Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Membumikan Kepemimpinan Profetik

Membumikan Kepemimpinan Profetik

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

 

Ilustrasi. (Foto: blogspot.com)
Ilustrasi. (Foto: blogspot.com)

Pendahuluan

dakwatuna.com Beberapa waktu yang lalu, bahkan sampai hari ini, Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) sempat menyita perhatian semua media. Walikota yang namanya melambung karena kisruh pengangkatan wakilnya itu, telah mendapat tempat yang istimewa dalam topik kepemimpinan Indonesia. Risma (demikian walikota itu biasa disapa) telah membuka mata masyarakat Indonesia, bahwa masih ada pemimpin di negeri ini yang mendasarkan pijakannya pada bisikan nurani yang bersih.

Pada sebuah wawancara yang ditayangkan salah satu televisi swasta nasional, Risma telah menyampaikan pernyataan yang menghentak. Bagi dia jabatannya sebagai walikota bukan sekedar jabatan an sich, melainkan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak. Pernyataan seperti itu, nampaknya biasa keluar dari mulut para pejabat, namun hentakan pernyataan dari Risma ini sangat terasa, manakala dibandingkan dengan selaksa karya yang telah dia lakukan, sebagai taukid atas pernyataannya.

Bagi penulis, kesebangunan antara pernyataan Risma dengan kebijakan yang diambilnya, telah menunjukkan bahwa spiritualitas pemimpin mampu mendorong pada perbuatan yang berdimensi celestial. Spiritualitas telah mampu membangun proximity antara pemimpin dengan rakyatnya. Spiritualitas telah menghubungkan jurang rumitnya birokrasi dengan kebutuhan masyarakat yang mendesak.

Berangkat dari keyakinan atas paragraf terakhir, tulisan ini akan mencoba mengurai kepemimpinan profetik. Kepemimpinan ini berdiri di atas pondasi spiritualitas kenabian yang menjadi prototipe ideal dalam masyarakat.Selain memfokuskan pada genealogi konsep kepemimpinan profetik, tulisan inipun berupaya menawarkan ikhtiar untuk membumikan kembali kepemimpinan tersebut.

Dimensi Teoritis Kepemimpinan Profetik

Mendefinisikan kepemimpinan ibarat memasuki semesta pengertian. Hal ini mengingat, sebagaimana ditegaskan Sus Budiharto dan Fathul Himam (2005: 135), banyaknya definisi kepemimpinan sama dengan jumlah orang yang mendefinisikannya. Hanya saja, secara umum kepemimpinan adalah kemampuan dan proses memengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan.

Teori kepemimpinan yang paling mutakhir, menurut Robbins dalam Sus Budiharto dan Fathul Himam (2005: 136), antara lain berhubungan dengan demoralitas atau spiritualitas. Sumber moralitas atau spiritualitasnya bisa dari mana saja -termasuk dari Islam-, sebagaimana akan diurai dalam tulisan ini.

Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, profetik artinya bersifat kenabian (2006: 789). Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Dengan sangat jujur, Kuntowijoyo (2006: 87) menyatakan bahwa ide tentang istilah tersebut terilhami oleh Muhammad Iqbal. Menurutnya, setelah nabi Muhammad saw. mi’raj, beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan memberdayakannya. Nabi saw. tidak hanya menikmati kebahagiannya berjumpa dengan Allah Swt. dan melupakan masyarakatnya.

Dengan demikian, pengertian kepemimpinan profetik di sini adalah kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan, dengan pola yang dilaksanakan nabi (prophet). Kekuatan kepemimpinan profetik ini, menurut Sanerya Hendrawan (2009: 158), terletak pada kondisi spiritualitas pemimpin. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah seorang yang telah selesai memimpin dirinya. Sehingga, upaya memengaruhi orang lain, meminjam istilah Hsu, merupakan proses leading by example atau memimpin dengan keteladanan (Sus Budiharto dan Fathul Himam, 2005: 142).

Inspirasi teologis dari kepemimpinan profetik, menurut Kuntowijoyo (2006: 87), adalah derivasi dari misi historis Islam yang termaktub dalam Firman Allah,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ

Engkau adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.(Ali Imran [3]: 110).

Ayat tersebut menurut Kuntowijoyo (2006: 87) memuat tiga nilai. Ketiganya adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi sebagai padanan ta’muruuna bi al-ma’ruf, liberasi padanan tanhawna ‘an al-munkar, dan transendensi padanan tu’minuuna billah.

Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Keadaan masyarakat yang telah bergeser dari pola hidup masyarakat petani menjadi masyarakat industri, telah banyak menanggalkan aspek kemanusiaan yang mendasar. Akibatnya, manusia pada masyarakat industri terjebak di tengah-tengah mesin pasar dan politik yang menempatkan manusia sebagai subordinat, karena perannya yang parsial dan banyak digantikan oleh mesin.

Tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari jerat-jerat sosial. Pembebasan dari jeratan kejamnya kemiskinan struktual, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kaum bermodal. Sederhananya, paradigma profetik ingin membebaskan diri dari belenggu yang dibangun sendiri, tanpa sadar.

Tujuan transendensi mengembalikan realitas masyarakat pada kesadaran metafisik. Transendensi ini berfungsi pula untuk menggeser keadaan yang dekaden pada puncak pencapaian spiritualitas. Pencapaian dimaksud adalah merasakan kehadiran Tuhan pada setiap margin kehidupan yang dilalui. Di mana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun, Tuhan menjadi orientasi utama di dalamnya.

Misi historis Islam dalam surah Ali Imran ayat 110 di atas, baik humanisasi, liberasi, maupun transendensi bersifat kausalitas dengan awal frasa ayat tersebut.Pada bagian frasa kuntum khayra ummatin, sesungguhnya menanti ta’muruuna bi al-ma’ruuf, tanhawna ‘an al-munkaar. Tidak akan menjadi umat terbaik, jika misi-misi tersebut diabaikan.

Pernyataan terakhir dikuatkan oleh Muhammad Taufiq Muhammad Sa’ad (1994: 36). Menurutnya, hadirnya kalimat ukhrijat li al-naas menegaskan bahwa kehadiran pribadi profetik adalah semata-mata untuk menjalankan misi tadi sampai pada terwujudnya khayra ummat, umat yang terbaik. Muhammad Sa’ad mengutip hadis riwayat Ahmad untuk menegaskan hal ini, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling membaca, paling takwa, paling giat melakukan humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahy munkar), dan paling luas jaringannya (sillatu al-rahim)”.

Sejak awal, Islam telah menetapkan model ideal untuk bentuk kepemimpinan dalam firman Allah Swt.,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab [33]: 21).

Karenanya, wacana humanisasi merupakan salah satu ‘mantra’ komitmen Islam. Kedatangan Islam menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat yang tertindas oleh sistem dan struktur yang tidak adil (Very Verdiansyah, 2004: 137). Dan ini sebagai dalil, bahwa kelaliman sesungguhnya bukan melekat pada penguasa yang menindas, akan tetapi berlaku pula bagi masyarakat yang tertindas dan diam tak bergerak dalam upaya keluar dari ketertindasannya.

Husein Muhammad (2011: 50) menyebutkan humanisasi dan dua anasir misi tadi sebagai bukti kerahmatan Islam. Husein mengutip pernyataan Ibnu Abbas, bahwa kerahmatan Islam dengan hadirnya sosok Nabi saw. sebagai figur ideal, berlaku bagi semua kalangan. Tidak hanya sebatas umat Islam, melainkan bagi semesta alam. Sebagaiman Firman-Nya,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS. Al-Anbiya [21]: 107).

Pada bagian misi liberasi, Islam telah menetapkan norma-norma yang berderet panjang dalam magnum opus Al-Qur’an maupun sunnah. Proses liberasi dalam konsep kepemimpinan profetik, tidak hanya bermakna bahwa pemimpin harus membebaskan masyarakat dari selaksa masalah sosial warganya, melainkan pada saat yang sama, perlu pula melakukan upaya pembebasan masyarakat dari dogma keagamaan yang memenjarakan dan membuat kehidupan semakin rumit.

