Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kapasitas Pengetahuan (Sebuah Pengantar “Muslimkah Kita?”)

Kapasitas Pengetahuan (Sebuah Pengantar “Muslimkah Kita?”)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Indonesia dikenal dengan Negara yang berpenduduk muslim terbesar. Namun yang menjadi pertanyaan apakah identitas muslim tersebut selaras dengan muslim yang sebenarnya sesuai dengan Diin Islam, ataukah hanya identitas KTP semata? Ekstrimnya, banyak yang beridentitas muslim dengan gampangnya berpindah aqidah, seakan–akan agama serupa dengan persinggahan dan ketika telah selesai, tanpa berpikir panjang pergi ke persinggahan lain.

Inilah realita kehidupan muslim di Indonesia. Masih banyak fenomena muslim lainnya yang menggelayuti kehidupan. Ambil saja contoh yang terkait politik, tentunya sekarang kita bermain secara menegara (institusi) untuk pembahasan ini. Dengan jumlah muslim yang begitu besar, seharusnya dapat menjadikan Indonesia menjadi Negara yang maju secara intelektual dan spiritual. Karena pada kenyataannya, para pemegang kekuasaan Negara ini pun beridentitas muslim. Tapi, dalam episode kenegaraan yang juga merambat hingga kedaerahan, krisis moral masih merajalela, kepentingan golongan diprioritaskan, mereka yang mengakui diri sebagai “orang besar” saling berlomba–lomba merauk keuntungan kekuasaan, dan apakah mereka masih dapat dikatakan sebagai seorang muslim?

Sebenarnya hanya ada satu jawaban atas ini, yakni lemahnya pengetahuan muslim di Indonesia atas Diin mereka sendiri, Al-Islam. Seseorang tidak akan menjadi muslim tanpa pengetahuan di dalam dirinya. Bagaimana bisa ia menyatakan diri sebagai seorang muslim tanpa mengetahui perbedaan antara orang-orang kafir dan fasik, antara riya’ dan syirik, dan sebagainya? Bagaimana ia boleh mendakwa beriman kepada ajaran tersebut dan mempraktekkannya? Dan bila ia menyatakan keimanannya tanpa kesadaran dan tanpa pengertian mengenai ajaran tersebut, Bagaimana ia dapat menjadi seorang Muslim? Sesuatu yang tidak mungkin untuk menjadi seorang Muslim dan hidup sebagai seorang Muslim tanpa pengetahuan apa-apa.

Sekarang, siapakah yang dinamakan seorang muslim itu?

Siapa yang dinamakan Muslim dan apa artinya menjadi seorang Muslim? Bila seorang Muslim tidak tahu arti yang sebenarnya dari menjadi seorang Muslim dan apa bedanya seorang Muslim dengan seorang bukan Muslim, maka ia akan berbuat seperti seorang yang bukan Muslim dan tidak akan merasakan kebanggaan menjadi seorang Muslim. Setiap Muslim harus mengetahui apa artinya mengikrarkan diri sebagai Muslim, dan perbedaan apa yang timbul dalam kedudukannya sesudah ia menjadi Muslim. Tanggung jawab yang seperti apa yang ada di belakang keberadaannya sebagai Muslim, dan bagaimana ia merealisasikan tanggung jawab tersebut, serta batasan – batasan apa yang harus ia perhatikan dalam pelaksanaan tanggung jawab tersebut. Dan tentunya kesemua ini butuh pengetahuan yang mendalam. Begitulah ucap Abul A’la Al-Maududi dalam mengekspresikan makna seorang muslim.

Dan apakah dengan terlahir dari rahim orang tua yang Islam, seseorang dapat dikatakan muslim?
Nikmat yang terbesar adalah ketika terlahir sebagai mukmin dari rahim seorang mukmin. Namun, tidak ada kepastian yang menjamin muslim atau tidaknya seorang manusia. Identitas boleh muslim, namun hati dan jiwa belum tentu muslim, jika pengetahuan akan Islam pun belum ada. Di sini lah pengetahuan memainkan perannya dalam hal aplikatif tindakan sebagai muslim. Dan pengetahuan seorang muslim hanya bersumber pada dua kekuatan besar, yakni Al – Quran dan Hadits. Jadikan dua sumber mulia ini sebagai ideologi hidup, cahaya untuk menjadi muslim yang paripurna. Jika tidak, maka jangan sekali-sekali dengan lantang mengatakan ‘I am a moslem”, karena Islam butuh pembuktian, bukan ucapan, dan pembuktian dalam Islam adalah dengan berdakwah (tabligh) yang sangat erat dengan sintesis penerapan Al – Quran dan Hadits dengan ilmu pengetahuan yang komprehensif.

Islam adalah tabligh (menyampaikan atau meneruskan syiar panji – panji agama Allah), dan bagaimana mungkin seseorang bisa bertabligh jika dirinya tidak memiliki pengetahuan? Seperti membimbing seseorang yang tersesat dalam kegelapan, namun tanpa penerang apa pun, dan akhirnya semakin tersesat. Dan Islam adalah sebutan terhadap pengetahuan dan tindakan mempraktekkan pengetahuan tersebut (Al-Maududi, Manhaj Seorang Muslim). Seseorang tidak dapat menjadi seorang Muslim tanpa memiliki pengetahuan, karena Islam tidak diperoleh karena faktor keturunan, tetapi karena pengetahuan.

Pengetahuan adalah kunci pembeda antara orang-orang kafir dan mukmin. Karena orang-orang kafir tidak mengetahui secara jelas hakikat hidupnya di dunia, mereka tidak mengetahui bagaimana cara berinteraksi dengan Tuhannya, apa hubungan nyata mereka terhadap Tuhan, apa yang Tuhan inginkan terhadap mereka serta tidak tahu cara hidup yang mana yang harus dijalaninya di dunia ini, yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka hanya hidup berdasarkan pemikiran mereka yang diiringi dengan pengetahuan dunia, pengetahuan yang dibuat oleh manusia, pengetahuan yang secara tidak langsung adalah pemikiran manusia, dan pemikiran manusia itu ada batasnya.

Dan Allah akan mengangkat (derajat) orang – orang yang beriman di antara kamu dan orangorang yang diberi ilmu beberapa derajat (Q.S. Mujadilah: 11), ayat ini sangat jelas sebagai pernyataan bahwa seorang muslim itu harus memiliki ilmu pengetahuan, sehingga kemuliaan muslim bisa tersemat di pribadi masing-masing. Ibnu katsir di dalam tafsirnya juga mengatakan bahwa Allah sangat baik kepada manusia karena Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui oleh manusia itu. Sehingga dengan ilmu Allah memuliakan manusia di bandingkan dengan makhluk ciptaan lainnya… Oleh karena itu, seseorang yang mengakui dirinya sebagai muslim, tak ada pilihan lain untuk tidak selalu “Iqra: Membaca” sebagaimana kalimat pertama yang disampaikan Jibril kepada Rasulullah saw. Dan ini sebagai pondasi utama untuk mengokohkan bangunan Islam dalam melawan pemikiran musuh-musuh Islam. Untuk itu, dalam memanifestasikannya dalam beriman, berakhlaq, dan berbudi perangai mulia sebagai bentuk pengakuan kita secara nyata bergabung dalam komunitas muslim, idealnya kita memiliki kapasitas pengetahuan yang besar, mampu merangsang gagasan untuk menciptakan kemajuan-kemajuan baru, dan memiliki azzam yang kuat dan kokoh untuk selalu menggali ilmu agar mampu bertahan ketika ada yang ingin menggoyangkan keimanan kita, serta mempertahankan izzah muslim dimana pun kita berada.

Agama tidak cukup dengan gairah yang besar, karena agama butuh pengetahuan yang benar.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (13 votes, average: 9.85 out of 5)
Loading...
Student of Universitas Bakrie, Accounting Study Program. Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Aktivis LDK (Lembaga Dakwah Kampus) Basmala Universitas Bakrie. Member of Muamalah Community. Seorang hamba yang tidak sempurna namun selalu berusaha menjadi sempurna di mata Tuhan.

Lihat Juga

Imigran Muslim, Akankah Mengubah Wajah Barat di Masa Depan?

Figure
Organization