Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Langkah Kecil dari Hutan Jati

Langkah Kecil dari Hutan Jati

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (urbanbirder.com.au)
Ilustrasi. (urbanbirder.com.au)

dakwatuna.com – Raenah, begitulah namanya yang kutahu, siswa perempuan kelas 1 MI Nurul Hikmah Cihanjuang Kec. Cibaliung Kab. Pandeglang Provinsi Banten. Pertama kali kumelihatnya saat pembagian donasi alat tulis dari “ASA”, pada tanggal 23 Maret 2015 lalu. Padahal sudah dua bulan lebih aku mengajar di sini namun dia tidak pernah masuk ke sekolah. Namun sejak hari itu dia jadi familiar di ingatanku, karena dia anak yang pakaiannya tidak pernah serasi dengan siswa lainnya. Misalnya, hari senin dia mengenakan baju putih dengan rok pramuka, dan lainnya.

Awalnya aku tak begitu peduli dengan semua itu, saat di kelas terkadang dia juga bisa menjawab pertanyaanku lebih cepat dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Semua itu membuatku tidak terlalu memikirkan penampilannya. Sekarang semuanya sudah berubah, Raenah menjadi “trending topic”, dalam hari-hari kami di sekolah. Kisahnya cukup membuatku terhenyak berhari-hari.

Seorang anak kecil yang seharusnya belum merasakan begitu tak adilnya hidup. Bukan alasan kerja membantu orang tua yang membuat dia jarang datang ke sekolah, bukan juga karena malas. Dia hanya tidak punya sandal yang bisa dijadikan alas kakinya menuju sekolah, dia juga tidak punya tas yang layak untuk menampung peralatan sekolahnya. Bahkan rumahnya pun jauh di kebun bekas lading di tengah hutan, kalau hujan dia bakal terjebak karena sungai yang banjir.

Sebenarnya minggu yang lalu pernah kudengar ada anak di kampung sebelah yang hidup serba kekurangan. Jangankan untuk makan tiga kali sehari, untuk makan sekali sehari pun terkadang dia hanya makan daun-daunan, rebung hingga labu untuk bertahan hidup. Awalnya ku tak begitu percaya, karena padi di daerah sini itu sangat berlimpah, rasanya tidak mungkin lagi ada orang yang tidak punya padi. Lagian siswaku di sekolah tidak ada yang mempunyai nama seperti yang disebutkan guru itu. Aku begitu kaget saat cerita itu kembali kudengar, dengan nama tokoh aslinya. Ternyata dia adalah siswaku, dia mempunyai nama sendiri yang sering dipanggil oleh teman-temannya. “enot” begitu warga sekolah pada memanggilnya, sementara yang aku tahu namanya hanya Raenah.

Kulihat daftar nama siswa yang belum membayar iuran untuk acara kenaikan kelas bulan depan. Di kelas satu kulihat nama siswaku itu, sepulang sekolah kuajak dia bercerita tentang keadaannya. Apa yang kudengarkan membuka mataku lebih lebar memandang dunia. Kesedihanku selama ini sebagai orang yang tak punya apa-apa, seketika lenyap berganti syukur yang tiada tara. Satu lagi realita hidup yang menyadarkanku bahwa masih ada orang yang lebih menderita dibandingkan diriku. Kini semuanya kian membuatku ingin mengetahui lebih jauh kehidupan pribadinya.

Dia terlahir dalam keluarga besar, dengan sepuluh orang bersaudara dan hanya dia satu-satunya yang sekolah. Dua di antara saudaranya telah berkeluarga dan tidak lagi tinggal bersama orang tuanya. Kini ada enam orang anak-anak bangsa yang ikut merasakan pedihnya hidup di gubuknya, yang lainnya aku juga tak terlalu tahu kejelasannya. Setelah melalui jarak tempuh selama kurang lebih satu jam dari kampung tempat sekolah berada, sampailah kami di kediamannya. Jalanan berbatu yang sangat becek kalau hujan, kebun singkong, hutan jati, sungai yang kalau hujan selalu banjir, di seberang sungai itu di tengah kebun jati yang sunyi berdirilah gubuk Raenah. Bagi Raenah dan keluarganya ini adalah rumah, namun penglihatanku menyanggahnya, ini sebenarnya bukan rumah, kalau pun mesti dibilang rumah maka sangat tidak layak menjadi label rumah ini.

Rumah panggung khas suku badui, yang berlantaikan bambu yang sudah di belah dan beratapkan daun ilalang (erih, sunda). Rumahnya hanya dua ruangan, satu ruangan terbuka, satu lagi ruangan separuh tertutup untuk menyimpan barang-barang milik keluarganya serta untuk tidur. Bagian belakang ruangan kedua, hanya separuh kebawah tertutup dengan bambu yang telah dibelah, sementara yang bagian depannya sebagian tertutup bamboo hingga atas, namun bagian yang lainnya hanya terbuka saja. Jika malam hari maka rumah itu hanya ditutup dengan tikar yang terbuat dari karung, yang di sini dikenal dengan nama terpal. Atap daun yang sudah mulai bolong di sana-sini menambah kesan betapa sangat dinginnya hidup dalam rumah ini ketika malam hari, apalagi jika hujan deras.

Penghasilan ayahnya hanya dari menangkap burung di hutan, burung itu akan dijual ke pasar dengan harga Rp.5000,-/ekor dan ongkosnya seharga enam ekor burung itu. Dari hasil penjualan burung itulah mereka bertahan hidup. Bisa dibayangkan jika tak satupun burung berhasil didapatkan, maka tak mengherankan jika mereka terkadang hanya makan rebung (tunas bamboo yang masih muda), labu dan daun-daunan lainnya. Mau pinjam ke tetangga tak ada orang yang bermukim di sekitar rumahnya, yang ada hanya pohon-pohon jati yang bisu dan tak bisa berbuat apa-apa.

Perjalanan satu jam untuk orang dewasa tentu akan memakan waktu yang lebih lama jika ditempuh anak sekecil Raenah. Dia tidak mengenal sarapan sebelum berangkat sekolah, bukan karena malas seperti anak pada umumnya, tapi karena memang tak ada yang bisa dimakan jika pagi hari. Palingan juga makan saat pulang sekolah, yang tentu saja sudah lewat tengah hari dia baru sampai di rumahnya, itupun hanya makan sedikit katanya. Bisa dibayangkan betapa kelaparannya Raenah setiap hari, tanpa sarapan serta tanpa jajan di sekolah, terlepas dari sudah biasanya dia tidak sarapan pagi.

Bukannya malas yang menghalangi langkah kecil Raenah untuk terus datang ke sekolah, keadaanlah yang memaksa dia tak mampu berbuat banyak. Setiap kali kulihat wajahnya hanya binar-binar penuh semangatlah yang membayang di mata beningnya. Setiap hari dia selalu melihatku dari sudut pintu di ruang guru, aku merasa tatapannya padaku seolah berkata,” bu, bebaskan aku dari himpitan hidup, aku ingin bisa menikmati dunia sekolah seperti anak-anak lainnya. Aku butuh teman untuk sedikit berbagi keluh kesah”. Terkadang aku berusaha untuk pura-pura tidak menyadari hadirnya, bukan karena benci, tapi ku tak sanggup menerima tatapannya yang sarat pesan.

Awalnya dia sepertinya takut padaku, tapi sejak kupanggil dia dan kusampaikan padanya,” cerita aja sama ibuk,nak…gak usah malu-malu, anggap saja ibuk itu tetehnya kamu”. Dia mulai terbiasa denganku. Sepertinya begitu banyak yang ingin dia ungkapkan, namun keterbatasan bahasa membuat dia hanya bungkam dan terus menatapku. Aku pun belum terlalu mahir menggunakan bahasa mereka, jadi hanya aku yang terus bicara tapi menggunakan bahasa Indonesia. Kejadian serupa pun terulang di rumahnya Raenah, tak banyak informasi yang bisa kudapatkan dari keluarganya. Tapi di hati aku berniat untuk datang kembali lain kali, aku merasa tak tenang jika Raenah terus berada dalam situasi seperti ini.

Aku pun berpikir, Allah menakdirkanku mengabdi di kampung ini agar aku belajar lebih banyak tentang nilai-nilai kehidupan. Belajar menikmati hidup dalam keterbatasan, mengukir senyuman di atas kepedihan bahkan belajar tertawa saat hati benar-benar terluka. Beberapa bulan di kampung ini telah memberiku kesadaran betapa beruntungnya aku. Di sini pun aku belajar bagaimana harus menata hati, melihat orang lain dengan memposisikan diriku di posisi mereka. Mulai menyingkirkan keegoisanku perlahan-lahan, agar hidupku tak hanya tersia untuk diri sendiri.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Peduli Bencana Kebakaran Hutan, KAMMI Komisariat Badung Kumpulkan Donasi

Figure
Organization