Ashgar Ali Engineer membuat catatan yang mengesankan berkaitan dengan misi liberasi ini (2004: 90). Misi pembebasan dalam paradigma kepemimpinan profetik perlu memperhatikan dinamika zaman. Agama sebagai semangat kepemimpinan profetik tidak lepas dari khazanah berpikir para penganutnya. Karenanya, kebebasan berpikir menjadi bagian yang perlu dijaga independensinya. Karena seburuk apapun cara berpikir terhadap pemahaman agama, tidak layak dihakimi dengan diberangus kebebasannya. Tetapi perlu dikomparasikan dengan cara-cara berpikir yang lebih relevan.

Kebebasan berpikir sebagaimana disebut terakhir, sebangun dengan hifdz al-‘aql dalam tujuan syariat. Dalam hal ini, agama -melalui kepemimpinan para pembesarnya- menafikan hal ini.Maka -pada saat yang sama-, para pemuka agama sedang menjerumuskan agama pada level terendah bernama penindasan berpikir. Jika sudah demikian adanya, membangun tata nilai kehidupan bermasyarakat, yang disebut social capital (modal sosial) oleh Fukuyama (2002: 31), tidak akan tercapai. Karena salah satu indikator berdirinya modal sosial adalah hubungan timbal balik antar berbagai pihak dalam masyarakat.

Jika menggunakan format maqashid al-syariat yang lain, maka liberasi akan semakin menampilkan wajah yang menawan. Misalnya dengan memakai postulat hifdz al-maal (menjaga harta, red). Liberasi akan bermakna sebagai upaya pembebasan masyarakat dari belenggu monopoli, penyelamatan kepemilikan, dan pemerataan pendapatan ekonomi.

Lain halnya jika menggunakan hifdz al-nasl(menjaga keturunan, red). Liberasi dengan bingkai pemeliharaan keturunan dapat menyentuh ruang kesehatan reproduksi. Ruang ini merupakan variabel yang berpengaruh terhadap kelangsungan keturunan, atau bahkan eksistensi kehidupan (hifdz al-nafs). Semuanya (hifdz al-nasl dan hifdz al-nafs juga dua hifdz yang sebelumnya) menjamin hifdz al-diin (menjaga agama). Karena memelihara kebebasan beragama sama artinya dengan memelihara kebebasan untuk berpikir, beraktivitas ekonomi, berketurunan, dan melangsungkan kehidupan.

Tidak heran jika pemeliharaan terhadap upaya pembebasan maqashid al-syariat tadi dibingkai Acep Djazuli (2009: 10) dengan hifdz al-ummah. Karena, tidak mungkin bangunan komunitas keumatan berdiri, jika menafikan semua perangkat maqashid tadi.

Terakhir, dimensi teoritis dari kepemimpinan profetik adalah misi transendensi. Dengan misi ini pemimpin profetik diumpamakan Hendrawan (2009: 185) sebagai receiver dan transmitter pesan Ilahi. Pemimpin profetik terlebih dahulu menjadi penerima pesan Ilahi sehingga hatinya hidup, kemudian kekuatan tersebut memancar kepada yang lain.

Ketangguhan moralitas seorang pemimpin akan menjadi faktor yang dominan dalam menentukan arah kebijakannya. Apakah kebijakan itu dinilai efektif atau tidak, memiliki korelasi positif dengan kualitas moralitasnya. Moralitas yang dimaksud tentunya dalam makna semangat keberagaman sang pemimpin yang memancar pada sikap dan perilakunya dalam memimpin.

Untuk paragraf terakhir, kita diingatkan oleh sebuah hadis yang mengaskan bahwa “manusia akan mengikuti agama rajanya”. Makna kontekstual hadis tersebut lebih menitik-beratkan pada konsistensi komitmen pemimpin dengan pola pelaksanaannya.

Jika kembali pada kisah di awal tulisan, Risma menuai simpati dari berbagai kalangan. Bukan saja masyarakat Surabaya, melainkan kalangan akademisipun pasang badan untuk tetap meneguhkan posisinya sebagai pemimpin. Sekali lagi, itu disebabkan kata-kata Risma telah berubah menjadi ‘mantra’ yang mujarab, karena disertasi aksi nyata yang tidak diragukan oleh setiap kalangan.

Dengan demikian, secara teoritis kepemimpinan profetik adalah kemampuan yang mencerminkan konsistensi. Konsistensi antara keyakinan semangat beragama yang memanusiakan manusia, membebaskan, dan menghadirkan dimensi ilahiah yang padu. Padu antara tutur dengan laku, sejalan antara kata-kata dengan perbuatan. Pertanyaan selanjutnya, apa yang menyebabkan kepemimpinan profetik memiliki kekuatan dibanding kepemimpinan lainnya?

Menakar Kekuatan Kepemimpinan Profetik

Untuk dikatakan sebagai konsep maupun praktik kepemimpinan yang kuat, kepemimpinan profetik perlu diuji dengan berbagai test case. Untuk mengujinya, bisa kita gunakan standar misi kenabian dalam surah Al-Baqarah [2]: 129 dan 151 serta surah Ali Imran [3]: 164.

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seseorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah [2]: 129)

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Al-Baqarah [2]: 151).

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran [3]: 164).

Ketiga ayat tersebut adalah batu uji untuk misi kepemimpinan profetik. Meskipun redaksinya mirip, konteks ketiga ayat tersebut di atas berbeda. Ayat pertama (Al-Baqarah [2]: 129) berbicara tentang permohonan nabi Ibrahim kepada Allah supaya diberi keturunan yang mampu memimpin orang yang beriman. Dan ayat kedua (Al-Baqarah [2]:151) adalah jawabannya.

Adapun ayat ketiga ( Ali Imran [3]: 164) adalah kabar yang menegaskan, bahwa kepemimpinan profetik adalah karunia bagi orang-orang yang beriman. Menjadi karunia disebabkan para pemimpin profetik menjadi marga lantaran untuk mengetahui arah kehidupan, dan menjadi media migrasi dari gelap menuju cahaya, dari keterbelakangan menuju ilmu dan hikmah.

Misi kepemimpinan profetik dalam ketiga ayat di atas adalah misi tilawah (membacakan) tanda-tanda pesan (ayat) Allah baik yang qauliyyah atau kauniyyah. Misi berikutnya adalah misi tazkiyah, penyucian atau penumbuhan. Kedua makna tazkiyah terakhir dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam Hendrawan (2009: 153).

Misi terakhir dari ketiga ayat tadi adalah ta’liimu al-kitaab wa al-hikmah (mengajarkan pengetahuan dan kearifan). Dalam pandangan Hendrawan (2009: 155) ta’liim al-kitaab mewakili semua disiplin ilmu yang bersumber dari wahyu (qauliyyah), sedangkan ta’liimu al-hikmah dalah representasi ilmu-ilmu kauniyyah. Didalamnya tercakup filsafat, sains, dan pengetahuan yang bersifat ‘irfaniy melalui metode sufistik.

Kekuatan kepemimpinan profetik telah diuji dalam penelitian ilmiah. Sebuah Jurnal Psikologi yang dipublikasikan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada pada tahun 2005 menampilkan tulisan Sus Budiharto dan Fathul Himam terkait penelitian dimaksud.

Penelitian tersebut berjudul “Prophetic Intelligence; Construct Development and Empirical Test for Its Role in Perceptionof Unethical Conduct among Indonesian Goverment Employees”. Temuan dari penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2004 tersebut, menegaskan bahwa intelegensi profetik efektif membuat persepsi objek penelitian (pejabat pemerintah tingkat II) yang semula menganggap tindakan tidak etis sebagai hal yang wajar dalam organisasi menjadi tidak wajar.

Penelitian tersebut dilanjutkan dengan berfokus pada konstruksi teoritis dan pengukuran kepemimpinan profetik. Dimensi yang diukur dalam penelitian lanjutan tersebut adalah dengan membuat item yang diturunkan dari sifat-sifat  kenabian. Shiddiq diturunkan menjadi conscience centered (berpedoman pada nurani dan kebenaran), amanah menjadi highly commited (profesional dan komitmen), tabligh menjadi communication skills (keterampilan komunikasi), dan fathanah menjadi problem solver (kemampuan memecahkan masalah).

Ajaibnya, hasil dari pengukuran item tersebut menunjukkan validitas yang positif. Artinya, dimensi kepemimpinan profetik yang terdiri dari shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah, berdasarkan analisis korelasi anti image, dapat diketahui bahwa semua aspek dalam konstruksi kepemimpinan profetik adalah valid.

Pada bagian ini, sejatinya ingin menjelaskan, bahwa bukti kekuatan kepemimpinan profetik dapat teruji dengan dua perangkat. Pertama, perangkat wahyu dengan ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua, bukti penelitian empiris dari dimensi sains. Sehingga, batu uji wahyu akan menjadi standar acuan pada setiap model kepemimpinan profetik yang ditawarkan, sedangkan bukti penelitian empiris menjadi taukid atas kekuatan kepemimpinan profetik jika diaplikasikan. Jika demikian adanya, maka persoalan berikutnya adalah merumuskan bagaimana kepemimpinan profetik itu bisa diaplikasikan.

Meretas Jalan ke Arah Perwujudan Gagasan

Sebenarnya sangat sederhana jika kepemimpinan profetik hendak diaplikasikan. Pertama, berpegang pada titah langit (Al-Qur’an) dan kedua mengambil pola kepemimpinan nabi Muhammad saw. (al-Sunnah). Setelah keduanya diambil, selesai segalanya.

Hanya saja, persoalan selalu muncul pada pola pembacaan terhadap keduanya. Jika demikian adanya, maka yang pertama-tama harus disiapkan sejak awal adalah pola pembacaan terhadap referensi ideologis (wahyu) dan praktis (perilaku Nabi saw.) secara tepat.

Ketepatan pembacaan tadi tidak menjadi dominasi perorangan dan produk zaman tertentu. Hal ini dikarenakan pelaku pembacaan memiliki latar sosial yang berbeda, baik perangkat keilmuan, budaya, dan tantangan zaman yang beragam dan dinamis.

Salah satu cara melakukan pembacaan tersebut adalah tawaran dari Kuntowijoyo (2009: 283). Tawaran tersebut diperkenalkannya dengan istilah “Lima Program Reaktualisasi Islam”. Istilah reaktualisasi, hemat penulis, dipilih dan pernah dilakukan, setidaknya pada masa nabi Muhammad saw. Maka pada gilirannya, persoalan kekinian dan kedisinian adalah menghidupkan dan membumikannya kembali.

Pertama, perlu memulai penafsiran sosial struktual yang lebih banyak dibandingkan dengan penafsiran individual. Penafsiran dimaksud semacam tafsir kolektif dengan berbagai perspektif terhadap ketentuan nash agama. Dengan penafsiran semacam ini, tingkat objektivitas dalam memahami dan mengelaborasi pesan agama akan semakin holistik.

Kedua, mengubah pola pikir subjektif ke cara berpikir objektif. Reorientasi berpikir seperti ini bertujuan menyajikan Islam sebagai cita-cita objektif. Misalnya pada kasus zakat. Sedangkan secara objektif zakat bernilai untuk pencapaian kesejahteraan. Jika zakat telah dipotret dengan cara berpikir objektif, maka selanjutnya adalah bagaimana merumuskan zakat produktif, ekonomi bebas bunga, membantu masyarakat ekonomi lemah, sampai pada program-program pemberdayaan masyarakat lainnya. Dan semua itu, berbasis zakat seluruhnya.

Ketiga, mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Penyakit umat Islam selama ini, selalu merasa cukup dengan menafsirkan Al-Qur’an  secara normatif, dan masih terkesan enggan membuka kemungkinan lahirnya teori-teori baru dalam khazanah keilmuan yang lebih kaya dari sumber norma tersebut.

Keempat, mengubah pemahaman ahistoris menjadi melek historis. Selama ini umat Islam memiliki kecenderungan bahwa kisah yang dikutip Al-Qur’an, misalnya, bersifat ahistoris. Padahal, tidak sertamerta Allah mencantumkan kisah tersebut, melainkan ada pesan sejarah di dalamnya.Seperti kisah penindasan Fir’aun terhadap bangsa Israel hanya menyisakan kisah saat itu saja. Padahal, kisah tersebut mengajarkan bahwa sepanjang sejarah kehidupan manusia penindasan model Fir’aun itu akan tetap ada.

Kelima, yang merupakan simpul keempat sebelumnya, yaitu merumuskan formulasi wahyu yang masih bersifat umum, menjadi formulasi yang bersifat spesifik dan empiris. Misalnya, Allah mengecam perilaku orang yang melakukan sirkulasi kekayaan hanya pada kalangan tertentu saja.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja harta rampasan (faii) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya(Al-Hasyr [59]: 7).

Pernyataan ini masih bersifat umum dan normatif. Kita bisa menurunkannya secara spesifik dan empiris. Kita bisa melakukan pemotretan terhadap realitas di depan mata kita. Masih banyak praktik monopoli dan oligopoli ekonomi dan politik, yaitu penguasaan kekayaan hanya oleh kalangan lingkaran pejabat berkuasan saja.

Dengan kelima program tadi, Kuntowijoyo –termasuk kita di dalamnya- boleh memiliki optimisme. Karena jika kelimanya mulai dilakukan, meminjam istilah Qodri Azizi (2003: 66), umat Islam akan memiliki self-confidence yang bernuansa khauf dan raja’. Keseimbangan antara kekhawatiran jika program kelimanya tidak dimulai dan berkelanjutan, juga selalu berharap akan selalu datang generasi terbaik pada setiap zaman. Keseimbangan akan melahirkan upaya antisipasi dengan kaderisasi.

Selamat Datang Kepemimpinan Profetik: Catatan Penutup

Kepemimpinan profetik bukan hal mustahil muncul di setiap tempat manakala anasir humanisasi, liberasi, dan transendensi terwujud. Upaya ke arah perwujudannya dapat dimulai dengan mewujudkan impian Kuntowijoyo dalam “Lima Program Reaktualisasi”nya. Dan sekarang Kuntowijoyo telah meninggalkan kita. Tugas kita adalah membuat dia tersenyum di samping Tuhannya, karena cita-citanya dilanjutkan oleh kita.

Dengan demikian, selamat datang adalah ucapan yang pantas untuk kehadiran kepemimpinan profetik. Itu karena upaya kita adalah perwujudan cita-cita mulia. Semoga! []

Wallahu a’lam bis-shawab

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Kariem.

Azizy, Qodri, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Djazuli, Acep, Hifdz al-Ummah: Tujuan Hukum Islam, Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2009.

Engineer, Asghar Ali, On Developing Theology of Peace in Islam, Yogyakarta: Alenia, 2004.

Fukuyama, Francis, The Great Disruption: Human Nature and The Reconstitution of Social Order, Yogyakarta: Qalam, 2002.

Hendrawan, Sanera, Spiritual Management: From Personal Enlightment Towards God Corporate Governance, Bandung: Mizan, 2009.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2009.

Muhammad, Husein, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, Bandung: Mizan, 2011.

Sa’di, Taufiq Muhammad, Fiqh Taghyiir al-Munkar, Qatar: Al-Ummah, 1994.

Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Kebebasan, Jakarta: P3M dan Ford Foundation, 2004.

*Makalah ini dilombakan dalam event MTQ cabang MMQ.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 4.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Moderat, pecinta Al-Quran, suka menulis dan berbagi informasi, juga blogger mania.

Lihat Juga

Cegah Sekulerisme, KAMMI Pangkalan Bun Adakan Training Kepemimpinan

Figure
Organization