya. Sinta adikku.

“Sudah subuh. Shalat dulu.” Aku meraba tubuhku, tak ada luka, tak ada lecet sedikit pun.

“Kakak mimpi ya?” perlahan aku tersenyum, karena sosok Sinta di hadapanku tidak sama dengan Sinta yang tadi, mukena putih sudah membalut tubuhnya. Persis seperti kesehariannya yang terlihat anggun dengan busana muslimahnya. Hah ternyata aku bermimpi.

“Untuk subuh ini aku jama’ah di rumah saja. Ibu sudah bangun?”

“Sudah, di ruang tengah. Wah gak bisa gitu, Kak di masjid saja. Jangan malas gitu ah.” Kali ini aku benar-benar kagum, ini Sinta yang berbeda.

Aku beranjak untuk mencuci muka dan segera berwudhu, kuikuti kata adikku. Aku harus ke masjid, tidak boleh malas.

“Kak, terima kasih hadiah semalam. Busana muslimahnya bagus.” Hadiah? Ah ini hari ulang tahunnya…

Aku tersenyum, bersyukur. Hanya mimpi.

***

Kutuliskan untuk mereka yang belajar menjadi kakak

Bahwa adik itu berharga

Seperti berlian dengan kilaunya

Seperti intan dengan nilainya

Jangan jadikan diam sebagai nasihat

Karena berkata-kata itu adalah wujud cinta

Kalau ia salah, ingatkan ia dengan kebaikan

Kalau ia bingung, berikan ia jalan keluar

Sungguh, Allah telah menunjuk jalan yang benar

Keputusan ada di tangan kita yang belajar menjadi kakak

Kau ajak ia ke panas neraka-Nya

Atau kau tuntun ia menjemput surga-Nya

Sejak kapan?

Jawabannya, saat ini!

Saat kita masih di alam mimpi,

Sebelum sadar dan menyesal…

Redaktur: Halama Haris

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (18 votes, average: 9.56 out of 5)
Loading...

Tentang

Lelaki kecil asal Lombok, NTB yang mulai menggeluti dunia seni dan literasi sejak sekolah menengah dan berlanjut hingga saat ini. Bergabung bersama komunitas menulis FLP Yogyakarta sejak tahun 2006.

Lihat Juga

Khutbah Idul Adlha 1438 H: Belajar dari Nabi Ibrahim, Bergerak Bersama Dalam Kebenaran

Figure
Organization