Topic
Home / Berita / Opini / Ahmadiyah Sebagai Agama (Resmi) Baru?

Ahmadiyah Sebagai Agama (Resmi) Baru?

Mirza Ghulam Ahmad yang dianggap Nabi oleh Ahmadiyah (wikipedia)

dakwatuna.com – Menyusul penyerangan Jamaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten beberapa waktu lalu, saya menulis agar Presiden mengambil langkah kongkret dengan menerbitkan Peraturan Presiden yang melarang atau membubarkan organisasi (perkumpulan) Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). (lihat artikel sebelumnya, Jalan Penyelesaian Ahmadiyah). Usulan saya itu didasarkan, antara lain, bahwa Ahmadiyah sebagai perkumpulan telah melanggar ketentuan dalam UU No. 1/PNPS/1965.

Sekedar mengingatkan, UU No. 1/PNPS/1965 itu pernah dimohonkan oleh Aliansi Kebebasan Beragama (AKB) untuk dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. AKB terdiri atas tujuh badan hukum, yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Perkumpulan Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (Demos), Perkumpulan Masyarakat Setara, Yayasan Desantara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Pemohon perorangan, yakni, (Alm) K.H. Abdurahman Wahid, Prof. DR. Musdah Mulia, Prof. M. Dawam Rahardjo, dan KH. Maman Imanul Haq.

Dalam kesimpulannya, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak berdasar. “Dalil pemohon baik formil maupun materil tidak berdasarkan hukum,” tegas Professor Mahfud MD, ketua MK.  Oleh karena MK telah menolak permohonan tersebut, maka UU No. 1/PNPS/1965 tersebut tetap berlaku sebagai hukum formil di Indonesia. Itulah sebabnya mengapa saya mengusulkan agar Presiden segera menerbitkan Peraturan Presiden yang membubarkan Jamaat Ahmadiyah Indonesia. Selain SKB tahun 2008 tidak mampu menyelesaikan kasus ini secara tuntas, membiarkan JAI, sebagai organisasi, hidup dan berkembang sama halnya dengan menyimpan api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat menyulut emosi kemarahan baru.

Namun, kita pun tidak bisa menutup mata, bahwa seseorang yang telah berkeyakinan atas suatu ajaran sulit untuk diubah dalam satu hari. Sementara, sebagai warga negara, penganut Ahmadiyah berhak hidup secara berdampingan dengan masyarakat lainnya, hak yang juga dijamin oleh konstitusi. Sebagaimana dilaporkan Tempo Interaktif, Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan ada empat hal yang bisa menjadi solusi. Salah satunya adalah menjadikan Ahmadiyah sebagai sekte sendiri dan tidak menggunakan atribut Islam dan al-Quran. Usulan Pak Menteri Agama ini menjadi menarik sebab selain diucapkan oleh pejabat tinggi negara, juga nampaknya menjadi salah satu alternatif yang mulai dapat diterima oleh masyarakat muslim Indonesia. Hal itu tercermin, antara lain, dengan ungkapan yang sama dari Priyo Budi Santoso, wakil ketua DPR asal Golongan Karya.

Sebelum sampai ke usulan Pak Menteri itu, saya ingin sedikit flash-back. Ada hal yang sering kita keliru sejak kecil dulu. Sewaktu masih sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (yang lain mungkin sekolah di SD yah) saya diajarkan bahwa hanya ada lima agama yang diakui negara. Islam, Kristen (Protestan), Kristen (Katolik), Hindu dan Budha. “Doktrin” ini menghipnotis hampir semua masyarakat Indonesia, padahal dasar dari “doktrin” ini sebetulnya tak jelas benar. Bukankah, konstitusi menjamin kebebasan beragama. Dan dalam penjelasannya, konstitusi tak menyebutkan agama-agama tertentu sebagai agama resmi negara.

Usut punya usut, sumber pemahaman yang keliru itu adalah Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/1978 tentang petunjuk pengisian kolom pada KTP. Seperti kita tahu, pada kolom isian KTP, selain terdapat nama, tempat tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, juga terdapat kolom agama. Nah, sebagai panduan, SE Mendagri menyebutkan, antara lain, bahwa jawaban atas pertanyaan kolom agama harus diisi dengan lima pilihan di atas. Mengutip pendapat Prof. Mahfud MD, SE Mendagri itu eksesif. Seharusnya sesuai sifatnya, Surat Edaran tak boleh bersifat mengatur yang di luar kewenangan, tetapi memberi petunjuk. SE itu harusnya hanya berisi petunjuk teknis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, kode blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan, dan petunjuk tindakan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri (Mahfud MD, 2009).

Implikasi dari SE Mendagri adalah para penganut “Konghucu” harus menjadi “korban” dari penyeragaman agama. Sehingga, agar mudah (dan aman) banyak penganut Konghuchu memilih agama Kristen atau Budha sebagai jawaban atas pertanyaan di kolom agama itu, walaupun tentu saja hati kecil mereka tak terima. Apalagi kemudian ada Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1967 tentang adat istiadat China yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto yang, antara lain, melarang kegiatan kebudayaan Cina dirayakan. Instruksi yang kemudian dicabut oleh Gus Dur saat almarhum menjadi presiden.

Jadi, sampai detik ini, tidak ada satu undang-undang yang mengatur tentang agama-agama resmi negara. Namun, dalam penjelasan resmi pasal demi pasal pada UU No. 1/PNPS/1965, disebutkan antara lain bahwa penodaan agama adalah apabila bertentangan dengan lima agama yang mayoritas dipeluk bangsa Indonesia itu. Jadi, untuk kasus penodaan agama Islam, lembaga yang paling otoritatif menilai (dengan fatwa) tentang sesat atau tidaknya suatu ajaran adalah Majelis Ulama Indonesia. Hal ini karena MUI adalah badan keagamaan tertinggi yang terdiri dari seluruh komponen umat. Sedangkan untuk menentukan suatu perbuatan tergolong pidana penodaan atau bukan, maka hal itu merupakan kewenangan pengadilan.

Ahmadiyah telah difatwakan sesat oleh MUI, namun – sepanjang pengetahuan saya – belum pernah ada pengikutnya yang menyebarkan dakwah Ahmadiyah dihukum oleh lembaga pengadilan. Padahal perbuatan mereka jelas-jelas bertentangan dengan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 yang menyebutkan, “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.

Ada sebagian orang yang tidak mengerti hal ini, dan langsung menuduh fatwa MUI sebagai biang keladi penyerbuan markas-markas Ahmadiyah. Hemat saya, sepanjang presiden tidak berani mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membubarkan JAI, maka sama halnya dengan Pak Polisi yang membiarkan pencurian sepeda motor terjadi di kantornya. Karena polisi tak bertindak, dan pencuri itu ketangkap tangan oleh massa, maka massa-lah yang menghakiminya. Tentu saja, perbuatan massa itu salah, tetapi membiarkan tindak pidana terjadi adalah juga sebuah kesalahan yang lebih besar. Karena itu, maxim hukum Latin mengatakan, “ubi jus ebi remedium” (Setiap tindak pidana pasti ada hukumannya).

Kembali ke usulan Pak Menteri di atas, jalan paling elegan adalah bubarkan dulu JAI sebagai perkumpulan karena telah melanggar UU No. 1/PNPS/1965. Lalu, berdasarkan fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah, Presiden dapat mengeluarkan Peraturan Presiden lainnya yang mengatur kelompok-kelompok sempalan (bukan hanya Ahmadiyah) agar tidak menggunakan atribut dan idiom satu agama yang telah dikenal luas masyarakat. Kemudian, presiden mengeluarkan satu instruksi khusus tentang Ahmadiyah sebagaimana Gus Dur mengeluarkan instruksi presiden tentang Konghuchu. Dengan demikian, presiden terhindar dari menciptakan (mengesahkan) suatu agama baru tetapi, saat yang sama, menjamin kehidupan pemeluk agama (baru) itu hidup berdampingan dengan pemeluk agama-agama negara lainnya.

Wallahu a’lam bishowab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (52 votes, average: 8.38 out of 5)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Din Syamsuddin: Agama Harus di Praktekkan dalam Kehidupan Sehari-hari

Figure
Organization