Topic
Home / Berita / Opini / KPK dan Penguatan Nilai Agama; Catatan dari Pengajian Ramadhan di KPK

KPK dan Penguatan Nilai Agama; Catatan dari Pengajian Ramadhan di KPK

Ilustrasi - Gedung KPK (swatt-online)

dakwatuna.com – Rabu 3 Agustus 2011 (03 Ramadhan 1432 H), saya diundang untuk memberikan kajian keislaman di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski telah sering kali berceramah, terus terang, saya agak gemetar juga datang ke gedung KPK. Apalagi, di depan gerbang, ada banyak mobil stasiun teve, meski saya sadar mereka hadir di sana bukan untuk meliputku. Saya jadi teringat ketika seorang wanita dipanggil Umar bin Khaththab. Demi rasa takutnya pada Umar, shahabiyah yang sedang hamil itu keguguran di tengah jalan. Umar bin Khaththab bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, apakah dia kena denda (diyat) karena telah menyebabkan kematian janin dari perut seorang wanita. Ali menjawab: Ya, Anda wajib membayar denda.

Di tengah gonjang-ganjing pemberitaan tentang KPK, saya ingin memberikan sedikit catatan dari pengajian tersebut. Pertama: keteladanan. Sekitar jam 11.40, saya tiba di gedung KPK, naik ojek dari kantor. Begitu masuk masjid, saya mendapati dua orang jamaah yang sudah duduk khusyu’ menunggu waktu shalat dzuhur tiba. Salah satu dari jamaah itu saya kenal betul karena sering tampil di teve. Dia adalah Abdullah Hehamahua, ketua Komisi Etik KPK dan calon komisioner KPK periode mendatang. Setelah bersalaman, saya shalat dua rakaat sambil menunggu shalat dzuhur. (Tulisan ini tidak bermaksud untuk mempromosikan Abdullah Hehamahua dalam pemilihan pimpinan KPK!)

Adzan dzuhur berkumandang. Pak Abdullah menawarkan saya jadi imam. Saya menolak, dalam hati saya berbisik, ini “rumah” beliau. Shohibul bait lebih berhak jadi imam. Lagi pula, kata Imam al-Mawardi, ada empat syarat jadi imam. Salah satunya, yang paling senior dan shalih di antara kalian. Selesai dzuhur saya memulai pengajian dengan tema arti Ramadhan bagi seorang mukmin, terutama penguatan keagamaan bagi karyawan KPK. Saya melihat Johan Budi, juru bicara KPK, yang siang itu duduk di shaf kedua barisan shalat. Dalam hati saya berbisik lagi, jika biasanya selalu Johan Budi yang bicara, kini giliran saya yang bicara.

Saya memulai pembahasan dengan mengutip Yusuf al-Qaradhawi dalam mengibaratkan Ramadhan. Menurut beliau, dalam الوقت في حياة المؤمن Ramadhan adalah neraca tahunan seorang mukmin. Jika dalam sehari-semalam, seorang mukmin memiliki neraca harian lewat shalat fardhu, maka dalam setahun seorang mukmin melihat neracanya melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Jika sukses ia mengisi ibadah Ramadhannya, niscaya sukses pula ia dalam setahun. Ibadah shaum, kata Rasulullah SAW, harus disempurnakan dengan membayar zakat fitrah. Pada hari Idul fitri itu, kelak seorang mukmin bagaikan dilahirkan kembali dari rahim ibunya.

Kedua: penguatan ruhiyah. Selama ini, kita sering mendengar ada upaya untuk melemahkan KPK. Pelemahan itu ada yang bersifat structural, massif dan terencana dengan berusaha mengebiri kewenangan KPK. Bahkan, ketua DPR Marzuki Alie, mewacanakan untuk membubarkan KPK, jika lembaga ini sudah tidak lagi kredibel. Saya tidak ingin membahas pro-kontra usulan Marzuki Alie itu. Biarlah itu menjadi bahan perbincangan para elit dan politisi. Porsi yang ingin saya kemukakan adalah penguatan nilai-nilai ruhiyah pada (pegawai) KPK. Seperti kata pepatah, “a man behind the gun”. Selalu saja, manusia yang menentukan kekuatan suatu alat. Maka, sesungguhnya, para pegawai KPK-lah yang menentukan apakah kerja-kerja KPK berbobot atau hanya sampah, betapapun kita kuatkan lembaga itu dengan segala perangkat Undang-Undang.

Tudingan Nazaruddin bahwa sejumlah pejabat KPK ikut bernegosiasi kasus (meski harus dibuktikan di depan pengadilan), membawa pesan kuat yang harus diserap setiap insan KPK; Bahwa mereka wajib steril dari berbagai godaan duniawi. Salah satu palang pintu untuk menahan godaan itu adalah penguatan mental spiritual. Kita tahu, KPK adalah lembaga ad-hoc (sementara) dimana para pegawainya adalah orang-orang yang datang dari berbagai korps dan latar belakang. Untuk itu, diperlukan upaya untuk bisa saling memahami satu sama lain, agar kemudian terbangun kekompakan dalam mengusung tema besar yaitu memberantas korupsi di negeri ini.

Saya yakin, pengajian (bagi pegawai KPK yang beragama Islam) dan ibadah keagamaan lainnya pasti akan memicu kesadaran kebersamaan dalam memberantas korupsi itu. Manusia, sesuai kodratnya, adalah makhluk yang gampang lengah dan lupa. Untuk itu, diperlukan metode yang tepat agar insan KPK selalu ingat bahwa mereka tengah berjihad. Sebuah jihad yang sangat besar sebab melawan kezhaliman korupsi yang telah menggurita. Imam Ali mengatakan, kejahatan yang terorganisir dapat mengalahkan kebenaran yang tak terorganisir. Karena itu pula, harus ditanamkan di hati setiap insane KPK bahwa mereka tengah berjihad. Kisah berikut ini menarik untuk dikutip.

Diriwayatkan, salah seorang sahabat Rasulullah SAW bernama Handzalah bin Abu Amir RA. Saat itu,, ia masih pengantin baru. Seperti umumnya pasangan yang baru saja menikah, Handzalah dan istrinya menikmati cinta di malam pertama. Mereka berhubungan badan sebagai bagian dari keindahan pernikahan sekaligus ibadah yang menyenangkan. Malam itu, saat ia masih berada dalam pelukan sang istri, Handzalah mendengar gemuruh pertempuran dan seruan Rasulullah SAW untuk berperang di medan Perang Uhud.

Tanpa pikir panjang, Handzalah pun melepaskan pelukan istrinya, lalu bergegas menyambut panggilan itu dan bergabung dengan pasukan muslim menghadapi pasukan kafirin. Ia menyibak barisan hingga dapat berhadapan langsung dengan komandan pasukan musuh, Abu Sufyan bin Harb. Ia hampir mampu membunuh Abu Sufyan, namun tiba-tiba ia ditikam oleh anak buah Abu Sufyan, Syaddad bin Al-Aswad, hingga meninggal dunia. Ia pun mati syahid. Kabar kematian Handzalah sampai kepada Rasulullah Saw. Beliau pun bersabda, “Sesungguhnya sahabat kalian (Handzalah) dimandikan oleh malaikat, maka tanyakanlah bagaimana kabar keluarganya.”

Mendengar sabda Rasulullah SAW tadi, para sahabat terheran-heran, mengapa Handzalah dimandikan malaikat. Bukankah orang yang gugur di medan jihad (mati syahid) tidak perlu dimandikan, dikafankan dan dishalatkan? Para sahabat pun kemudian menemui istri Handzalah. Istrinya berkata, “Ketika mendengar panggilan untuk berperang, suamiku langsung menyambutnya, padahal ia dalam keadaan junub (hadats besar).” Ketika para sahabat mengabarkan hal itu kepada Rasulullah Saw, beliau berkomentar pendek. “Itulah sebabnya ia telah dimandikan oleh malaikat” (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyah li Ibni Hisyâm). Kita berharap, para insan KPK memiliki kesadaran seperti itu. Bahwa berperang melawan korupsi setara dengan jihad di jalan agama.

Ketiga: Kebanggaan terhadap Pekerjaan Muadzin Anti Korupsi: Di pengajian yang singkat itu, saya menceritakan kegundahan Bilal bin Rabah, muadzin di zaman Nabi SAW. Sebagai seorang marbot, Bilal sempat mengeluh kepada Rasulullah SAW. Katanya, “Ya Rasulullah… orang-orang lain berdagang dan (dengan keuntungan berdagangnya) mereka berinfak, aku Cuma seorang muadzin.” Rasulullah SAW membalas, “Ya Bilal, tidakkah engkau bahagia bahwa kelak di hari kiamat engkau adalah orang yang paling panjang lehernya.” (HR Muslim:).

Bekerja di KPK ibarat muadzin menuju kebaikan di negeri ini. Bayangkan, negeri mayoritas muslim ini masih berkutat sebagai “top ten” terkorup di dunia. Betapa malunya kita, sebuah negeri yang selalu “full” quota haji tiap tahun, namun “full” pula catatan korupsinya. Negeri yang masjidnya ramai saat Ramadhan, ramai pula penjaranya dengan para pencoleng keuangan negara. Sebagai pegawai KPK, kalian adalah marbot dan muadzin Negara. Saya membayangkan, jika pada setiap shalat Jum’at marbot mengumumkan penghasilan keropak amal, betapa indahnya jika selaku “marbot Negara” KPK berhasil membersihkan keuangan Negara seutuhnya. Karena itu pula, diperlukan kebanggaan kepada pekerjaan ini.

Walallahu a’lam bis showab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 9.91 out of 5)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization