dakwatuna.com – Pesawat Boeing 747-400 milik penerbangan Saudi Airlines mendarat mulus di Bandara Prince Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah. Kulihat jam-ku: pukul 16.20 WIB. Setelah terbang selama hampir sepuluh jam, burung besi dengan 450 penumpang ini mendarat di kota suci Madinah. Di antara penumpang itu, kulihat wajah seorang alim yang sangat sering tampil di TV, ya dialah Professor Quraish Shihab. Bersama ratusan jamaah umrah ini, beliau berbaur dalam antrian sejak di bandara Soekarno – Hatta tadi subuh. Kami berangkat dari Jakarta jam 07.00pagi dan baru tiba pukul 12.20 Waktu Arab Saudi atau 16.20 WIB.
Airport Madinah memang tak seramai King Abdul Aziz International Airport di Jeddah. Pemeriksaan imigrasi juga tak seketat di Jeddah. Begitu keluar bandara, angin sisa-sisa musim dingin berhembus. Sejurus kemudian, saya teringat ucapan Rasulullah tentang kota ini. Jika ada seseorang yang mengeluh pada Rasulullah SAW karena sakit atau luka, beliau meletakkan tangannya di tanah kemudian mengangkatnya (sambil berkata): Dengan Nama Allah, tanah kami yang baik ini, semoga dapat menyembuhkan orang-orang yang sakit di antara kami dengan izin Tuhan kami (Shahih Muslim). Debu yang dimaksud dalam hadits ini bersifat umum dan berlaku di seluruh Madinah, sedangkan riwayat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah debu Shu’aib di Bathan adalah dhaif (lemah).
Subhanallah, betapa mulianya kota ini. Pantas dia dinamakan Madinatur rasul, kota Rasulullah. Kami menuju hotel tempat kami menginap; New al-Ansar Diamond di kawasan ring ke-tiga kota ini. Tata kota Madinah memang sangat mudah dihafal. Setiap hotel dibagi berdasarkan jalan lingkaran (ring). Ring satu ada hotel-hotel bintang seperti Obroi, Movenpick, Hilton dan lainnya. Ring dua hotel sekelas di bawahnya. Demikian seterusnya. Jadi, jika Anda hendak umrah, tanyakan saja pada penyelenggara, di ring berapa hotel kami. Bila dikatakan di luar ring empat, dapat dipastikan hotelnya akan jauh dari Masjid Nabawi.
Sesungguhnya, bangunan hotel di kota ini relatif sama. Tinggi dan luasan hotelnya pun sama. Yang membedakan adalah manajemen pengelolanya. Hotel-hotel berbintang dikelola oleh manajemen internasional seperti Obroi, Movenpick dan Hilton. Padahal, ukuran kamarnya relatif sama.
Makan daging unta membatalkan wudhu
Madinah adalah kota Rasulullah. Secara fiqih, kota Madinah sangat dominan mazhab Hambali. (pengikut imam Ahmadbin Hanbal). Di kota ini, kata Imam Hanbali, perilaku para sahabat nabi dapat menjadi hujjah fiqhiyah. Maksudnya, perilaku sahabat dapat menjadi alas pembentukan fiqih Islam.
Masyarakat penganut Hambali cenderung literalis dalam memahami hadits Nabi. Ada satu kejadian, di mana Rasulullah SAW ditanya, “apakah kami harus berwudhu setelah makan daging kambing.” Rasulullah SAW menjawab, “Jika kau suka, (silakan) berwudhu, jikapun tidak (tak apa).” Sahabat itu kemudian bertanya lagi, “apakah kami harus berwudhu setelah makan daging unta.” Rasulullah menjawab, “Ya.”
Berdasarkan teks hadits ini, penganut Mazhab Maliki dan Hambali mengatakan bahwa mengkonsumsi daging unta membatalkan wudhu. Mereka mengambil pada teks hadits Nabi yang berbunyi demikian. Sementara mazhab Hanafi dan Syafi’i menyatakan tidak membatalkan wudhu. Maksud dari hadits itu, kata mereka, adalah karena mengkonsumsi daging unta cenderung menaikkan suhu tubuh, membuat mudah buang angin. Itu sebabnya Nabi mengatakan wajib wudhu setelah makan daging unta. Pendapat mana yang paling shahih? Wallahua’lam.
Saya tidak pernah makan daging unta, dan tak kuasa untuk mencobanya. Mungkin juga sebagian besar masyarakat Indonesia. Di Madinah ini, konon, catering menyediakan gulai unta meski sampai hari ini saya belum melihatnya. Saya kira karena daging unta panas, — dan mudah membuat penikmatnya pergi ke belakang – maka ia adalah penyebab batalnya wudhu.
Hajar Jahanam, Mas? Begini!
Agenda hari kedua adalah ziarah keliling kota Madinah. Meski telah seringkali mengikuti paket ziarah seperti ini, saya selalu tertarik untuk merekamnya dalam memori catatan perjalanan. Mengapa? Sebab, Meski Rasulullah SAW lahir di kota Mekkah, perjuangan fisik beliau SAW sesungguhnya terjadi di Madinah. Rasulullah SAW tercatat melakukan 30 kali peperangan selama bermukim sepuluh tahun di Madinah. Perang paling monumental tentu saja perang Badar, Uhud, Khaibar dan Khandaq. Meski yang disebut terakhir, — perang Khandaq – sejatinya hanyalah psywar (perang urat syaraf) yang tak melahirkan pertumpahan darah.
Pagi-pagi sekali jamaah sudah bersiap. Bus pun datang relatif tepat waktu. Sopirnya ternyata orang Bojonegoro. Saya bertanya berapa lama sudah bekerja di Madinah, dengan enteng dia menjawab, “baru empat tahun, Pak.” Empat tahun baru?
Sejurus kemudian, bis sudah dipenuhi jamaah. Seperti umumnya ziarah kota (city tour), kali ini kami akan dipandu oleh Mas Zubair, mahasiswa Indonesia asal Manado yang tengah menimba ilmu di Universitas Islam Madinah. Saya selalu senang melihat mahasiswa seperti Mas Zubair ini. Di sela kesibukan kuliah dan menuntut ilmu, dia masih sempat mengais rezeki. Beginilah seharusnya para mahasiswa. Tidak melulu menunggu kiriman dari orang tua.
Sebelum bis berangkat, seorang pedagang asongan naik ke bis. Jangan dikira ini pedagang asongannya orang Arab. Bukan. Ini khas Indonesia, yang naik ke bis pun orang Indonesia. Dari logatnya bicara, sepertinya dari sekitar Jawa Timur. Dia menawarkan hati unta. Konon, hati unta dapat menjadi penawar atas berbagai penyakit, terutama asma.
Terus terang, saya paling tidak tertarik dengan model dagangan begini. Soalnya sederhana. Tak pernah ada penelitian tentang hati unta sebagai obat asma. Lagi pula, caranya berjualan persis pedagang asongan di terminal Baranangsiang Bogor. Tiba-tiba saja di pangkuan kita ada dagangannya. Minat juga nggak kok.
Saya mengembalikan sekantong hati unta seraya mengucapkan maaf dan terima kasih. Bapak itu tersadar bahwa saya kurang suka dengan dagangan hati unta ini. Tapi, kemudian, dia mengeluarkan dagangan lainnya. Terlihat sembunyi-sembunyi menawarkannya. “Mas, hajar jahanam… Begini!” Hah!
Kali ini pedagang itu menawarkan sambil mengangkat ibu jarinya. Menunjukkan oke punya. Aduh, Pak. Jauh-jauh ke Madinah masa mencari barang beginian. Dia nyerocos menjelaskan kehebatan hajar jahanam. He… dari nama obatnya saja sudah seram: “batu neraka”. Mengapa sih, obat kuat harus dijual di Madinah. Setelah berkali-kali membujuk saya, dengan halus saya katakan pada penjual “batu neraka” itu bahwa saya datang umrah sendirian, bukan untuk belanja obat kuat. Dia lalu paham dan pergi. He…
Objek ziarah yang pertama kami kunjungi adalah pemakaman Baqi. Di kompleks pemakaman ini dimakamkan para istri dan sahabat Nabi, termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Sedangkan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dimakamkan berdampingan dengan Rasulullah SAW.
Pemakaman Baqi’ pada awalnya adalah pemakaman umum untuk semua pemeluk agama, termasuk pemeluk Yahudi. Maklum kota Madinah sebelum kedatangan Rasulullah SAW adalah kota kaum Yahudi yang bernama Yatsrib. Baru pada era Dinasti Ummayah, Baqi’ dikhususkan bagi kaum muslimin saja, terutama setelah kuburan Utsman bin Affan diletakkan berdekatan dengan kuburan kaum Yahudi.
Pemakaman Baqi’ juga disebut sebagai Jannatul Baqi’ atau Baqi’ul Qarqad yang berarti “kebun dari pohon Boxtrhorn”. Mungkin di tempat itu pada awalnya banyak pohon Qorqod sehingga, dalam hadits, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa pada akhir zaman Yahudi banyak menanam pohon Qorqod (Boxtrhorn) itu. Jadi, pohon Qorqod adalah pohon kuburan yang tumbuh di Madinah sejak sekian abad lalu.
Kini, Baqi’ tentu saja tandus. Tak ada batu nisan pada kuburan kecuali batu-batu sebesar kepalangan tangan yang menandakan adanya kuburan di bawah sana. Dari kejauhan, kami melihat peziarah Iran asyik bergerombol di Baqi’. Saya tidak tahu persis mengapa mereka senang menziarahi Baqi’. Mungkin, sekali lagi mungkin, sebab di dalamnya terdapat kuburan Fathimah, putri Rasulullah SAW, yang menjadi idola kaum wanita Syiah Iran.
Bukit Uhud
Setelah selesai di Baqi’, kami melanjutkan perjalanan ke kebun kurma. Sesungguhnya, kebun kurma dimaksud lebih merupakan pabrik produksi kurma. Kami menuju perkebunan Abu Ayman. Saya tak mau bercerita panjang tentang belanja kurma, sebab – tahu sendirilah – orang Indonesia paling senang jika belanja, dan lebih senang lagi jika boleh mencicipi barang belanjaannya.
Untunglah, para pedagang di perkebunan kurma ini tidak ambil pusing. Mereka asyik saja saat ratusan jamaah umrah Indonesia seakan menjarah kurma-kurma mudanya itu. Terus terang, saya lebih tertarik untuk menceritakan kurma-nya. Sebab, kurma-kurma di Madinah dikenal top, bahkan – dalam suatu hadits – Rasulullah mengatakan, “barang siapa yang memakan tujuh butir kurma (ajwa) pada pagi hari, dia tidak akan keracunan atau terkena sihir hingga malam hari.”
Kurma sesungguhnya adalah makanan pokok (staple food) orang-orang Arab zaman dulu, jauh sebelum Islam datang. Mereka tak mengenal nasi dan gandum. Seperti halnya orang-orang Yunani yang menjadikan buah zaitun dan orang–orang Romawi menjadikan buah tiin sebagai makanan utama mereka. Karena itu, kita mendapati ayat Al-Qur’an tentang buah tiin dan buah zaitun, sebab kedua buah itu sudah menjadi makanan pokok suatu kelompok masyarakat di zamannya.
Kembali pada kurma, bagi jamaah umrah (dan haji), kurma favorit untuk oleh-oleh biasanya kurma ajwa. Sering dibilang sebagai “kurma Nabi”. Kurma jenis ini harganya mahal. Bisa mencapai 120 riyal per-kilo. Ajwa sebetulnya adalah nama sebuah lembah (wilayah) di Madinah. Dari lembah ini memiliki produksi kurma yang bagus, dan kebetulan, digemari Nabi.
Selesai dari kebun kurma, kami menuju bukit Uhud. Sejatinya, bukit Uhud sudah hampir rata dengan tanah. Setiap kali melihat Uhud, saya teringat heroisme yang ditunjukkan oleh salah satu sahabat Nabi. Ya, dia adalah Thalhah bin Ubaidilah. Pada perang Uhud, 70 sahabat Nabi gugur. Bahkan, Rasulullah SAW sudah terdesak hingga beliau terus naik ke bukit Uhud. Di saat demikian, ada dua sahabat nabi yang terus setia menjaga beliau. Salah satunya adalah Thalhahbin Ubaidillah.
Pada detik-detik kritis itu, Thalhah berhasil mengalahkan sepuluh orang kafir Mekkah yang mengejar Rasulullah SAW. Jika disebut perang Uhud, Abu Bakar selalu mengatakan, “itu perang Thalhah.” Ya, demikianlah, sebab Rasulullah SAW berkata, “Barangsiapa yang ingin melihat seorang syahid dan masih berjalan di atas muka bumi, lihatlah pada Thalhah.”
Bahan Bakar Minyak yang sangat murah
Setelah tiga malam berada di Madinah, agenda hari ini adalah perjalanan umrah ke Mekkah. Inilah inti dari perjalanan ibadah kali ini. Ya, umrah. Sebagian jamaah sudah mulai bersiap-siap. Koper sudah dirapikan. Belanja selama di Madinah mulai dikemasi. Ziarah ke makam Rasulullah SAW untuk pamitan pun sudah dilaksanakan. Secara fiqih, tak ada “pamit pada Nabi”, tapi kalau kita sedang di Madinah, dan mau pergi meninggalkan kota itu, rasanya tak sempurna jika tak ziarah dulu ke makam Rasulullah SAW.
Perjalanan ke Mekkah akan ditempuh dalam waktu enam jam. Jarak Madinah – Mekkah sekitar 450 KM. Namun, para supir di sini dimanjakan oleh jalanan yang mulus, tidak macet (bukan seperti tol dalam kota Jakarta) dan harga bahan bakar yang murah.
Harga solar dijual dengan sangat murah. Satu riyal Saudi dapat membeli empat liter solar. Bensin pun dijual dengan harga relatif murah. Satu riyal dapat membeli dua setengah liter. Kualitas bensinnya di atas pertamax, bro.
Sopir yang mengemudikan bus rupanya orang Bandung. Asyik-lah, sepanjang perjalanan dia berbagi informasi seputar seluk beluk dunia persopiran di Saudi ini. Kang Pepen, berangkat ke Mekkah sekitar empat tahun lalu. Awalnya dia sopir bis PPD. Menurutnya, sejak ada trans-Jakarta, PPD menurun drastis. Maka, dia banting setir. Buru-buru menghubungi familinya yang ada di Saudi Arabia ini untuk mendapatkan pekerjaan barunya. Subhanallah, sebuah perjuangan yang tidak ringan, sebab dia hanya pulang dua tahun sekali.
Di sela-sela talbiyah (terutama saat jamaah umrah mulai tertidur), saya asyik ngobrol dengan sopir. Menurutnya, mengemudi di Saudi bukan sesuatu yang sulit, meski pada awalnya dia harus berlatih agar terbiasa mengendarai mobil stir kiri. Maklum, aturan lalu lintas di Saudi Arabia ini adalah lajur kanan.
Masjidil Haram yang tengah direnovasi.
Labaik Allahuma Labaik…. Sampailah kami di Mekkah. Ketika mobil mengakhiri jalur cepat dan masuk ke jalur kota, hal yang pertama terlihat adalah jam besar warna hijau di puncak gedung pencakar langit, Zam-Zam tower. Sebenarnya, nama gedung itu bukan Zam-Zam tower, tetapi oleh masyarakat Indonesia dikenal demikian. Kompleks ini bernama asli Abraj al-Bait, ia merupakan kompleks hotel dan shopping mall yang merupakan wakaf dari raja Abdul Aziz. Tertulis dengan jelas di bagian atas gedung itu. Kompleks ini sendiri dibangun oleh Saudi Bin laden Group, raksasa kontraktor Arab Saudi.
Sesampainya di Mekkah, kami langsung tawwaf. Sebagian jamaah langsung sujud syukur ketika pertama kali melihat Ka’bah. Ya, sungguh mengharukan saat pertama melihat Ka’bah. Betapa tidak, inilah kiblat yang sehari semalam menjadi acuan shalat lima waktu kita. Betapa tidak, inilah rumah ibadah paling tua yang ada di muka bumi. Betapa tidak, inilah kiblat yang dibangun sejak zaman Nabi Adam, ditinggikan oleh Nabi Ibrahim dan diteruskan oleh Rasulullah SAW.
Mulanya, kami berfikir untuk mendorong jamaah yang menggunakan kursi roda di lantai dua.
Rupanya, renovasi Masjidil haram membatalkan hal itu. Masjid tengah direnovasi hingga lantai dua terputus. Pada bagian atas sekitar Sofa-Marwa kini dirombak habis, terus ke bagian atas arah (dulu) Sofitel. Perluasan ini nampaknya untuk menampung jamaah haji yang tiap tahun terus meningkat.
Secara fiqih, perluasan Masjidil haram memang mengharuskan ijtihad para ulama. Bayangkan, tempat sai kini diperlebar (karena tidak mungkin diperpanjang). Bayangkan jika dua juta orang di musim haji bersai di tempat yang kecil. Sesuatu yang dapat menimbulkan korban jiwa.
Dalam hal ijtihad ini, para ulama Saudi tergolong radikal. Tempat jamaraat (lemparan batu) di sekitar Mina juga sudah sangat lebar. Berbeda sekali dengan tahun 90-an di mana “setan” yang dilemparinya masih kecil. Kini, “setan”nya sudah besar, hingga dari arah mana saja jamaah dapat menyambit tiang jamaraat itu.
Harga rupiah pun jatuh
Bagi saudara-saudara saya yang akan menunaikan ibadah ke tanah suci, sebaiknya membeli mata uang dollar atau Saudi riyal di Indonesia. Jika Anda membawa rupiah, terlalu sakit untuk menukarkannya di Money Changer (sharf) Saudi. Mereka membeli rupiah satu juta dengan 360 riyal. Padahal uang sebanyak itu bisa kita belikan dollar di Jakarta sebanyak 105 dollar. Jika uang dolar itu Anda jual di Saudi, Anda bisa dapat 380 riyal. Lumayan lho, 20 dollar selisihnya, bisa buat beli satu baju ghamis Maroko atau beli minyak wangi hajar aswad sebagai oleh-oleh.
Kali ini, kami menginap di hotel Ad-Dzahabi, kawasan Misfalah. Jarak antara hotel dengan Masjidil haram sekitar satu kilometer. Satu kilometer itu jauh jika di Jakarta. Sebab, kita terbiasa dengan kendaraan alternatif. Becak, angkot dan ojek. Di Mekkah, satu kilometer adalah jarak yang sangat tolerable. Kami berjalan kaki dari hotel ke Mekkah seperti tak pernah ada masalah. Barangkali, salah satu faktornya, adalah semangat yang memotivasi setiap jamaah untuk shalat di Masjidil Haram. Dalam satu haditsnya, Rasulullah SAW diriwayatkan pernah berkata, “Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi), bernilai seribu kali (dibanding masjid lain), dan shalat di Masjidil Haram bernilai seratus ribu kali dari tempat lainnya.” Bayangkan, seratus ribu kali!
Sesungguhnya, hotel-hotel di Mekkah ini menjadi semakin jauh sejak Masjidil Haram terus diperlebar. Hanya hotel-hotel bintang lima saja yang sangat dekat dengan Masjidil Haram. Hotel itu, antara lain, Darut Tawhid Interconinental Hotel, Hotel Hilton, dan Kompleks Zam-Zam Tower. Semua hotel-hotel yang saya sebutkan itu adalah hotel-hotel bintang lima. Harganya pun pasti berbeda dengan hotel-hotel bintang empat atau kelas melati.
Maka, jika Anda berangkat umrah dengan biaya minimalis, lalu dijanjikan akan menginap di hotel bintang lima, percayalah bahwa semua itu hanya janji kosong.
Umrah dan Haji sebagai industri.
Ibadah umrah (dan haji) kini telah menjadi industri pariwisata yang tak pernah sepi. Diakui atau tidak, bagi kerajaan Arab Saudi, devisa yang didatangkan dari umrah (dan haji) sungguh besar (meski tidak signifikan untuk neraca keuangan negara itu). Setiap tahun, ada sekitar seratus ribu orang Indonesia menunaikan ibadah umrah. Bayangkan jika setiap orang membelanjakan lima ratus dollars, berapa devisa yang didapat oleh kerajaan Arab Saudi.
Umrah dan haji adalah industri. Jika industri itu dipahami sebagai bagian dari menuju kenyamanan beribadah, tentulah tak ada masalah. Bahkan, dalam doa yang kita lafalkan untuk kemabruran haji, antara lain kita melafalkan, “perdagangan yang tidak merugi.” Artinya, memang sejak awal umrah dan haji memiliki potensi industri pariwisata.
Demikian catatan singkat ini, semoga bermanfaat.
Redaktur: Lurita Putri Permatasari
Beri Nilai: