Topic
Home / Berita / Analisa / Erdogan, Pemimpin yang Spesial

Erdogan, Pemimpin yang Spesial

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Foto Mustafa Kemal Attaturk di kantor Erdogan (pop10haber.com)
Foto Mustafa Kemal Attaturk di kantor Erdogan (pop10haber.com)

dakwatuna.com – Setelah pemilu lokal, saya semakin menyadari bahwa Erdogan adalah pemimpin spesial yang dianugerahkan Tuhan. Jika Tuhan menurunkan seorang pemimpin di setiap abadnya untuk  memulihkan kehormatan agama dan umat, mungkin dia adalah orangnya.

Memang tidak ada manusia sempurna, Erdogan adalah tipe pemimpin yang instruktif, ada kecenderungan otoritarian, dan mungkinan abusif jika tanpa kendali. Namun inilah keindahan penciptaan manusia karena harmoni sosial selalu menghendaki kerjasama dan kontrol sosial.

Hanya saja, ketiadaan pemimpin genuine di tengah umat, Erdogan sepertinya hadir memulihkan kehormatan agama dan umat Islam. Dia adalah pemimpin Muslim satu-satunya yang tanpa segan mengatakan barang siapa yang   berpaling dari penderitaan saudaranya di Palestina, Afghanistan, Irak, Somalia dan negeri Islam lainnya, maka mereka sungguh telah berpaling dari ajaran Islam.

Pertanyaannya, siapa yang menyangka bahwa statement ini lahir dari seorang pemimpin di negara yang secara konstitusional sekuler? Bukan dari negeri yang secara desain Islami seperti Arab Saudi, Mesir atau bahkan Pakistan?

Dan Erdogan pun konsisten dengan ucapannya. Erdogan tidak kunjung memulihkan hubungan diplomatik dengan Israel ke level yang normal selepas insiden Mavi Marmara. Sekalipun, Israel telah memenuhi dua dari tiga persyaratan yang diminta. Israel meminta maaf kepada Turki dan bersedia membayar kompensasi kepada korban kebrutalan Israel. Namun, Israel masih tidak bersedia membuka blokadenya atas Gaza.

Persoalannya adalah, dimanakah ada suatu pemerintah yang menjadikan kondisi kemanusiaan di negara lain masuk dalam agenda kepentingan nasionalnya dan bahkan menjadi faktor utama dalam pemulihan hubungan atas bekas sekutu tradisionalnya?  Palestina dalam teori real politics yang dipedomani hampir seluruh negara di dunia adalah negeri antah berantah. Konsep aplikatifnya adalah Who cares?  (Emangnya gue pikirin?).

Israel sendiri memang sangat terluka dalam era kepemimpinan Erdogan. Setelah dipermalukan Turki paska Mavi Marmara, Israel kembali harus menelan kenyataan pahit. Jaringan intelejen mereka di Iran terbongkar. Tuduhan kembali dilayangkan bahwa Erdogan dan kepala intelejen Turki, Hakan Fidan berada di balik aksi itu.

Karena politik luar negerinya yang independen tadi, Erdogan menjadi target kampanye destabilisasi dari para pebisnis dan media Internasional. Paska kerusuhan Gezi, New York Times memuat iklan Internasional anti Erdogan. Disusul media-media lainya, seperti Washington Post, AFP dan BBC. Selanjutnya, digelar operasi anti-suap oleh elemen parallel state dalam birokrasi kejaksaan dan intelejen kepolisian di bawah kendali Fethullah Gulen menghantam Erdogan dan AKP tepat di ulu hati. Sempat sempoyongan, namun bangkit kembali dan balas menyerang.

Erdogan hingga kini konsisten membela Ikhwanul Muslimin, sekalipun dengan harga ekonomi dan isolasi politik dari para monarki Teluk. Erdogan menyakinkan kepada dunia bahwa dukungan kepada Ikhwanul Muslimin dan Hamas bukan dukungan kepada sekutu politik. Namun lebih karena komitmen kemanusiaan dan dukungan atas pemerintah yang dipilih secara demokratis.

Erdogan secara konsisten mempraktekkan sikap politik itu di Suriah. Dia tanpa ragu mengucapkan bela sungkawa atas tragedi genosida bangsa Armenia menjelang kejatuhan pemerintahan Utsmani tahun 1915, sebuah langkah politik yang selalu dihindari para pemimpin politik Turki sebelumnya. Faktanya, langkah yang dilakukan oleh Erdogan ini justru disambut hangat dunia karena tindakan rekonsiliasinya yang sangat berani.

Negara-negara Teluk yang dikaruniai Tuhan dengan kekayaan berlimpah, namun sayang dibelanjakan untuk kekejian dan kehancuran dunia Islam. Monarki Saudi dan Emirat Arab tanpa malu membiayai tiran paling berdarah di abad ini untuk alasan yang paling tidak masuk akal. Mereka hyper paranoid jika gelombang Arab Spring akan menyentuh singgasana kekuasaan mereka. Implikasinya, beberapa mega-proyek ekonomi Turki dan monarki Teluk dibatalkan karena kebijakan high politics Erdogan. Kembali Turki sempoyongan, namun kapasitas ekonomi Turki terlampau kuat untuk dilumpuhkan negeri-negeri kecil nan kaya ini.

Konspirasi bersandi The Empire Has Fallen ini berangsur melemah. AS tidak hendak secara terbuka menantang Erdogan.

Peran Turki bagi AS dan NATO belum tergantikan. Bagaimanapun, kondisi Turki telah berbeda. Turki sekarang bukan lagi bangsa Pariah yang mudah ditundukkan dan dikendalikan. Pemerintah sebelumnya jatuh bangun karena pesanan AS dan Israel. Pemerintah Obama juga mulai realistis bahwa AS tidak dapat lagi menjadi kepanjangan kepentingan Israel.

Namun di atas itu, Erdogan menghadirkan kembali teori International Relation yang pada dasarnya diidamkan seluruh masyarakat dunia. Bukan kepada barat ataupun timur kita berpaling, namun kepada nilai-nilai yang diyakini dan kesederajatan hubungan kedua belah pihak.

Erdogan telah menyakinkan kita bahwa hubungan antar negara seharusnya dibangun atas dua prasyarat utama. Pertama, komitmen atas nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, kesederajatan dalam hubungan dan sikap saling menghormati antar kedua belah pihak, tanpa tekanan dan unsur eksploitatif. Erdogan telah memulainya dan dukungan atas nilai-nilai inilah yang menjamin kelanggengan perdamaian dunia.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis Buku Kebangkitan Pos Islamisme: Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu.

Lihat Juga

Mursyid Ikhwanul Muslimin Divonis Hukuman Seumur Hidup

Figure
Organization