Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Serial Mencari Qiyadah (Bagian ke-1): Qiyadah Idaman Akhir Zaman

Serial Mencari Qiyadah (Bagian ke-1): Qiyadah Idaman Akhir Zaman

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Serial artikel ini saya tulis, berangkat dari sms taushiyah sederhana yang ditulis oleh Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf -hafizhahullah- yang telah beredar banyak di dunia maya, sebagai berikut (dengan editan seperlunya):

“Sesekali kita gak bela diri. Tapi kita akui kekurangan kita. 10 tahun sudah dakwah ini berjalan di tempat (kalau angka 7% jadi patokan, semoga patokan ini salah). Tapi kalau ternyata benar, kesimpulan ana: musuh-musuh dakwah selama ini tidak bisa lagi dihadapi dengan iman dan keshalihan yang biasa-biasa dan standar. Tapi harus dengan keimanan yang mutamayyiz (yang luar biasa). Tilawah gak cukup lagi dengan 1 juz. Qiyamullail gak cukup lagi 10 menit… dan seterusnya. Jadi semakin berat musuh dakwah, semakin besar hubungan mujahid dengan Allah. Ilmu syar’i pun juga harus semakin meningkat. Kalau tidak dengan pendekatan seperti ini selamanya kita tidak menyadari kekurangan kita. Dan terus akan selalu mendapatkan pembenaran tanpa menyadari kekurangan. Saat 2009 kita katakan ini gara-gara tsunami SBY. 2014 kita katakan Ini badai penghancuran citra. Entah apa lagi alasan kita di 2019. Jadi kebobrokan musuh hanya bisa dilawan dengan keunggulan iman dan ilmu. Mari kita mulai dari diri kita sendiri….”

Demikianlah semangat kader-kader dakwah yang senantiasa mengevaluasi diri semaksimal mungkin. Mengintrospeksi diri tentang kekurangan, kesalahan, kelemahan, maksiat dan seterusnya, yang menggerogoti keimanan para kader, hingga membuat mereka tidak berdaya menghadapi para musuh atau stagnan.

Namun saya ingin melihat dari sisi lain dalam hal ini. Bukan tentang para kader jundi sebagaimana yang ditekankan dalam sms ustadz, tetapi tentang para kader qiyadah (pimpinan dakwah), yang meliputi semua level, semenjak tingkat ranting, kecamatan, kabupaten, provinsi dan apalagi tingkat nasional, juga meliputi semua level, semenjak tamhidi hingga purna. Sama sekali bukan ditujukan pada personal tertentu, atau kelompok qiyadah tertentu, tetapi untuk perbaikan semua qiyadah jamaah dakwah secara keseluruhan.

Jika memang jamaah ini mau membenahi dirinya secara optimal, maka perubahan besar dalam dirinya pun juga harus dilakukan (QS. 13: 11). Tidak hanya pada level jundi, tetapi juga pada level qiyadah. Terkadang kader dakwah salah memahami dan kesulitan membedakan antara memberikan nasihat dan ketidaktaatan. Seolah-olah jika mengkritik atau memberi masukan atau menyarankan itu berarti tidak taat. Padahal jelas dalam hadits disebutkan bahwa agama itu adalah nasihat, di antaranya adalah untuk pemimpin dan rakyat.

Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerima saran Hubab bin Mundzir untuk menduduki sumur yang terdekat dengan musuh pada perang Badar, padahal sebelumnya beliau telah memutuskan suatu tempat lainnya. Lihat pula bagaimana Umar menerima saran wanita yang memprotes kebijakan Umar yang melarang mahar yang mahal, lalu diingatkan wanita dengan Al-Quran An-Nisaa’ ayat 20 dan secara legowo Umar mengatakan, “wanita ini benar dan lelaki ini salah” (maksudnya dirinya sendiri). Pernah pula seorang lelaki menghunus pedangnya di hadapan Umar, sambil mengatakan bahwa jika Umar menyimpang, pedang yang dihunusnya yang akan meluruskan. Luar biasa, bukannya emosi menghadapi itu, tetapi justru Umar mengucapkan hamdalah pada Allah ta’ala karena masih ada orang yang seperti itu keberaniannya dalam meluruskan penyimpangan, di era kepemimpinannya.

Proses jamaah dakwah dalam memperbaiki diri ini harus terus berlanjut. Pengalaman-pengalaman pahit sebelumnya mesti dapat diambil pelajaran dan hikmahnya. Pada masa pasca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, pemerintahan berangsur-angsur semakin memburuk secara umum, terutama setelah masa Khulafaurrasyidin. Namun itu berbeda dengan masa pemerintahan umat Islam di akhir zaman, secara logika implisit yang disebutkan oleh banyak hadits, semestinya pemerintahan umat Islam di akhir zaman, akan berangsur-angsur menjadi baik.

Jika anda mendengar hadits bahwa Rum -atau Romawi, atau Italia saat ini- akan ditaklukkan suatu ketika oleh umat Islam, tentu kesimpulannya adalah bahwa umat Islam saat itu telah dapat bersatu atau sebagian besar telah kuat persatuannya, dan tentu oleh qiyadah yang luar biasa.

Jika anda mendengar hadits tentang batu dan pohon bisa berbicara, maka tentu yang mendengar pembicaraannya bukan orang mukmin sembarangan, namun ia adalah orang mukmin yang memiliki kedekatan tertentu dengan Allah ta’ala. Dan pasukan-pasukan itu mestinya digerakkan oleh qiyadah yang hebat.

Jika anda mendengar hadits tentang tidak ada satu kawasan pun di akhir zaman, yang dihuni manusia, kecuali akan datang Islam padanya, tentu itu oleh pasukan dalam jumlah besar, yang meliputi semua kawasan di muka bumi, dan tentu mereka dipimpin oleh qiyadah yang sangat tangguh.

Jika anda mendengar hadits tentang makanan orang mukmin pada masa Dajjal adalah dzikir pada Allah ta’ala, maka yang dapat melakukan itu adalah kader-kader dakwah yang telah terbiasa berlama-lama melakukan ibadah, puasa, dzikir dan sebagainya. Dan tentu mereka merupakan hasil didikan qiyadah yang kuat.

Jika anda mendengar tentang hadits bahwa Imam Mahdi akan memimpin dunia ini dengan penuh keadilan selama 40 (yang dalam riwayatnya tidak jelas, apakah tahun atau bulan atau hari), maka tentu kepemimpinannya meliputi seluruh penjuru dunia, dan akan membutuhkan sekian juta qiyadah di semua level semenjak desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara dan organisasi-organisasi dunia. Tentu keadilan tersebut akan dirasakan oleh semua orang di dunia, dan itu tidak mungkin kecuali harus ada stok qiyadah dalam jumlah besar pula yang dipersiapkan dan memiliki karakter baik, sehingga mampu menciptakan keadilan, memperkuat sang Imam.

Tiada asap tanpa api. Tidak ada gerakan tanpa hembusan angin. Jika selama ini kader-kader jundi telah luar biasa kiprahnya di lapangan tanpa banyak bergantung dengan instruksi qidayah, tentu akan lebih dahsyat lagi jika ada keterlibatan optimal dari para qiyadah. Jika selama ini barangkali kader-kader dakwah yang bergerak hanya separuhnya saja, maka melalui upaya maksimal qiyadah, yang bergerak dapat menjadi dua pertiganya atau bahkan seluruhnya. Berapa banyak kader dakwah yang kemudian memilih jalannya sendiri di luar jamaah, hanya karena ulah beberapa gelintir qiyadah, tanpa melihat dari sisi-sisi positifnya. Berapa banyak kader dakwah yang melemah dalam tadhiyah, setelah melihat beberapa qiyadahnya yang lembek. Sesungguhnya barangkali hanya memerlukan beberapa pengorbanan sedikit lagi dari qiyadah,  kader-kader tersebut akan bangkit dari tidur panjangnya. Berapa banyak kader yang bingung harus melakukan apa, di saat kader-kader yang lain berkiprah di jalur politik, dan qiyadahnya tidak melihat tugas-tugas dakwah lainnya.

Ini bukanlah untuk mencari kesalahan siapa-siapa. Ini adalah kesalahan kita bersama, yang hanya perlu untuk diakui, lalu disadari dan kemudian dibenahi semaksimal mungkin. Bukan untuk dicari apologinya, bahwa ini adalah proses tamhish (penyaringan) alami, yang terjadi di setiap perjuangan dakwah. Sesungguhnya tamhish yang luar biasa adalah tamhish Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak menyisakan dari 1400 kader yang ikut menuju Makkah, yang kemudian berakhir dengan pembai’atan oleh semua orang dari mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kecuali hanya satu saja yang tidak ikut. Dan ia diperkirakan sebagai orang munafik.

Kita berharap dari gelombang qiyadah yang secara masif dicetak oleh kader-kader dakwah ini, suatu ketika muncul seseorang yang kemudian disebut sebagai Imam Mahdi, yang dalam satu riwayat disebutkan usianya sangat muda belia. Atau minimal masuk dalam salah satu dari 313 orang yang berbaiat pertama kali kepada Imam Mahdi, atau jika tidak, setidak-tidaknya masuk dalam kelompok qiyadah-qiyadah yang berjuang keras di bawah kepemimpinan beliau. Demikian pula bagi akhwat-akhwat yang kita didik, semoga suatu ketika menjadi pasangan dari para pejuang dakwah tersebut, di jalan Allah. Jika masa itu masih jauh dari kita, maka setidak-tidaknya kita akan mendidik para qiyadah yang akan mencetak mereka di kemudian hari, sepeninggal kita. Amin. Wallahu a’lam bish-shawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Ahmad Mifdlol Muthohar mulai ikut dalam jamaah dakwah semenjak di Kairo, tahun 2000. Saat ini berstatus sebagai dosen tetap STAIN Salatiga, sejak tahun 2008, sambill ikut mengasuh di Pondok Pesantren Islam Terpadu Al-Hikmah, Karanggede, lihat http://ponpes-alhikmah.org/

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization