dakwatuna.com – Dubai. Di tengah tuntutan komunitas Muslim Jerman yang meminta keseriusan Pemerintah Federal Jerman dalam usaha menghilangkan ketakutan terhadap islam, salah satu negara bagian Jerman, Niedersachsen mulai memasukan Islam sebagai salah satu kurikulum pendidikan. Ini dilakukan sebagai bagian dari usaha untuk meminimalisir islamophobia di Eropa.
Menteri Pendidikan Negara Bagian Neiderhansen, Bernd Althusman mengatakan pihaknya sudah siap untuk memulai pelaksanaan kurikulum tentang Islam. “Kami sudah siap,” ujarnya disela kunjunganya ke sekolah-sekolah di Hanover seperti dikutip dari Alarabiya, Kamis (16/9).
Kesiapan negara bagian Niedersachsen memasukan kurikulum Islam tidak terlepas dari aksi provokasi yang terjadi di Belanda dan penerbitan buku yang menyudutkan Islam. Kondisi itu diperparah kedatangan Geert Wilders, pimpinan Partai Konservatif Belanda yang memberikan pidatonya di Berlin. Kedatangan Wilders merupakan buah inisiatif dari René Stadtkewitz, sosok konservatif yang terbuang dari partai Uni Demokratik Kristin pimpinan Kanselir Jerman, Angela Merkel.
Stadtkewitz sempat menyatakan Islam adalah alasan di balik gagalnya intergasi imigran asing ke dalam masyarakat Jerman. “Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem poliyik. Islam tidak toleran terhadap orang-orang yang berpikir secara berbeda,” kata dia.
Budaya anti-Islam
Sejumlah Partai konservatif di Eropa mulai bergeliat kembali. Bangkitnya partai-partai itu diawali dengan hadirnya tokoh-tokoh semodel Jean Le Pen di Perancis, Greets Wilders di Belanda dan René Stadtkewitz di Jerman. Naiknya popularitas partai konservatif merupakan bentuk ketidaksukaan sebagian masyarakat Eropa melihat menyebarnya Islam di benua biru.
Pendiri sekaligus penasihat senior Institute for International Relations yang berbasis di Paris mengatakan tren anti-Islam bukanlah hal yang baru. Menurut dia, gerakan anti-Islam di Eropa bangkit lantaran adanya momentum. Pemanfaatan momentum itu yang kemudian dinilai Moisi diboncengi penciptaan budaya ketakutan terhadap Islam dalam masyarakat Eropa.
“Satu pertemuan dalam berbagai jenjang, ketakutan terhadap yang lain, ketakutan masa depan, dan kecemasan mendasar tentang hilangnya identitas dalam dunia yang rumit,” papar Moisi dalama artikelnya yang berjudul ‘The Clash of Emotion’. Ketakutan ini, kata Moisi, dimanfaatkan secara optimal untuk menghasut kebencian terhadap umat Islam. (irf/Agung Sasongko/Alarabiya/RoL)
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: