Topic
Home / Berita / Daerah / Ketulusan Dahniar Merawat Bocah Korban Penyiksaan

Ketulusan Dahniar Merawat Bocah Korban Penyiksaan

Adit (7) bocah korban kekerasan orangtuanya kondisinya mulai berangsur membaik setelah mendapatkan perawatan intensif di RSUD Bangkinang, Kampar. Dahniar (jilbab pink). (Foto: Riau Pos)
Adit (7) bocah korban kekerasan orangtuanya kondisinya mulai berangsur membaik setelah mendapatkan perawatan intensif di RSUD Bangkinang, Kampar. Dahniar (jilbab pink). (Foto: Riau Pos)

dakwatuna.com – Kampar.  Matanya berkaca-kaca saat melihat Adit yang sedang sibuk bermain dengan ekskavator mainannya. Sambil terus mengipaskan sobekan kardus air mineral, Dahniar memandang Adit dengan tatapan penuh kesedihan. Selasa (17/12), menjadi hari terakhir Dahniar mendampingi adit di rumah sakit umum daerah Bangkinang, Kampar.

Dahniar harus kembali pulang ke rumahnya di Avdeling IV, Kebun PTPN V Tandun. Di sana, dua anak kandungnya sudah menunggu sejak tiga hari lalu. Memang, sejak Ahad, Dahniar sibuk mengurus Adit mulai dari melaporkannya ke kantor polisi hingga mengantar dan mendampinginya di rumah sakit. Kedua anaknya pun terpaksa ditinggal sendiri di barak mereka yang berada di tengah perkebunan.

“Anak saya dua orang, yang paling kecil berumur 8 tahun. Dia ini yang menelpon saya setiap hari, minta saya agar segera pulang,” ucap Dahniar kepada Riau Pos di RSUD Bangkinang, kemarin siang.

Berkali-kali Dahniar menunduk dan berkali-kali harus menatap Adit yang sibuk bermain di depannya. Sesekali tangannya mengusap rambut Adit. Terpancar kebimbangan dalam hatinya untuk meninggalkan Adit. Ketika keputusan pulang diambilnya, berarti dia harus meninggalkan bocah malang yang sejak kemarin tidak mau pisah darinya itu. Sebaliknya jika memilih tetap bertahan, berarti sama saja menelantarkan kedua anak kandungnya.

“Kalau saya tetap di sini, siapa yang mengurus anak saya. Bapaknya sudah tidak ada. Selama ini saya yang bekerja dan mengurus mereka sendiri,” ucapnya dengan suara bergetar.

Air matanya tak terbendung lagi, ketika janda dua anak ini mulai menceritakan kondisi keluarganya. Tangannya dengan kulit yang terlihat lebih tua dari usianya, sesekali menghapus air bening yang jatuh di pipinya. Dia seolah tidak peduli dengan perawat mau pun orang-orang yang sejak pagi bergantian memenuhi ruangan tersebut untuk melihat kondisi Adit.

Bagaimana tidak, Dahniar ternyata seorang single parent yang hampir empat tahun menjalani hidup sebagai buruh harian lepas di kebun berplat merah itu. Ia membesarkan kedua buah hatinya dengan penuh keterbatasan. Meski begitu, ia masih bersyukur bisa tetap bertahan hidup bersama anak anaknya. “Ya, walaupun hidup pas-pasan, Alhamdulillah saya tetap bisa makan sama anak-anak,”  katanya dengan suara terbata-bata.

“Ibu, minum,” rengek Adit menghentikan cerita wanita itu. Dahniar pun bergegas menyeka air matanya dengan jilbab merah jambu yang dikenakannya.

“Iya, nak. Minum? Minum yang mana, putih atau susu?” Dahniar balik bertanya.

Adit lalu menunjuk botol air mineral yang berada persis di samping Dahniar. Dahniar lalu mengambil minuman itu dan menyodorkan perlahan dan penuh kesabaran. Ya, Dahniar seolah tidak ingin melihat Adit merintih karena merasakan perih di bibirnya yang koyak.

“Aduh, pintar anak ibu, minumnya banyak. Nanti mimik susu ya kalau haus, biar Adit cepat sembuh,” bujuknya. Suaranya sangat lembut. Nyaris tidak terdengar. Parau. Air matanya kembali mengalir.

Puas meneguk air mineral, Adit kembali memainkan excavator. Dia mendorong ke depan dan belakang mainan itu berkali-kali. Sambil sesekali ia mengangguk-anggukan belalai excavator seolah-olah sedang mengeruk tanah. Dahniar pun tersenyum haru melihat Adit yang sibuk bermain.

Dia mengaku tidak habis pikir kenapa ada orangtua yang tega berbuat demikian terhadap anaknya. Dia sendiri yang tidak pernah merasa melahirkan dan membesarkan Adit, mengaku terpukul ketika melihat Adit merengek menahan sakit.

“Hati saya seperti diiris-iris saat melihat Adit menangis saat dibersihkan lukanya sama perawat,” sebut Dahniar sambil membetulkan kerah baju bocah malang ini dari belakang.

Tiba-tiba Adit yang sedari tadi sibuk bermain, menoleh ke belakang dan memandang Dahniar seolah mengerti akan ditinggal ibu angkatnya ini. Adit lantas minta digendong ke kamar mandi, padahal biasanya dia berjalan sendiri.

“Ibu, mau pipis. Gendong Adit,” rengeknya.

Dengan sabar, Dahniar mengambil infus dari tiangnya dan menggendong Adit itu ke kamar mandi. Tidak ada yang terlihat dari mata ibu ini kecuali ketulusan.

“Sini nak, angkat dulu tangannya, ya,” ucapnya seraya mengangkat anak tersebut. Keluar dari kamar mandi, Adit kembali duduk di atas tempat tidurnya. Tidak berselang lama dia kembali minta digendong dan meminta main di luar.

Dahniar semakin sulit untuk pergi meninggalkan Adit.  Khairul Azmi, relawan dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang sejak kemarin mendampingi bocah ini, tahu kalau Dahniar akan pulang. Ia pun mencoba mengalihkan perhatian Adit.

“Sama om saja ya gendongnya, kasihan ibu capek itu, kan belum tidur dari tadi malam menemani Adit,” kata Azmi membujuk.

Untung Adit tidak menolak meski dia tetap meminta Dahniar untuk ikut bersamanya. Dahnir mengiringinya dari belakang sambil memegang infus menuju pintu ke luar bagian belakang.

Sambil terus bermain, Adit kerap kali memandang ke arah Dahniar seolah tahu akan ditinggal wanita tersebut. Sesekali menarik tangannya supaya tetap dekat seolah tidak ingin membuang kesempatan untuk bermanja-manjaan dengan orang yang telah menemaninya dengan penuh kasih sayang.

Makin lama, Adit semakin asyik bermain dengan Azmi dan para relawan serta orang-orang yang sengaja datang untuk melihatnya. Kesempatan ini dimanfaatkan Dahniar untuk kembali ke kamar perawatan. Dengan cepat dia mengemasi pakaiannya.

Dahniar duduk dan tertunduk cukup lama sambil mengemasi baju yang dibawanya dan memasukkannya ke dalam tas hitam kecil yang terbuat dari kain. Tiba-tiba Dahniar tersengguk menahan tangis. Terdengar samar. Bahunya berguncang dan kedua tangannya mengusap mukanya dengan jilbab.

“Sudah siap, Bu?” suara Hafiz Tohari, Wakil Ketua P2TP2A Kampar mengejutkan Dahniar. Dia gugup. Dengan cepat dia berusaha berdiri. “Kalau sudah siap, kita berangkat sekarang,” sambung Hafiz.

“Iya, Pak. Saya sudah siap,” ucap Dahniar lirih sambil mengangguk. Matanya merah dan terlihat basah.

Tanpa memandang ke pintu belakang tempat Adit bermain, Dahniar dengan langkah cepat berjalan keluar kamar melalui pintu depan dan meninggalkan ruang perawatan bedah tersebut. Sedikitpun dia tidak menoleh. Tangan kirinya memegang erat tas sedangkan tangan kanannya terus menutupi sebagian wajahnya.

Tidak lama setelah Dahniar pergi, Adit kembali masuk ke kamar perawatan bersama Azmi. Saat itulah dokter yang merawat Adit, Revinda, datang untuk memeriksa kondisinya. Adit terlihat takut. Tapi, dokter itu mengeluarkan cokelat dan Adit mengambilnya lalu dimakan.

Kepada Riau Pos (Grup JPNN) Revinda, menjelaskan, HB Adit sudah meningkat, yakni dari 4,5 saat pertama datang, sekarang sudah menjadi 6. Revinda juga menjelaskan, dari hasil diagnosa, Adit mengalami infeksi serius pada seluruh luka di tubuhnya dan anemia.

“Untuk saat ini, penanganannya hanya kepada pola makan. Nanti, ketika dibutuhkan baru akan dilakukan transfusi darah. Artinya, Adit dalam pengawasan ketat kita di sini,” katanya. (jpnn/sbb/dakwatuna)

 

Redaktur: Saiful Bahri

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir dan besar di Jakarta, Ayah dari 5 orang Anak yang hobi Membaca dan Olah Raga. Setelah berpetualang di dunia kerja, panggilan jiwa membawanya menekuni dunia membaca dan menulis.

Lihat Juga

FORKOMMI dan FOKMA Malaysia Adakan Bakti Sosial untuk Korban Gempa Palu

Figure
Organization