Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Menyehatkan APBN dengan Zakat

Menyehatkan APBN dengan Zakat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, masalah keterbatasan anggaran menjadi kendala besar untuk memaksimalkan pembangunan dan mencapai kesejahteraan (benefit), untuk itu kebijakan fiskal menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah anggaran. Oleh karena itu pemerintah memberikan perhatian yang serius terhadap kebijakan fiskal sebagai salah satu instrument untuk mengatasi defisit anggaran .

Secara umum kebijakan fiskal adalah langkah yang digunakan oleh pemerintah terkait dengan kebijakan sistem pajak dan pembelanjaan negara serta moneter dan perdagangan sehingga kebijakan fiskal ini mempengaruhi Anggaran Pendapatan dan Belanja suatu Negara (APBN). Sementara tujuan utama dalam kebijakan fiskal adalah tercapainya kesejahteraan dengan mengalokasikan sumber daya secara efisien, menjaga stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan distribusi, tujuan ini menjunjung nilai benefit utama individual tanpa melihat aspek lain.

Sumber kebijakan pendapatan fiskal saat ini berasal dari penerimaan negara berupa pajak, penerimaan non-pajak dan utang luar negeri, namun ketidakharmonisan antara besarnya pendapatan dan pengeluaran pemerintah atau lebih besar pasak dari pada tiang saat ini berimplikasi terhadap tidak adanya kesinambungan fiskal dimana terjadi ketidakseimbangan antara rasio penerimaan dan aset (atau utang) pemerintah untuk membiayai total pengeluaran pemerintah (lihat Romer, 2002). Kondisi ini bisa mengakibatkan budget deficit atau kondisi dimana penerimaan lebih kecil daripada pengeluaran serta mampu mengakibatkan gejolak ekonomi dalam masyarakat.

Pemerintah biasanya mengatasi budget deficit dengan memaksa penerimaan negara melalui menaikkan pajak atau melakukan pinjaman dana baik kepada masyarakat melalui obligasi atau keluar negeri atau jalan terakhir dengan mencetak uang namun ini dapat beresiko terhadap potensi terjadinya inflasi sehingga kebijakan fiskal yang secara konvensional cacat serta penuh dengan resiko gagal untuk menyejahterakan masyarakat.

Kebijakan Fiskal Islam

Pandangan ini berbeda dengan gagasan Ekonomi Islam dimana dalam fiskal ekonomi Islam, kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syariah yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, tujuan utama dalam kebijakan fiskal bukan hanya untuk mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.

Dalam gagasan ekonomi Islam masalah ketidaksinambungan fiskal dan budget deficit tidak terjadi karena sumber pendapatan dalam ekonomi Islam tidak bertumpu pada pajak semata dan utang namun memiliki banyak sumber penerimaan dan pendapatan negara yaitu Zakat, infak, sedekah, wakaf (ZISWA) serta sumber lain seperti kharaj (pajak bumi), ghanimah (harta rampasan perang) pada zaman nabi Muhammad dan sahabat, jizyah (pajak kepada non-muslim) atau secara umum pendapatan tersebut dapat diklasifikasikan yang bersifat rutin seperti: zakat, jizyah, kharaj, ushr, infak dan shadaqah. Seperti pajak jika diperlukan, dan ada yang bersifat temporer seperti: ghanimah, fa-i dan harta yang tidak ada pewarisnya, yang diselenggarakan pada lembaga Baitulmal (national treasury).

Kebijakan fiskal Islam merupakan instrument pokok dalam kebijakan sistem ekonomi Islam dibandingkan dengan kebijakan moneter karena kebijakan moneter syarat dengan gharar (ketidakpastian) dan transaksi riba (interest) serta spekulasi yang merugikan pihak lemah sehingga kedudukan fiskal lebih utama dibandingkan dengan kebijakan moneter.

Zakat merupakan kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat syariah Islam untuk diserahkan kepada masyarakat yang memenuhi syarat syariah Islam. Sementara infaq, sedekah, wakaf merupakan pengeluaran sukarela yang juga sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur utama yang terkandung dalam kebijakan fiskal Islam yang bersifat wajib seperti zakat dan ada pula yang bersifat sukarela. Kondisi inilah yang membedakan dengan sistem ekonomi yang lain utama ekonomi kapitalis, dimana tidak kita temukan sektor sukarela.

Kebijakan Fiskal Islam terbukti di zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, karena Nabi dan Sahabat memegang prinsip bahwa pengeluaran hanya boleh dilakukan apabila ada penerimaan. Pada zamannya Nabi budget deficit hanya pernah sekali terjadi dikarenakan banyak orang masuk Islam (muallaf) sehingga pengeluaran Zakat lebih besar daripada yang diterima, namun setelah itu, tidak pernah terjadi lagi budget deficit, bahkan mengalami budget surplus di zaman Utsman bin Affan R.A dengan kondisi surplus, monetary expansion dapat dicegah karena tidak dibutuhkan untuk mencetak uang lain.

Menurut Mustafa Edwin Nasution et al. (2006) menyatakan bahwa dalam hal pengelolaan keuangan publik, dunia Islam saat ini kehilangan minimal dua hal yaitu menghilangnya spirit religiositas dan kehilangan mekanisme teknik yang bermanfaat. Pertama, menghilangnya spirit keagamaan dalam pemenuhan dan penggunaan keuangan Negara disebabkan oleh pandangan sekularisme yang melanda dunia Islam, hal ini menyebabkan dunia Islam kehilangan daya dorong internal yang sangat vital. Kedua, tidak digunakannya berbagai mekanisme yang berbau Islam, justru dunia Islam kehilangan metode menyejahterakan rakyatnya.

Sebagai gambaran, Zakat saat ini pelaksanaan masih setengah hati oleh pemerintah, menyebabkan umat Islam kehilangan kemampuan dan kekuatan menjalankan program welfare. Berbagai program kemiskinan dan bencana sosial seperti di bidang kesehatan, pangan, balita jauh dari standar yang memuaskan.

Zakat merupakan pilar utama dalam sistem keuangan Islam sekaligus sebagai instrument utama dalam kebijakan fiskal Islam. Sementara sumber lain tetap dibolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan Syariah dan melalui kajian fiqih yang berdasarkan dengan Al-Quran dan Hadits. Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk tujuan duniawi, seperti distribusi pendapatan, stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat hal ini yang membedakan kebijakan fiskal dalam Islam dengan kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar/kapitalis.

Untuk mengukur bagaimana potensi sebagai salah instrument kebijakan fiskal Islam yaitu Zakat, pada tahun 2004 telah dilakukan kajian untuk mengukur potensi Zakat, Mustafa Edwin Nasution et al. (2006) mencatat bahwa dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia yang berjumlah 93.722.040 orang, terdapat 16,91% atau 15.847.072 orang yang memiliki penghasilan lebih besar dari Rp.1.460.000,- per bulannya. Sementara dari jumlah total penghasilan tenaga kerja di Indonesia yang sebesar Rp.1.302.913.160,926,190, terdapat 43% atau Rp.557.954.119.104.025,- merupakan jumlah total penghasilan tenaga kerja yang berpenghasilan lebih besar dari Rp.1.460.000,- per bulannya. Dengan asumsi rasio penduduk Indonesia jumlah muslin (88%) sama dengan rasio tenaga kerja muslim di Indonesia, maka diketahui zakat penghasilan/profesi yang dapat digali dari tenaga kerja muslim di Indonesia dalam satu tahun adalah sebesar Rp.12.274.990.620.289,- (Rp 12, 3 Triliun).

Kondisi potensi di atas apabila dibandingkan dengan APBN 2004 maka potensi ini sungguh sangat luar biasa, dimana pada APBN 2004 tercatat pembiayaan pembangunan untuk subsector kesejahteraan sosial hanya Rp 1, 7 Triliun, dan subsector kesehatan Rp 5, 3 Triliun maka dengan potensi Zakat di atas sekitar Rp 12, 3 Triliun maka kebijakan fiskal Islam mampu berkontribusi lebih dari yang kebijakan fiskal yang ada saat ini sehingga pernyataan pemerintah yang menaikkan BBM dengan dalih menyelamatkan kebijakan fiskal dapat dicegah dengan menggunakan instrumen kebijakan fiskal Islam.

Potensi ini masih terbatas pada Zakat belum instrument lain seperti infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Budget deficit dan ketidaksinambungan kebijakan fiskal tidak akan terjadi dalam kebijakan fiskal Islam. Pencapaian Budget Surplus dan kesinambungan fiskal tentunya membutuhkan komitmen atau political will dari pemerintah serta kesadaran pemerintah dan dukungan semua pihak terkait akan potensi Ekonomi Islam dalam kebijakan fiskal.

Demi menghadapi kekurangan sumber pembiayaan di masa mendatang, mulai dari sekarang pemerintah harus mulai mengupayakan peningkatan Zakat melalui dukungan penuh terhadap kebijakan Zakat dan maksimalisasi lembaga resmi badan amil zakat (BAZ), lembaga amil zakat atau yayasan amal lainnya. Dengan demikian, efisiensi ekonomi pun tak diragukan lagi akan meningkat, atau paling tidak, akan lebih terjaga. Bila mencontoh manajemen zakat Rasulullah, bukan mustahil angka-angka potensi di atas bisa terwujudkan. Jika itu terjadi, maka zakat akan benar-benar berfungsi sebagai instrumen fiskal Islami, yang akan sangat membantu keuangan Negara dan kebijakan menaikkan BBM dapat dihindari apabila terjadi budget surplus.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 1.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis saat ini menjadi asisten dosen dan peneliti di department accounting International Islamic University Malaysia (IIUM), di luar aktivitas akademik aktif sebagai pengurus Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Chapter Malaysia dan Islamic Economics Forum for Indonesia Development (ISEFID).

Lihat Juga

Zakat Sebagai Solusi Masa Depan BPJS Kesehatan

Figure
Organization