Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Setia; Nyata atau Omong Kosong?

Setia; Nyata atau Omong Kosong?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Sandy Legia)

dakwatuna.com – Setia itu perasaan, dan perasaan itu tidak tersentuh dan terlihat, jadi orang yang berpoligami belum tentu tidak setia, setidaknya mesti dilihat dulu apa alasan orang tersebut berpoligami, juga bagaimana situasi kondisi dan lingkungan yang melingkupinya? Jika kita menyamaratakan bahwa semua lelaki yang berpoligami tidak setia, berarti kita meragukan kesetiaan Rasulullah saw terhadap Khadijah R.A. Siapa pun yang membaca sejarah tidak akan pernah menuduh demikian. Siapa yang patut membaca sejarah Rasulullah saw? Orang Islam tentunya lebih patut sebelum yang lainnya.

Sekelumit Kisah Kesetiaan

Rasulullah saw tidak pernah menikah lagi selama hidup bersama Khadijah, hari wafat Khadijah pun tercatat dalam sejarah sebagai tahun duka cita (‘aamul huzni), Rasul saw larut dalam kesedihan berbulan-bulan lamanya, hingga datang salah seorang sahabiyyah (sahabat perempuan Rasulullah saw) bernama Khaulah binti Hakim karena mengkhawatirkan kondisi beliau.

Khaulah berkata:

Tidakkah Engkau cukupkan kesedihan dan dukamu wahai Rasulullah?? Sungguh hati-hati kami telah terbelah karena Engkau selalu bersedih, sampai kapan kesedihanmu akan berakhir??? Semoga Allah menggantikan kepadamu dengan istri shalihah yang bisa melupakan beberapa hal yang membuatmu bersedih. Tidakkah Engkau ingin menikah lagi??? Aku sudah menemukan untukmu seseorang yang dapat menyenangkan dan membahagiakan hatimu, jika Engkau mau, Engkau dapat memilih, janda kah atau perawan yang engkau inginkan?”

Akhirnya beliau saw memilih Saudah yang umurnya telah mencapai 55 tahun dan tak lagi memiliki keelokan dan kecantikan wajah, juga tak memiliki harta benda.

Dua tahun setelah wafatnya Khadijah, istri pertama beliau, dan pada saat Rasul saw telah menikahi Saudah, beliau menikah lagi dengan Aisyah, dan tahukah siapa yang mengkhitbahkan Aisyah untuknya (untuk Rasulullah)???

Saudah menuturkan:

Saat itu aku berkunjung ke rumah Abu Bakar, maka kudapati Ummu Rumman (ibunya Aisyah), aku berkata kepadanya ‘Wahai Ummu Rumman, tahukah engkau akan kebaikan dan keberkahan yang telah Allah anugerahkan kepada kalian?”.

Kebaikan apa itu?” Ummu Rumman balik bertanya.

Saudah menjawab, “Rasulullah saw telah mengutusku untuk mengkhitbahkan Aisyah untuknya“.

Ummu Rumman menjawab, “Sungguh aku senang sekali, tunggu sebentar, Abu Bakar sebentar lagi datang“.

Singkat cerita Aisyah pun menikah dengan Rasulullah saw, menjalani hari-hari yang ceria, penuh canda tawa, riang dan suka cita bersamanya.

Walau detik berlalu, hari berganti, ternyata, Khadijah masih bersemayam di hatinya (di hati Rasulullah), sehingga hampir tidak setiap jam pun berlalu melainkan Rasulullah senantiasa memuji kebaikan-kebaikannya.

Aisyah R.A. berkata:

Setiap kali Rasulullah mengingat Khadijah, hampir-hampir beliau tidak pernah bosan memuji-mujinya dan memintakan ampunan kepada Allah. Suatu hari Rasul mengingatnya kembali, aku pun cemburu kepadanya (kepada Khadijah), aku berkata ‘Sungguh Allah telah menggantikan wanita lanjut usia itu, tiba-tiba ku lihat raut wajah Rasul berubah karena marah. Aku pun menyesal dan berkata kepada diri sendiri ‘Ya Allah, jika engkau menghilangkan marah Rasul-Mu padaku, maka aku berjanji takkan pernah menjelek-jelekannya (Khadijah) lagi“.

Rasul berkata:

Apa yang engkau katakan barusan??? Demi Allah dia (Khadijah) telah beriman kepadaku saat manusia mendustakanku, menerimaku saat manusia menolakku, dan darinya lah aku dikaruniai anak…”

Bukan hanya itu, kecintaan Rasulullah kepada Khadijah pun sampai kepada mencintai sahabat-sahabat Khadijah yang masih hidup. Setiap kali Rasulullah saw menyembelih seekor kambing, setiap itu pula beliau mengirimkannya kepada kawan-kawan Khadijah. Rasulullah berkata, “Aku mencintai orang-orang yang dicintainya”. Apabila Rasul memiliki sesuatu, beliau berkata, “Pergilah ke rumah si fulanah, dia adalah sahabatnya Khadijah!”.

Ini satu bukti kesetiaan, bukti lainnya, Pernikahan Rasulullah saw membawa berkah tersendiri, banyak dari kaum atau suku di mana Saudah berasal masuk Islam secara berbondong-bondong.

Saudah adalah wanita yang sangat mencintai Rasulullah saw, sampai-sampai karena kecintaannya kepada beliau, ia merelakan dan menghadiahkan malam-malamnya bersama Rasulullah kepada Aisyah.

Rasulullah sempat hendak menceraikan Saudah secara baik-baik karena beliau khawatir kalau-kalau Saudah merasa minder dengan istri-istri beliau lainnya yang jauh lebih muda darinya sehingga Saudah selalu memberikan malam-malam bersama Rasulullah kepada Aisyah. Ketika Saudah mengetahui hal itu, segera Saudah menemui Rasul saw seraya berkata, “Jangan ceraikan aku, aku ingin dikumpulkan bersama para istrimu di mahsyar nanti, dan hari ini kuberikan giliranku kepada Aisyah, sesungguhnya aku tak menginginkan seperti apa yang diinginkan seluruh wanita (Aku hanya ingin statusku kelak sebagai istri seorang Rasulullah saw)”. Akhirnya Rasulullah menjaga Saudah sampai dirinya wafat.

***

Poligami adalah syariat (hukum) yang telah Allah tetapkan. Dibalik syariat tentunya ada maksud dan tujuan serta alasan. Tujuan, alasan dan maksud sebenarnya hanya Allah yang tahu, yang dapat kita cari adalah hikmahnya.

Salah satu hikmah adanya poligami adalah sebagai jalan untuk menjauhkan lelaki dan wanita dari ketergelinciran kepada dosa zina, karena, andaikan poligami itu tidak ada, pilihannya hanya dua, zina atau tidak.

Etika Poligami

Secara syariat memang lelaki boleh poligami tanpa seizin istrinya, namun manusia tidak hanya diperlakukan dalam kerangka syariah, manusia juga harus diperlakukan dalam kerangka etika. Jadi meminta izin itu termasuk dalam hal etika.

Minta izin juga adalah salah satu bentuk dari rasa terima kasih seorang suami terhadap istrinya yang telah mengiringi hari-harinya dengan doa-doa bahkan mungkin dengan hartanya hingga sang suami sukses. Dari Abu Hurairah diriwayatkan secara marfu’ Rasulullah bersabda “Tidak berterima kasih kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia” (HR Ahmad dan Abu Dawud dengan isnad shahih). Dari Aisyah R.A diriwayatkan secara marfu, Rasul saw bersabda “Siapa yang diberikan kebaikan, hendaklah ia membalasnya, jika tidak sanggup, maka hendaklah ia mengingatnya, siapa pun yang mengingatnya maka ia telah berterima kasih kepadanya“.

Wallahu’alam bis Shawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (6 votes, average: 9.33 out of 5)
Loading...

Tentang

Tinggal di Kecamatan Andir Kelurahan Dungus Cariang. Lahir tahun 1987 di Bandung. Saat ini aktif sebagai mahasiswa di Al-Azhar tingkat 4 Fakultas Ushuluddin jurusan Dakwah wah tsaqafah Tslamiyyah.

Lihat Juga

Mengenal Sejarah Wakaf

Figure
Organization