Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Satu Jiwa, Pelopor Reformasi Negara

Satu Jiwa, Pelopor Reformasi Negara

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (aishagrace.wordpress.com)

dakwatuna.com – ”Kembali ke sini, kami jamin kalian berdua selamat” teriak pasukan khusus Abbasiyah di tepi sungi Eufrat. Kemudian adik Abdurrahman bin Muawiyah terpedaya dan segera kembali. Abdurrahman berusaha melarang, ”mereka akan membunuhmu”. Ternyata benar, sesampainya di tepi, anak 13 tahun itu segera ditarik, dan dieksekusi di depan mata kakaknya sendiri. Berat benar di hati dan jiwa melihatnya, tapi ini bukan saatnya sedih meratapi. Keturunan terakhir Daulah Umawiyah tidak boleh punah di sungai ini.

Di usianya yang 19, ia terus berlari, seorang diri, dari pengejaran daulah baru Abbasiyah. Menuju Hijaz, Mesir, Libya selama 5 tahun dalam kesunyian dan pengasingan hingga akhirnya sampai di Kairowan. Tapi di sana revolusi Khawarij sedang panas, dan kepala putra mahkota Umawiyah tetap diincar. Dalam kondisi keamanan yang kritis, ia tetap berfikir. Hidup dalam kesunyian dan persembunyian, atau kembali merebut piala sejarah?

Darah mudanya tidak destruktif tapi konstruktif. Ide besarnya mulai direkonstruksi, ia mempunyai mimpi dan obsesi. Dari kesendirian menuju peradaban. Satu jiwa merubah negara. Ia melarikan diri ke negeri Andalus yang sedang sekarat menunggu kematiannya. Ia bermanuver mencari rekan dan massa. Berlalu waktu hingga hati-hati manusia berkumpul dalam hati satu orang pemuda. Rancangan besar Abdurrahman terwujud bahkan 34 tahun memimpin Andalus. Ia mencetak tentara tanpa tara, membangun benteng, pemukiman, dan kesenian, meredam pemberontakan, dan menyelesaikan kerusuhan, dan yang paling utama: ia meletakkan dasar peradaban baru , yaitu Daulah Umawiyah yang sebanding dengan keagungan Daulah Abbasiyah di Baghdad.

Abdurrahman bin Muawiyah adalah contoh kecil ketika satu orang pemuda bisa merubah satu negara, saat di zaman ini seratus pemuda boleh jadi tidak mampu membersihkan jalan-jalan komplek rumahnya. Satu orang pemuda bisa merubah satu umat, tapi seribu pemuda boleh jadi bingung dengan apa yang harus dikerjakan esok harinya.

Inilah permasalahan utama mahasiswa zaman ini. Tidak menyadari peluang kerja besar yang mungkin ia produksi di usia mudanya. Sebagian beralasan karena terlalu mudanya usia. Tidakkah mereka melihat sejarah bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash memulai menghadapi kerasnya tirani kafir Quraish di usia 17 tahun atau seperti 16 tahunnya Thalhah bin ’Ubaidillah, atau 15 tahunnya az-Zubair bin al-’Awwam, atau 13 tahunnya Zaid bin Tsabit, bahkan 10 tahunnya ’Ali bin Abi Thalib.

Lalu bagaimana dengan skala aktivitas remaja SMP dan SMA usia 13-19 zaman ini, atau mahasiswa usia 20-30 tahun? Apa pikiran-pikiran yang memenuhi otak pemuda zaman ini? Apa mimpi-mimpi yang menemani tidur hangatnya? apa harapan-harapan yang melenakan waktu istirahatnya?

Yakinlah! Semua kualifikasi dasar yang dimiliki satu orang di lima abad atau lima belas abad lalu sama persis dengan apa yang dimiliki pemuda zaman ini. Tapi mengapa produk perubahan mereka berbeda?

Perubahan adalah hasil kapasitas. Dan inilah pembedanya. Kapasitas itu bisa direkayasa dan dibangun. Ia dibangun oleh jauhnya pandangan (Nazhrah Ba’idah) dan kekuatan obsesi (Thumuh).

Seperti para pemuda penggerak revolusi. Saat selimut kezhaliman menutupi badan masyarakat Mesir selama tiga dekade, tidak semua mampu melihat jalan keluar, dan tidak semua mampu membuat langkah pertama. Bahkan sebagian besar pemuda tenggelam dalam kehangatannya, lalu menghabiskan usia muda dalam rentetan agenda ceria tanpa makna di cafe dan sepanjang nil atau trotoar jalan Alexandria. Hingga tiba badai perubahan yang ditiupkan para pemuda pada 25 Januari yang melihat masa depan, para pemuda yang merencanakan aksi turun ke jalan. Merekalah, mahasiswa dan para pemuda pemilik ide besar yang memulai, sehingga sisanya hanya tinggal menjadi pengikut dan pelanjut.

Seperti itu tabiat perubahan, tidak perlu dimulai oleh seribu, tapi satu atau dua jiwa yang memulai dari diri mereka sendiri, dari pikiran-pikiran dan pandangannya. Dan Allah sudah menegaskan prinsip perubahan ini “Inna Allaha la yughayyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bi anfusihim”.

Akan tetapi luasnya pandangan yang menerobos, yang melampaui ruang tinggalnya dan zaman hidupnya tidak akan merubah apapun tanpa kekuatan obsesi yang membara. Oleh karena itu, saat Rasulullah mengatakan “latuftahanna al-Qasthanthiniyyah ‘ala yadi rajulin, fa lani’mal amiru amiruha wa lani’mal jaisyu dzalikal jaisy” (Kota Konstatinopel akan dibebaskan oleh seorang pemuda, maka pemimpin terbaik adalah pemimpin pembebasan tersebut dan pasukan terbaik adalah pasukan pembebasan itu), semua sahabat menerawang bisyarah tersebut, namun hanya obsesi tinggi Abu Ayyub al-Anshari yang bergegas menjawabnya saat itu juga walau belum berhasil. Lalu berlalu waktu, dan bisyarah Rasul menjadi mimpi dan pandangan bersama para pemimpin muslim. Namun bentengnya terlalu kokoh dan tebal untuk ditembus obsesi khalifah-khalifah muslim sepanjang 8 abad.

Obsesi pemuda 25 tahunlah yang membukanya, Muhammad al-Fatih. Obsesi besarnya menaklukan kerasnya tantangan, seperti kata penyair Ahmad Syauqi: “Wa ma nailul mathalibu bit tamanni – walakinna tu’khadzud dunya ghilaba” (keinginan-keinginan tidaklah didapat dengan angan tapi direbut dengan kekuatan). Ia angkut puluhan kapal laut berukuran raksasa melalui darat sepanjang 3 mil sebagai alat serang, hingga akhirnya ia terbuka tanggal 29 Mei 1453 .

Obsesi (Thumuh) merealisasikan pandangan jauh (Nazhrah Ba’idah) itulah yang menggerakan pikiran, jiwa dan fisik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan semua sarana mencapai tujuan. Sehingga obsesi seorang Abdullah bin Yasin untuk menyebarkan da’wah di benua Afrika memaksanya menggembleng diri dalam tarbiyyah yang panjang. Lalu setelah pengusiran yang menyayat hati di negeri Maghrib, ia rela tinggal seorang diri di tengah padang sahara Mauritania yang membakar, di selatan al-Jazair. Ia membangun tenda dan seorang diri mulai merekrut kader tarbiyah di dalam tendanya, seorang diri.

Dengan izin Allah, tujuh orang yang terekrut menjadi 50, lalu 100, lalu 150, maka Abdullah bin Yasin mulai membagi lagi kelompok-kelompok kecil pembinaan tarbiyahnya hingga menjadi ratusan, ribuan, bahkan menjadi sebuah kekuatan yang memimpin bagian barat negeri Muslim selama 90 tahun, yaitu daulah Murabithun.

Pandangan yang jauh dan obsesilah yang telah mengukir perubahan sepanjang sejarah. Jika sejarah Islam didominasi sejarah kaum muda, itu karena di usia mudalah yang paling berpotensi untuk menumbuhkan kedua unsur ini. Karena “pemuda di setiap umat adalah kunci kebangkitannya…” kata Hasan al-Banna. ”…dan di setiap kebangkitan mereka adalah rahasia kekuatannya, dan di setiap ide mereka adalah para pembawa benderanya ” lanjutnya dalam Majmu’atur Rasail.

Sehingga, permasalahan terbesar sebuah negara atau umat ialah saat kaum mudanya kehilangan pandangan dan obsesi, khususnya mahasiswa sebagai kaum muda yang terdepan dalam ilmu dan pengetahuan. Bahkan kuantitas mahasiswa yang melimpah pun di suatu negara tidak menjamin perubahan apapun saat kapasitas mereka tidak memadai, saat mereka kehilangan pandangan dan keyakinan yang diperjuangkan serta obsesi merealisasikan pandangan itu.

Pandangan dan keyakinan itu terbentuk dari kesadaran sejarah dan realita kontemporer. Karena sejarah mengajarkan bagaimana nasib manusia yang hidup di masa lalu, sebab-sebab kejayaan dan keruntuhan mereka. Jika sebab-sebab kejayaan umat di masa lalu berhasil direkayasa di masa kini, maka hasilnya akan selalu sama. Di sinilah fungsi tadabbur sejarah, oleh karena itu dalam Al-Qur’an disebutkan: “ceritakanlah kepada mereka kisah, agar mereka berfikir ”. Semua sebab-sebab ini akan selalu berulang, karena ini adalah sunatullah. “Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan dalam sunnah Allah, dan tidak juga menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah ”.

Setelah sejarah, kemudian realita kontemporer. Hal inilah yang menumbuhkan syu’ur al-intima (rasa afiliasi) terhadap umat Islam yang akan menghasilkan gerakan dan perubahan. Seperti dikatakan dalam amtsal “man syafa halahu insyaghala balahu” (siapa yang menyaksikan kondisinya maka pikirannya akan tergerakkan) ”. Pemahaman ini memberikan kedasaran tentang di titik mana umat ini sedang berada untuk kemudian berkaca pada sejarah. Untuk selanjutnya bertanya, apa langkah yang harus diambil? Kedua hal ini membentuk pola pandang seorang pemuda akan nasib umat yang sedang dirasa.

Sedangkan obsesi adalah hasil langsung tarbiyah Islamiyah. Karena sempurnanya tarbiyah Rasulullah berhasil menerbitkan debu-debu Arab di padang pasir yang hanya bermimpi menjadi penggembala kambing dan pedagang kampung, menjadi bintang yang berobsesi tinggi di langit-langit sejarah di usia yang sangat muda. Maka prioritas agenda perubahan umat menuju kejayaan kembali harus dimulai dari rekonstruksi tarbiyah di kalangan pemuda sehingga obsesi untuk merealisasikan pandangan yang diyakini memancar di jiwa dan nuraninya.

Kerja-kerja besar sepanjang sejarah bukan hasil angan-angan generasi tua, tapi dirancang dan dieksekusi di usia muda. Tidak perlu memulai dari seribu jiwa, tapi dari satu jiwa. Jiwa yang terkuat, jiwa yang menyadari keluasan sejarah dan kedalaman tarbiyah agamanya. Jiwa “yang terkuat…” kata Muhammad Ahmad ar-Rasyid “…yang akan menjadi pusat perputaran dan lintasan…serta menjadi pegangan bagi kelompok-kelompok yang lebih lemah ”.

Kesempatan membangun kedua kapasitas ini terhampar luas di kehidupan seorang pemuda. Untuk mengkaji sejarah yang panjang, mengamati kondisi umat, dan proses tarbiyah yang berkesinambungan. Mengapa? Karena jika 40 tahun telah berlalu, seseorang mantan pemuda dan mahasiswa hanya mampu berangan kembalinya waktu untuk mencetak perubahan. Dan berangan membina diri untuk menjawab pertanyaan Allah “…‘an syababihi fi ma ablahu? (tentang masa muda untuk apa dihabiskan?)”. Tapi itu hanya angan, bukan perubahan, bukan jiwa yang terkuat di zamannya. Yang umat tunggu adalah para pemuda, yang satu jiwanya mampu merubah negaranya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (12 votes, average: 9.25 out of 5)
Loading...
Muhammad Elvandi lahir di Bandung, tahun 1986. Ia menyelesaikan seluruh pendidikan dasarnya di Bandung: SDN Cibuntu 5, SLTPN 25 dan SMUN 9. Bahasa Arab mulai dikenalnya dari dasar selama dua tahun di Ma’had Al Imarat dan bahasa Inggris selama sembilan bulan di LIA. Skill kepemimpinannya terlatih sejak pramuka, menjadi ketua IKMA rohis SLTPN 25, ketua bidang tarbiyah PRISMAN SMUN 9, dan president UCC (United Conversation Club) dan presiden mahasiswa BEM Al Imarat. Pengalaman menulis pertamanya adalah sebuah novel kepahlawanan di zaman perang salib ‘Syair Cinta Pejuang Damaskus‘ tahun 2006. Pertengahan tahun 2007 mendapatkan beasiswa kuliah S-1 di Universitas al-Azhar Mesir, jurusan Da’wah wa Tsaqâfah al-Islâmiyyah hingga selesai tahun 2011. Selama menjadi mahasiswa di Mesir kembali menekuni aktivitas kepenulisan hingga terbit buku ‘’Inilah Politikku’’. Juga terjun dalam organisasi mahasiswa dan menjadi ketua BPA-PPMI. Dan menjadi pembicara di puluhan forum Keislaman, Kepenulisan, Leadership, Public Speaking dan Politik. Ia menggemari sastra secara umum, juga buku-buku sejarah, pemikiran, dan politik. Tahun 2011 Elvandi meneruskan kuliah ke Perancis. Mempelajari bahasa Perancis dalam setahun di Saint Etienne lalu mengambil Master Filsafat di Institut Europeen des Sciences Humaines de Paris hingga 2014. Ia menjadi konsultan pendidikan dan keislaman untuk komunitas pekerja perusahaan Internasional Total Paris, juga menjadi pembicara keislaman dan keindonesiaan di KBRI Perancis, KBRI Autria, KBRI London, Forum Keislaman IWKZ Berlin, SGB Utrech Belanda, KIBAR United Kingdom, dan beberapa komunitas muslim lokal di Newcastle, Manchester, Glasgow dan Aberdeen. Tahun 2014 Elvandi mengambil mengambil Master kedua di University of Manchester pada program MA Political Science: Governance and Public Policy yang diselesaikan di pertengahan 2015. Saat ini Elvandi membangun beberapa lini bisnis di Indonesia dan Eropa, juga menjadi pembicara di forum-forum dalam dan luar negeri, serta menjadi dosen di Telkom University Bandung. Elvandi juga membina berbagai komunitas anak muda di Indonesia. MUDA Community (www.muda.id) adalah komunitas Muslim Berdaya yang fokus membangun kemampuan pemikiran dan ilmu-ilmu keislaman di generasi muda. Juga AFKAR Institute, adalah lembaga kajian strategis, Think Tank yang mengkaji tema-tema strategis keumatan di level Indonesia dan global.

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization