Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kita Ini Berbeda

Kita Ini Berbeda

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – “Kita ini berbeda”. Orang yang menyatakan ungkapan ini bisa dituduh eksklusif. Bahkan ada yang mengatakan “Kita ini istimewa, bukan sekadar berbeda”. Nah, kalau yang ini bahkan bisa kita tuduh sebagai fasis. Namun ada hal yang saat ini mengganggu ruang benak Saya. Bahwa kita perlu merasa istimewa, dan perlu menyadari keistimewaan kita. Namun masalahnya keistimewaan kita bukanlah bermakna ketinggian derajat di antara sesama manusia, bahkan bisa bermakna sebaliknya.

Seorang ikhwan mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman adalah “perangkap” bagi kita. Karena kita dituntut untuk beramal sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman kita, dan Allah SWT akan mengazab orang-orang yang amalnya tidak sesuai dengan pengetahuannya. Yang sudah tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana buruk, tapi masih menolak mengikuti kebenaran dan enggan meninggalkan keburukan. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui kebenaran, sedangkan orang yang ingkar adalah orang yang mengetahui kebenaran tapi menolak mengikuti kebenaran tersebut.

Dan “celaka”nya, kita ini termasuk orang-orang yang dalam segi pemahaman Islam lebih baik dibandingkan dengan rata-rata mahasiswa di kampus kita. Kita beraktivitas di organisasi Islam –baik Rohis ataupun LDF/LDK-, kita membaca buku-buku Islam lebih banyak dan lebih sering dari kebanyakan mahasiswa, kita mengalami proses tarbiyah secara khusus, dan kita beraktivitas atas nama dakwah (berani betul, ya?!). Sehingga pemahaman kita akan amal-amal dalam Islam, terutama amal dakwah, lebih baik dari kebanyakan teman-teman kita yang lain.

‘Ujub? Nggak pantas! Karena ketinggian pemahaman kita sama sekali tidak menunjukkan ketinggian derajat kita. “Hubungannya tidak bermakna” kalau kata dosen PH. Ada yang jauh lebih penting dari sekadar memahami, yaitu melaksanakan apa yang kita pahami. Dan inilah yang mungkin bisa menambah nilai diri kita di mata Allah ‘azza wa jalla. Dan “repot”nya lagi pemahaman ini juga berisiko sebaliknya, yaitu menurunkan kualitas kita di mata Allah, saat kita menolak untuk beramal sesuai dengan pemahaman kita.

Hingga “terperangkap”lah kita di sini. Kita “terlanjur” tahu mana yang benar dan mana yang salah, “terlanjur” tahu apa yang dapat membawa kita pada kemuliaan dan apa yang menggiring kita menuju kehinaan. Dan kita tidak punya pilihan selain beramal.

“Jadi lebih baik kalau kita tidak tahu apa-apa? Kan jadi nggak punya beban?” Lebih gawat lagi kalau kita sampai punya pikiran seperti itu. Karena pemahaman kita adalah jalan menuju kemuliaan di sisi Allah SWT. Kita punya kesempatan untuk mempunyai ‘amal shalih lebih baik dan lebih banyak daripada mereka yang tidak paham.

Kalau memang kita memilih untuk tidak tahu apa-apa, matikan saja fungsi akal kita! Maka kita akan menjadi makhluk yang tidak berbeda dengan hewan yang tidak tahu kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan.

Kita Harus Diperlakukan Istimewa

“Kenapa ada ta’limat yang hanya untuk sebagian ikhwan-akhwat saja? Kok kita di’iqob yang lain tidak? Kenapa kita wajib memenuhi qororot tapi yang lain boleh kabur?” Jawabannya mungkin sama dengan alasan kenapa yang di’iqob waktu Perang Tabuk hanya 3 orang sahabat saja.

Saat Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berperang dalam Perang Tabuk, banyak warga Madinah yang tidak ikut berperang. Sebagian besar adalah orang munafik dan kaum muslimin yang keimanannya belum kuat. Orang-orang munafik ini memberikan berbagai alasan agar dapat dimaafkan, tapi ada 3 orang sahabat yang sungguh-sungguh keimanannya, dan mereka mengakui kekhilafan serta dosa-dosanya, yaitu Ka’ab bin Malik, Murara bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah. Sepulang dari Perang Tabuk Rasulullah beserta kaum mukminin memberikan ‘iqob hanya kepada mereka bertiga dengan memboikot mereka dalam urusan kemasyarakatan.

Jadi memang ada orang yang pantas mendapat sanksi dan ada yang tidak pantas, walaupun pelanggarannya sama. Kita yang sudah tahu pentingnya ketaatan dalam berjamaah harus diperlakukan berbeda daripada yang belum tahu, sanksinya harus lebih berat kalau tidak taat. Kita yang sudah tahu adab pergaulan harus ditegur lebih keras daripada yang belum tahu kalau melakukan hal yang “macam-macam”.

‘Ujub lagi? Nggak pantas! Sekali lagi ini berhubungan dengan pengamalan pemahaman kita. Mungkin harusnya kita malu karena kita masih minta banyak keringanan dan mencari-cari alasan kalau tidak melaksanakan seruan dan amanah dakwah.

Saya Ini Penyu, Ikhwan-Akhwat Itu Rembulan

Ramadhan tahun ini benar-benar dimanfaatkan sebagai ajang introspeksi buat Saya dan beberapa ikhwan. Waktu i’tikaf kami berdiskusi sambil mengintrospeksi diri. Kemudian ada yang bilang “Saya ini sebenarnya malu sama ikhwan-akhwat. Selama ini Saya cuma jadi beban, tukang bikin masalah. Saya banyak ngerepotin jamaah dengan kesalahan-kesalahan yang Saya lakukan, sedangkan Saya belum bisa memberikan kontribusi apa-apa buat dakwah ini. Sementara ikhwan-akhwat yang lain begitu luar biasa perjuangannya, hingga terkadang Saya merasa tidak pantas untuk diakui sebagai saudara mereka. Kalau diumpamakan ikhwan-akhwat itu ibarat rembulan, sedangkan Saya ibarat penyu”.

Kedengarannya mungkin ikhwan kita ini sangat tidak percaya diri. Tapi kata-katanya bersumber dari perenungan dan muhasabah, sehingga sangat berbekas di hati Saya. Saya merenungkan bahwa begitu banyak hal yang harus Saya akui sebagai kesalahan, yang membuat Saya begitu ingin meminta maaf kepada ikhwan-akhwat. Sedangkan belum ada amal yang dapat Saya klaim sebagai ‘amal shalih. Amal-amal Saya pasti ada kekurangan dan kesalahannya, baik dari segi kontribusinya terhadap dakwah, maupun dari segi ma’nawiyahnya (keikhlasan, keistiqamahan, bebas riya’, dan lain-lain). Dan Saya pun ikut merasa ibarat penyu yang tak pantas bersanding dengan rembulan.

Seorang ustadz pernah mengatakan bahwa dakwah ini dibangun dengan susah payah dan kerja keras para dai, namun untuk merusak bangunan dakwah ini cukup hanya dengan kecerobohan satu dua orang saja. Sungguh menjadi sebuah mimpi buruk bagi kita, bila di Hari Akhir nanti kita dimintai pertanggungjawaban karena telah merusak kerja keras saudara-saudara kita, bukannya memecahkan masalah dakwah malah menjadi masalah itu sendiri, bukannya meringankan beban saudara-saudara kita malah menambah berat beban itu.

Dan bukankah selama ini kita memang sudah merepotkan ikhwan-akhwat? Kita sudah merepotkan para murabbi/murabbiyah agar mereka mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran demi membina kita, tapi ternyata produktivitas kita dalam dakwah sangat kurang (“Kaga balik modal” kalau kata orang Betawi). Kita juga sudah merepotkan ikhwan-akhwat yang sudah letih dan pusing memikirkan pembinaan kita, yang sudah repot-repot bikin daurah, memfasilitasi mentoring/halaqah kita, dan sudah suntuk memikirkan kenakalan-kenakalan kita. Sementara kita sendiri belum melakukan apa-apa bagi dakwah, dan belum berbuat apa-apa untuk meringankan beban mereka. Hmmm, jadi gimana, ya?!

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (10 votes, average: 9.90 out of 5)
Loading...
Lahir di Tangerang tahun 1979. Telah menikah dan sudah dikaruniai 3 orang anak. Saat ini tinggal di Jakarta. Lulus dari Fakultas Kedokteran UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan di Magister Kesehatan Masyarakat UMJ. Aktif sebagai Ketua BSMI Jakarta dan Sekjen Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (PDEI), Kepala IGD RSIA Muhammadiyah Taman Puring, Jakarta Selatan dan Muhammadiyah Disaster Management Center. Saat ini bekerja sebagai Pengajar Emergency First Aid Course BSMI Jakarta dan Dokter IGD RSIA Muhammadiyah Jakarta Selatan. Pernah menerima penghargaan dari Menteri Kesehatan RI untuk Tim Kesehatan Penanggulangan Darurat Pangan Kab. Yahukimo, Papua tahun 2006.

Lihat Juga

Apakah Maksud di Balik Keberagaman Ciptaan Allah SWT?

Figure
Organization