Topic
Home / Narasi Islam / Khutbah / Khutbah Idul Adha / Khutbah Idul Adha 1430 H: Semangat Berkorban VS Mengorbankan

Khutbah Idul Adha 1430 H: Semangat Berkorban VS Mengorbankan

dakwatuna.com – Seseorang menjadi besar karena jiwanya besar. Tidak ada jiwa besar tanpa jiwa yang punya semangat berkorban. Berkat ruhul badzli wal tadlhiyah wal mujahadah/spirit berbagi, berkorban dan berjuang, ummat ini telah menjadi ummat yang besar, bergensi dan disegani dunia dalam sejarahnya. Mari kita kembalikan kebesaran serta gensi ummat ini dengan menyemai semangat memberi, berkorban dan mujahadah pada diri dan keluarga kita.

الله أكبر3 لااله الاالله والله أكبر. الله أكبر ولله الحمد. الحمد لله الذي بنعمه تتم الصالحات. وأمرنا بعبادته وتقواه بامتثال المأمورات واجتناب المنهيات. أشهد الا اله الاالله رب المشرق والمغرب ورب العرش والسماوات  مدبر كل المجريات. وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أمره الله بالنحر بعد الصلاة شكرا للنعم والمنات. فالللهم صل وسلم وبارك علي نبي المرحمة والملحمة بعثه الله بأكمل الشرائع رحمة لجميع المخلوقات. أما بعد, فياأيها الناس اتقوالله وعظموا شعائره وذلك من تمام القربات .

Alhamdulillah, kembali Allah SWT mempertemukan kita di tempat yang mulia ini dalam rangka menta’zhimkan syi’ar agamaNya. Bertakbir mengagungkan asmaNya, ruku’ sujud bertaqarrub serta bersyukur atas segala karuniaNya, kemudian akan dilanjutkan dengan menyembelih kurban, sebagai manifestasi ketaatan terhadap perintahNya, meneladani RasulNya serta memperingati peristiwa pengorbanan khalilullah Nabi Ibrahim dan Ismail ’alaihimassalam.

Sesungguhnya ada hubungan yang kuat antara pelaksanaan shalat ‘iedul adha, penyembelihan qurban, dengan eksistensi kita bahkan masa depan kita sebagai umat beriman. Sebagaimana digambarkan dalam Surah al Kautsar:

INNAA A’THAINAAKAL KAUTSAR

FASHALLI  LIRABBIKA WANHAR

INNA SYAANI-AKA HUWAL ABTAR

Surat Al Kautsar sungguh memberi kabar gembira kepada umat akhir zaman. Betapa Allah SWT yang Maha Rahman telah memuliakan junjunan alam Muhammad saw dengan pelbagai karunia ”al kautsar”. Yaitu: al khairul katsir (kebaikan yang banyak), al Islam, al Quran, katsratu al ummah, al itsar, dan ”rif’atul dzikri” di dunia ini kemudian telaga al Kautsar di akhirat kelak. Itu semua sudah Allah karuniakan kepada nabi kita Muhammad saw. Sedang bagi kita selaku ummat beliau, semua itu merupakan ”busyra” kabar gembira, bahwa jika kita memenuhi syaratNya maka semua karunia itu pun disediakan bagi kita. Syaratnya hanya dua saja, yaitu menunaikan shalat karena ”tha’atan wa taqarruban”, dan menyembelih binatang nahar karena ”syukran” atas nikmat Allah yang tak terhitung satuan maupun  jumlahnya. Dengan memperbanyak shalat yang juga bermakna do’a dan banyak berkorban (tadlhiyah), nikmat dan karunia dari Allah tidak akan pernah berkurang bagi yang melaksanakannya. Justeru dengan jalan itu, karunia Ilahi akan terus ditambahkan sepanjang jalan shalat dan pengorbanan. Jalan yang memastikan masa depan yang menjanjikan kebaikan, kemajuan dan kebahagiaan.

Allahu Akkbar  3 X walillahilhamd

Tetapi sebaliknya, apabila jalan shalat dan pengorbanan itu tidak ditempuh, karena memperturutkan kemalasan dan kebakhilan, maka Allah tegaskan ”INNA SYAANIAKA HUAL ABTARU”.

Artinya apa, disebabkan  keengganan mengikuti sunnah Rasulullah saw berupa penunaian shalat dan kurban, maka ”al abtaru” keterputusan aliran rahmat Allah SWT telah menjadi ketetapan. Suatu gambaran masa depan yang suram, sebab tanpa rahmat Allah maka kegelapan lahir batin telah menanti.  Kegelapan individual kemudian kegelapan sosial menjadi tak dapat dihindari. Na’udzubillahi min dzalik..

Ma’asyral Mu’minin wal mukminat akramakumullah

Tadi disebutkan bahwa di antara makna ”al kautsar/karunia yang banyak” itu adalah ”rif’atul dzikri” kedudukan yang tinggi dan sanjungan yang luhur. Itu merupakan resultante yang memang wajar dan logis. Betapa tidak sebab posisi kesyukuran dan pengorbanan itu berada pada anak tangga yang luhur.

–         Paling rendah adalah posisi MENGORBANKAN sesama, berarti posisi KEZHALIMAN yang mengantarkan kepada ’ZHULUMAT” kegelapan dunia akhirat, dimana aliran NUR ILAHI dan rahmatNya terputus.

–         Posisi di atasnya adalah MEMBIARKAN (EGP) ”Al khudzlan” yang juga dilarang oleh Rasulullah saw. Sikap abai membiarkan sehingga orang lain celaka, meskipun bersifat pasif tapi sesungguhnya termasuk kejahatan kepada sesama.

–         Di atasnya posisi INSHAF (fairness/adil). Yaitu berbuat sewajarnya, sebatas menunaikan atau menggugurkan kewajiban agar terhindar dari kezhaliman. Boleh jadi meski positif tapi tidak dikedepankan dengan sepenuh hati.

–         Posisi tertinggi adalah TADLHIYAH/BERKORBAN untuk kebaikan sesama atau orang banyak.  Tentu saja dasarnya kerelaan yang bukan setengah hati, dan merupakan bentuk keihsanan yang merupakan kelanjutan dari taqwa” TSUMMATTAQAU WA AHSANU” kemudian mereka bertaqwa dan berbuat ihsan. ”WALLAHU YUHIBBUL MUHSININ”.  (Al Maidah, 93). Maka hanya cinta Allah yang akan diberikan kepada mereka yang berkorban dan berbuat ihsan.

Allahu Akbar 3 X walillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Binatang kurban yang disebut udlhiyah atau nahar adalah simbolisasi tadlhiyah yakni pengorbanan. Baik udlhiyah maupun tadlhiyah posisinya sama sebagai ‘ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah (taqarruban wa qurbanan). Jika menyembelih udlhiyah merupakan ‘ibadah material yang ritual, maka taldhiyah/pengorbanan di jalan Allah merupakan ‘ibadah keadaban yang memajukan sektor-sektor kehidupan yang lebih luas. Tidak ada ruginya orang yang berudlhiyah dan bertadlhiyah, karena sesungguhnya termasuk dalam kerangka MULTI QURBAN/pendekatan diri dan MULTI INVESTASI.

– Bertadlhiah merupakan multi pendekatan diri/qurban, sebagaimana dinyatakan dalam ikrar seorang muslim yang bertaqarrub kepada Rabbnya melalui shalat : INNA SHALATI WA NUSUKI WA MAHYAYA WA MAMATI LILLAHOI RABBIL ‘ALAMIN LA SYARIKA LAH.

Kita diperintahkan untuk bertaqarrub kepada Maha Pencipta dengan shalat serta ‘ubudiah yang lain, dan bertaqarrub kepada Allah dalam segala aktivitas hidup ini.

– Bertadlhiyah bermakna multi investasi:

–         Merupakan investasi sosial (social investment) karena jelas, pengorbanan baik material maupun moral memberikan dampak sosial yang positif. Dalam Al Quran Surah Annisa ayat 114 disebutkan:  Bahwa tidak ada kebaikan dalam pembicaraan atau wacana yang diadakan, kecuali untuk mengajak orang bersedekah, memerintahkan yang ma’ruf, atau untuk mendamaikan sengketa di antara masyarakat. Dan barangsiapa melakukan itu karena ridha Allah niscaya berbalas pahala yang besar.

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

–         Bertadlhiah meruapakan investasi ekonomi (economic investment). Sebagaimana dinyatakan dalam QS al Lail, ayat 5- 10: “Barangsiapa memberi dan bertaqwa serta membenarkan balasan yang sebaik-baiknya, maka niscaya Kami beri kemudahan demi kemudahan. Dan barangsiapa yang kikir dan merasa tidak memerlukan orang lain serta mendustakan pahala yang lebih baik, maka niscaya Kami bukakan baginya pintu kesulitan”.

–         Bertadlhiah juga  merupakan bentuk moral investment, yang mampu mengikis kekikiran ” al syuhhu”. Sifat kikir sangat berbahaya, sebagaimana diperingatkan dalam sabda Rasulullah saw:

إياكم والشح ، فانما هلك من كان قبلكم بالشح ، أمرهم بالبخل فبخلوا ، وأمرهم بالقطيعة فقطعوا ، وأمرهم بالفجور ففجروا.  (د وابن جرير في تهذيبه ك ق عن ابن عمرو).

Artinya: ”Hati-hati dengan sifat kikir. Sebab sesungguhnya kehancuran umat sebelum kalian diakibatkan kekikiran, sifat kikir telah mendorong mereka untuk berlaku pelit, lalu mendorong mereka untuk memutus silaturahim dan akhirnya telah mendorong mereka melakukan kejahatan”.

–         Endingnya, pengorbanan di jalan Allah tentu saja sebagai investasi ukhrawi. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits bahwa ’ibadah  orang yang menyembelih binatang kurban sudah diterima Allah sebelum darahnya menetes ke tanah, dan merupakan seutama-utama ’ibadah pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Allahu Akbar 3 X walillahilhamd

Ma’asyiral Muslimin wal muslimat rahimakumullah

Demikian agungnya makna serta pahala udlhiyah, tadlhiyah sebagai wujud pengorbanan untuk memajukan hidup sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Menumbuh kembangkan spirit pengorbanan merupakan bagian mendasar dalam rangka pembentukan karakter masyarakat dan bangsa yang beradab. Seorang pemimpin sejati akan lebih kuat tarikannya pada kekitaan untuk memikirkan masyarakatnya daripada tarikan pada ke akuan untuk semata memikirkan kepentingan diri sendiri. Untuk kemaslahatan kita pemimpin rela mengorbankan akunya jika diperlukan. Demikian halnya dengan negarawan, menempatkan akunya dalam ke kitaaan. Itulah yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah saw, sebagai sosok pemimpin yang datang dari kita ”min anfusikum”, penuh perhatian pada kita ”’azizun ’alaihi ma ’anittum”, selalu konsen kepada kepentingan kita ”harishun ’alaikum”, dan secara adil/proporsional memberi kasih sayangnya kepada semua ”bil mukminina raufurrahim”.

Allahu Akbar 3 X walillahilhamd

Namun apa yang kita saksikan dewasa ini. Jiwa pengorbanan pada banyak kalangan telah digeser oleh semangat atau nafsu mengorbankan orang lain. Bahkan sebetulnya bukan orang lain, tapi saudara sebangsa bahkan seprofesi dan seinstitusi. Perhatikan saja kemelut di ranah hukum, dimana para oknum melibatkan tiga lembaga hukum di Republik ini. Perang terbuka di  media massa makin membuat rakyat prihatin tetapi juga bingung. Kasus besar yang di-blow up, menggelinding makin ruwet bagai gulungan benang kusut. Analisis secara yuridis dan sosiologis tidak mampu membawa peta masalah makin terang benderang.

Hanya satu pisau analisis yang mampu memosisikan dan memahami masalah yang ada secara mendasar dan tepat. Yaitu analisis mental dan moral manusia. Secara mental ada kerusakan yang serius, yaitu hilangnya kejujuran ”al shidqu”, dan diputusnya ketertautan antara apa yang diperbuat di dunia ini dengan kesadaran terhadap negeri akhirat. Dengan absennya kejujuran maka yang menggantikannya adalah kedustaan ”al kadzibu”. Bermula dari dusta antar personal kemudian berkembang menjadi kedustaan publik bahkan bisa merambah jadi kedustaan institusional. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi orang yang mau mengakui kesalahan malah justeru menyalahkan pihak lain, dan ujung-ujungnya mengorbankan pihak lain demi  membela akuisme personal atau egoisme lembaga. Pada alur ini cara-cara rekayasa, penjebakan, pengerdilan dan boleh jadi kriminalisasi menjadi pilihan yang dijalani.

Dalam konteks ini Rasulullah saw telah memberikan peringatan dengan sabdanya:

”Hati-hati dengan dusta, sebab dusta akan membawa pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan menyeret ke naraka. Seseorang berulang kali berdusta hingga terbentuk sifat  dan dituliskan sebagai pendusta” (Riwayat Muslim)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Egoisme bermula dari ketidak pedulian terhadap sesama, kemudian demi untuk memenangkan diri atau paling banter kolega chemistrinya maka orang menjadi tidak ragu untuk melakukan kedustaan yang tentu saja merugikan/menzhalimi orang lain. Berikutnya orang akan menutupi kebohongan pertama dengan kebohongan-kebohongan berikutnya secara berlapis-lapis. Krisis kejujuran ini menemukan sinergisitasnya dengan meluasnya egoisme di kalangan masyarakat. Egoisme yang kian parah, sanggup melupakan jasa seorang isteri yang berbilang tahun telah memberikan kesetiaannya secara ikhlas, begitu pun sebaliknya. Prahaha rumah tangga hanya buah dari keakuan yang diperturutkan oleh seorang suami atau isteri. Gara-gara egoisme sektoral maka sinergi antar lembaga sosial atau pemerintah akan berantakan, perundingan akan dead lock, yang menjadi konsen masing-masing pihak adalah mencai titik lemah dan melemahkan pihak yang lain.

Egoisme personal atau sektoral jika dikembangkan akan mengemuka dalam tiga sikap yang destruktif, sebagaimana disebutkan dalam Atsar Umar bin Khatthab. Yaitu: ”syukhkhun mutha’un” sikap pelit yang menggerus rasa empati terhadap sesama; ”hawan muttaba’un” yakni hawa nafsu selera rendah yang diikuti sehingga makin jauh dari idealisme bahkan kewajaran sekalipun; dan ketiga ”dunyan mu’tsaratun” yaitu kepentingan duniawi yang terus dikejar. Dalam konteks itu semua bukan lagi nilai yang menjadi acuan atau norma yang jadi rujukan, melainkan ”i’jabu dzirra’yi bira’yihi” kepongahan orang dalam  mempertahankan/membela  pendapatnya sendiri. Konsultasi diabaikan dan musyawarah dilecehkan dengan teknik-teknik manipulatif.

Faktor-faktor itu oleh sahabat Umar disebut ”al muhlikat” yakni faktor-faktor penghancur  dalam kehidupan masyarakat. Kalau satu dari empat penyakit mental dan moral tersebut sudah merusak, bagaimana jika keempat-empatnya sekaligus telah menimpa  kalangan masyarakat kita.  Di bawah selimut awan pekat egoisme dan pelbagai bentuk rekayasa dan kebohongan, pesimisme di tengah-tengah masyarakat terus menyeruak melontarkan tanda tanya: masih adakah harapan akan keadilan, kejujuran dan ruang ASA bagi sebuah masa depan yang lebih baik ?

Allahu Akbar 3 X walillahilhamd

Betapapun kita telah banyak berbuat salah pada diri kita, kepada masyarakat serta ma’siat kepada Allah, kembalilah kepada iman di dada agar tetap punya harapan untuk baik. Allah SWT menyeru kita dalam al Quran Surah Azzumar, ayat 53 s/d 55: ”Katakanlah, hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepadaNya, sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, sebelum datang adazab kepadamu dengan tiba-tiba sedang kamu tidak menyadarinya”.

Mari kita sadari betapa Allah telah memberi kita dengan karuniaNya yang banyak. Sebagai makhluk yang tahu berterima kasih, marilah kita mendekat kepada Allah . Jangan pernah tinggalkan shalat, perbanyak shalat sunat dan syukur nikmat. Mari belajar berempati kepada sesama dengan sebentuk tadlhiyah (pengorbanan), moral dan/atau material. Mari syi’arkan ’idul qurban ini dengan menyaksikan, membantu atau juga menyembelih seekor hewan kurban, demi memenuhi seruan Allah, meneladani Rasulullah, memperingati pengorbanan kekasih Allah Nabi Ibrahim & Ismail ’alaihimassalam, dan untuk belajar berempati terhadap saudara-saudara kita yang kurang mampu.

Seseorang menjadi besar karena jiwanya besar. Tidak ada jiwa besar tanpa jiwa yang punya semangat berkorban. Berkat ruhul badzli wal tadlhiyah wal mujahadah/spirit berbagi, berkorban dan berjuang, ummat ini telah menjadi ummat yang besar, bergensi dan disegani dunia dalam sejarahnya. Mari kita kembalikan kebesaran serta gensi ummat ini dengan menyemai semangat memberi, berkorban dan mujahadah pada diri dan keluarga kita.

Do’a:

اللهم أعز الاسلام والمسلمين بعزتك  وأذل الشرك والكفر بقوتك  وارحم المستضعفين برحمتك

اللهم أصلح لنا ديننا الذي هو عصمة أمرنا  وأصلح لنا دنيانا التي اليها معادنا  …

لااله الا أنت سبحانك إنا كنا من الظالمين

ربنا هب لنا من أزواجنا …

ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان …

Redaktur: Samin Barkah, Lc. M.E

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (125 votes, average: 8.72 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

Tentang Makna Kata “Fitri” dalam “Idul Fitri”

Figure
Organization