Topic
Home / Berita / Analisa / Di Balik Pilpres Mesir dan Suriah

Di Balik Pilpres Mesir dan Suriah

Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Mengapa rezim kudeta di Mesir dan rezim Suriah memilih pilpres sebagai solusi? Apakah sah hasil pilpres yang digelar secara sepihak tanpa menyertakan seluruh komponen bangsa? Ada misi apa sebenarnya dibalik pilpres ini?

Pertanyaan yang mengawali tulisan singkat ini muncul setelah membaca sikap cemas dari rezim di Mesir dan Suriah saat ini, yang tidak sanggup menahan gelombang revolusi menjalar ke negeri mereka sejak 2011 lalu. Di Mesir sendiri, dengan terjadinya kudeta militer justru meledakkan kembali revolusi yang semula reda pasca kemenangan Muhammad Mursi dalam pilpres demokratis pertama di negeri piramida itu.

Menurut pengamatan penulis, ada beberapa catatan kesamaan dari kedua pilpres ini. Pertama, pemilu ini berlangsung di tengah buruknya kondisi negara. Sejak militer Mesir menggulingkan presiden terpilih, rakyat terus turun ke jalan menentang kudeta dan membela legitimasi presiden Muhammad Mursi. Sedangkan di Suriah, pemilu berlangsung di tengah perang saudara yang terus memanas. Jelas sekali, dalam kondisi tidak kondusif seperti ini pemilu tidak akan berjalan optimal, sehingga wajar kemenangannya dengan mudah direkayasa.

Kedua, pemilu ini minim partisipasi. Tidak seperti pemilu perdana di Mesir pasca revolusi, yang memperlihatkan antrean warga hampir di setiap TPS, pemilu yang digelar pemerintah kudeta kali ini, justru TPS-TPS terlihat sepi. Pihak KPU justru memberikan tambahan satu hari, karena peminatnya masih berkisar 32% dari 53 juta warga Mesir yang memiliki hak pilih.

Sedangkan di Suriah, pemilu hanya dilangsungkan di kantong-kantong yang dikuasai oleh tentara rezim Asad, atau sekitar 40% dari wilayah Suriah. Sedangkan sisanya, baik yang berada di wilayah yang dikuasai tentara Oposisi atau pengungsi di luar Suriah, mereka memboikot pilpres tersebut. Data statistik PBB mencatat ada 6,5 juta pengungsi Suriah yang golput dalam pilpres rezim Asad kali ini.

Ketiga, pemilu bertujuan mencari legitimasi. Baik Assisi di Mesir maupun Asad di Suriah, sebelum pilpres ini mereka gelar, keduanya tidak memiliki legitimasi. Terbukti di Mesir, jalan kudeta yang ditempuh Assisi dan pendukungnya, mau tidak mau harus mengakui tekanan dunia internasional yang mengutuk aksi penggulingan mereka terhadap presiden terpilih. Ditambah lagi dengan deretan pembantaian yang dilakukan terhadap para pendukung legitimasi, menambah banyaknya kecaman dari dunia internasional.

Adapun Asad di Suriah, sikap otoriter dan pembantaian yang menelan korban 162.000 orang sejak Maret 2011 memosisikan pemerintahan Asad bukan lagi pemerintahan yang diakui rakyat. Ditambah lagi dengan bersatunya kubu Oposisi dan mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Konfrontasi bersenjata antar kedua belah pihak juga terus berlanjut, dan perundingan yang berulang kali digagas selalu berakhir gagal.

Namun dari hasil pilpres yang spektakuler, kemenangan ini diklaim sebagai dukungan dari rakyat terhadap tindak tanduk mereka selama ini. As-sisi di Mesir diklaim menang 97% dari suara pemilih, sedangkan Bashar Asad di Suriah diklaim mendapatkan 88,7% suara pemilih. Keduanya sama-sama menjadikan prosentase kemenangan telak ini sebagai alat propaganda akan legitimasi mereka.

Keempat, ini momen untuk mengenal siapa musuh siapa kawan. Analis politik Mesir, Abdullah Kamal seperti dikutip Alarabiya, Kamis (29/5) mengatakan, “Ketika Muhammad Mursi menjabat sebagai Presiden Mesir, terbentuk aliansi Qatar-Turki dan Mesir.” Artinya, pilpres yang memenangkan Assisi ini akan membentuk aliansi baru, yang dipimpin oleh Saudi Arabia dan Emirat Arab, dua negara yang sampai kini setia terhadap kudeta militer di Mesir. Sedangkan negara yang mengutuk kudeta bisa dipastikan tidak masuk dalam poros pro-kudeta Mesir ini.

Sedangkan di Suriah, kemenangan Asad dalam pilpres mendapat sambutan dari Presiden Rusia, Vladimir Putin; Presiden Republik Demokratik Rakyat Korea Utara, Kim Jong-un; dan juga Presiden Venezuela, Nicolas Maduro. Umumnya pendukung Suriah adalah negara yang memiliki kesepahaman ideologis yakni sosialis.

Setelah mengenal lawan, kedua negara ini berupaya memastikan kepemimpinannya berjalan baik. Baik di Mesir maupun Suriah, keduanya menghadapi masalah utama yakni krisis ekonomi. Negara yang mendukung hasil pilpres ini dapat dimanfaatkan untuk menjadi pendonor dalam pembangunan perekonomian negara mereka.

Kelima, membangun aliansi Timur Tengah kontra revolusi. Dengan bermodalkan legitimasi sepihak dan pengakuan dari negara luar, sangat mudah kemudian mereka membentuk aliansi yang bertujuan menggagalkan revolusi yang telah meletus dan pemerintahannya berada di masa transisi. Dimulai dari Mesir, Suriah lalu Libya dan Tunisia.

Indikasi kelahiran poros anti revolusi ini sudah nampak dari sikap Assisi selama ini, sejak kudeta terjadi Assisi tidak memberi ruang kepada pengungsi Suriah untuk berada di Mesir. Mereka yang tiba bahkan dipulangkan kembali ke Damaskus. Ini menggambarkan kuatnya kerja sama Assisi dengan rezim Asad dalam menentang perlawanan rakyat melalui revolusi.

Assisi juga mendukung penuh militer Libya di bawah kolonel Khalifa Hafter untuk menyerang kubu Islamis di Benghazi, yang lokasinya berbatasan dengan Mesir. Assisi menyatakan rumah sakit militer di perbatasan Mesir siap menampung tentara Hafter yang menjadi korban dalam misi ini.

Sikap Assisi ini lagi-lagi menandakan, bahwa ia bersama Hafter sepakat untuk melenyapkan kelompok Islam dari negerinya. Heftar bahkan secara terang-terangan menyebut misi utamanya adalah membersihkan Libya dari Al-Ikhwan Al-Muslimun, sama persis dengan apa yang dilakukan Assisi di Mesir. Dikutip dari situs aawsat (20/5).

Kota Benghazi dikenal sebagai kota pencetus revolusi di Libya yang menumbangkan Muammar Qadhafi. Sama halnya dengan Assisi, Hafter juga menggunakan istilah “teroris” terhadap kubu Islamis yang berpusat di Benghazi. Hafter sendiri merupakan sosok militer yang aktif di era rezim Qadhafi, kemudian ia berseberangan dan mengasingkan diri ke Amerika selama 20 tahun. Ia kembali ke Libya ketika revolusi 2011 meletus dan mengambil andil dalam menjatuhkan rezim Qadhafi.

Sama halnya dengan kudeta militer yang terjadi di Mesir, Saudi dan Emirat menjadi dua negara yang kuat memberikan dukungan misi melenyapkan Al-Ikhwan Al-Muslimun dari Libya. Emirat menggelontorkan dana untuk misi ini sebesar 800 juta USD untuk Hafter, seperti yang dikutip situs alkhabarnow (23/5).

Ini semua adalah bukti kecemasan para penguasa diktator di Timur Tengah terhadap dampak revolusi yang diklaim diledakkan oleh jamaah Al-Ikhwan Al-Muslimun. Mereka saling bahu membahu dan siap memberikan dana berapapun besarnya dengan catatan “virus” revolusi ini tidak sampai ke kawasan Teluk dan gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun dibubarkan.  Wallahua’lam bishawab.

 

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Peneliti di Pusat Studi Islam Wasathiyah dan Aktivis Palestina di LSM Asia-Pacific Community For Palestine

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization