Topic
Home / Narasi Islam / Hidayah / Pertemuan Dua Bahu

Pertemuan Dua Bahu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Masjid Cheonan (cheonanmasjid.wordpress.com)

dakwatuna.com – Tak terasa, hari ini adalah hari Jumat ke-2 dalam catatan Ramadan tahun kedua saya di Korea. Saya meninggalkan tanah air menuju Korea tepat pada tanggal 20 Ramadhan 1430 H. Tinggal di negara minoritas muslim semacam Korea, tampaknya sudah menjadikan saya terbiasa sibuk dengan aktivitas sendiri. Tak terkecuali di hari Jumat kali ini. Saya memulai hari ketika para tetangga yang sebagian besar mahasiswa lokal masih asyik bermain peran dalam mimpi mereka. Calon penerus bangsa Han tersebut masih terbuai nyaman di balik selimut tebal dan beralas kasur empuk. Ternyata angin bulan September cukup berhasil meninabobokan seluruh anak manusia bermata sipit itu hingga pukul 8 pagi. Kadang kala saya juga mengikuti kebiasaan mereka untuk sekedar menghangatkan badan sembari menunggu sang raja siang. Tak jarang saya juga kemudian ikut kembali tertidur, lepas tertunainya shalat subuh, terlebih jika hawa dingin mengepung apartemen, pertanda musim dingin sudah mampir di depan beranda iklim Korea.

Salah satu nikmat mahal yang saya jumpai di setiap hari Jum’at adalah kebebasan dan kepercayaan berupa hak mengatur waktu secara mandiri dari Prof agar kewajiban masuk dan bekerja di lab. tidak mengganggu waktu shalat Jumat. Tak semua WNI muslim bisa memperoleh nikmat satu ini. Bisa dikatakan shalat Jumat empat kali sebulan merupakan satu dari sekelompok barang mahal yang masuk dalam daftar panjang cerita pahit turun temurun para senior muslim selama tinggal di Korea. Alhamdulillah, Allah menjadikan saya satu dari beberapa orang yang memperoleh nikmat ini.

Setelah menyelesaikan semua agenda penelitian, saya bersiap diri untuk berangkat menuju masjid Cheonan guna melaksanakan shalat Jumat berjamaah. Alhamdulillah. Dengan mengendarai sepeda motor milik Lee yang saya diberi izin untuk menggunakannya. Jarak tempuh kampus-masjid yang biasanya 20 menit dengan bus, kali ini mampu disingkat menjadi 10-15 menit saja.

Suasana masjid telah ramai. Beberapa brother Kyrgistan yang cukup saya kenal sudah memenuhi shaf bagian depan. Beberapa jamaah terlihat khusyuk membaca Al-Quran dan mendirikan shalat sunnah. Sedangkan sebagian brother Pakistan yang berperan sebagai tuan rumah tampak sibuk menyiapkan senjata wajib musim panas: kipas angin berukuran jumbo untuk mengusir gerah yang dibawa angin. Suhu siang hari di Korea akhir-akhir ini cukup tinggi. Beberapa ulasan berita ramalan cuaca melaporkan bahwa suhu luar ruangan sempat mencapai angka 35 derajat celsius. Padahal menurut Prof saya, akhir Agustus semestinya merupakan waktu tutup buku bagi musim panas.

Beberapa menit sebelum azan dikumandangkan, saya masih mengambil wudhu di ruang belakang. Di sana saya bertemu dengan seorang pekerja Indonesia yang terlihat baru saja tiba di masjid. Beliau terlihat masih mengenakan pakaian kerja. Dengan sedikit terengah-engah, sesaat setelah melemparkan pandangannya dengan cepat seperti seorang yang sedang mencari sesuatu dan tak menemukannya. Beliau segera berbalik arah meninggalkan ruang belakang menuju keluar. Saya tidak terlalu mengenal sosok pekerja tersebut meskipun beliau termasuk salah satu jamaah jumat aktif di masjid ini. Saya ingat betul jikalau jumat kemarin beliau datang terlambat. Beliau tiba sesaat setelah saya selesai melaksanakan shalat sunnah rawatib. Tanpa peduli dengan kesibukan para jamaah seusai shalat jumat berakhir, beliau melangkah menuju shaf pertama dan menunaikan shalat yang saya duga sebagi shalat Zhuhur pengganti.

***

Seperti biasa, selepas shalat jumat berakhir, para jamaah saling berkumpul menurut negara masing-masing. Meskipun tak jarang terlihat para jamaah akan saling berbaur lintas negara untuk sekedar bertegur sapa atau terlibat obrolan yang lebih panjang setelahnya. Tak terkecuali kami. Saya kembali bertemu pekerja tadi dan terlibat sedikit obrolan dengan beliau. Alhasil, saya tahu bahwa beliau bekerja di sebuah pabrik pengecatan yang berlokasi cukup jauh dari lokasi masjid meskipun masih berada dalam satu kota: Cheonan.

“Libur mas?”

“Tidak. Hari ini saya izin”

“Oh. Izin untuk shalat?”

“Bukan. Saya izin ke rumah sakit. Itu…. hmmmmm…. Rumah sakit apa ya?…. uhmm Dank…” ejanya dengan susah payah untuk melafazkan nama sebuah universitas dalam bahasa Korea

“Oh….Dankook Dehakyo1)” saya melengkapi tanpa diminta.

“Iya rumah sakit itu”

“Sakit mas?”

“Iya. Sepertinya mata saya ada sedikit gangguan. Pekerjaan saya mengecat terus-terusan. Meskipun selama bekerja sudah dilengkapi kacamata khusus. Saya merasa sudah terjadi sesuatu dengan mata akibat semburan cat yang terus menerus itu. Saya ingin ke rumah sakit untuk mengecek keganjilan tersebut dan meminta surat pernyataan bahwa mata saya bermasalah. Saya ingin pindah saja dari kerjaan sekarang”

“Ooooo” obrolan kami berakhir.

Tiba-tiba suasana hening ikut nimbrung mengisi posisi antara saya dan beliau. Saya berusaha mengetahui lebih jauh apa gerangan yang terjadi dengan mata beliau. Saya menatap lekat-lekat mata yang terlihat lelah itu. Ups, beliau menjadi salah tingkah dan berpaling melempar badan mengarah kepada jamaah lain yang kebetulan turut serta duduk melingkar bersama kelompok kami.
Seorang rekan mahasiswa datang seraya menjulurkan tangannya untuk berjabat dengan tangan saya. Tak perlu menunggu waktu lama, saya sudah terlibat diskusi dengan rekan Indonesia tersebut. Akhirnya waktu untuk kembali ke kampus tiba. Sebelum pamit meninggalkan mushalla, saya kembali menyapa pekerja tadi untuk menawarkan tumpangan. Kebetulan rumah sakit yang beliau maksud adalah rumah sakit milik universitas saya.

“Mau berangkat ke rumah sakitnya sekarang mas?” tanya saya kepada beliau sembari menyentuh pundaknya. Beliau terlihat lebih banyak diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Eehhh…Iya. Mas juga mau ke sana?. Mari kita naik taxi saja” jawab beliau sedikit terkejut.

“Klo mas mau. Mas bisa berangkat ke sana bareng dengan saya. Kebetulan saya bawa motor kemari”

“Oh gitu. Boleh, saya ikut”

Kami pun menyusuri trotoar yang menghubungkan masjid dan komplek pertokoan. Karena masjid tidak memiliki area parkir yang memadai, saya lebih memilih memarkirkan motor di tempat parkir khusus kendaraan roda dua yang terletak di sebuah komplek pertokoan tak jauh dari lokasi masjid.

“Saya ingin sekali kerja di sekitar masjid ini mas” sang pekerja memulai obrolan kami kali ini.

“Emang mas sekarang kerja di mana?. Bukannya sudah dekat?”

“Iya. Saya kerja masih di Cheonan, namun lumayan jauh mas, jalannya masuk-masuk, terpencil. Butuh waktu 1-1.5 jam dari tempat kerja saya ke mari. Saya ingin seperti teman-teman lain yang pernah saya temui. Di samping mereka dapat menghadiri lumatan setiap pekan, lokasi masjid pun dapat mereka jangkau dengan menggunakan motor. Dekat……” cerita beliau menggantung. Saya merasakan ada kerinduan besar yang tersembunyi di balik pernyataan beliau tersebut.

Sedikit menarik napas dengan berat. Mas pekerja tersebut melanjutkan apa yang sedang ia pikirkan.

“Saya muslim sendiri di tempat kerja mas. Capek batin. Mas tahu? Saya tuh azan, iqamat dan shalat sendiri. Kadang kontainer saya buka lebar-lebar pintunya. Saya katakan pada kupu-kupu atau apa aja yang saya lihat untuk masuk dan temanin saya shalat. Kadang saya juga baca buku dengan suara keras. Saya anggap saja semua baju-baju yang tergantung sebagai teman yang mendengar. Terasa capeknya mas jika kita sendirian. Untuk itulah saya ingin pindah. Pindah kerja ke tempat yang lokasinya lebih dekat dengan masjid serta ada teman muslim lainnya. Saya tidak mau seperti ini terus. Apa artinya banyak uang klo hati tidak tenang?” tutup beliau dengan sebuah kalimat retoris.

“Memangnya mas sudah pindah berapa kali?”

Beliau menjawab seolah tahu arah pertanyaan saya.

“Tiga kali mas. Artinya ini yang terakhir buat saya untuk bisa pindah. Saya berharap banget semoga Allah pilihkan saya tempat kerja yang paling baik. Entahlah. Kadang saya berfikir, banyak orang tinggal di dekat masjid atau punya teman muslim tapi tidak menyadari hal itu sebagai nikmat yang amat berharga. Mereka jarang sekali ingin pergi ke masjid untuk ibadah atau menjaga shalat untuk terus berjamaah minimal bersama teman muslimnya. Coba mereka tukeran saja dengan saya, ya mas?”

Saya merasa ditampar oleh pernyataan terakhir beliau. Rasa bersalah tiba-tiba hadir dalam hati saya. Ya….Allah. Engkau menegur saya melalui seorang pekerja yang baru saja saya kenal. Astaghfirullah.

Tak terasa kami telah sampai di parkiran motor. Setelah membuka kunci garpu dan menyalakan motor, kami berangkat bersama menuju rumah sakit Dankook University.

Sepanjang perjalanan mas pekerja itu berulang-ulang menukik saya dengan pertanyaan-pertanyaan polos seputar makna syukur. Bersyukur dengan kehidupan yang islami di tengah gurun gersang keimanan tanah gingseng. Bahkan kemudian pertanyaannya itu seakan menjadi pertanyaan yang mengadili diri saya sebagai makhluk yang kurang maksimal dalam bersyukur. Masya Allah. Saya tertohok. Jika saja saya tidak sedang menyetir motor kala itu, ingin rasanya saya sujud sesaat untuk melampiaskan rasa syukur saya karena telah dipertemukan dengan beliau. Rabb ampuni saya. Belum bisa saya bayangkan jika sederet pertanyaan tadi disampaikan oleh malaikat penghisab. Merugilah saya. Astaghfirullah. Tanpa saya sadari sebuah air bening terbit dari balik kelopak mata saya. “Allah…..ampuni hamba” bisik saya lirih. Benar-benar lirih dan nyaris tak bersuara karena hilang ditelan bunyi angin yang lari menepi diusir gaya laju moncong Honda. Tiba-tiba saya mengemudi motor menggunakan jubah haru saat itu.

****

Skuter kami sudah berada tepat di depan Rumah sakit. Sama sekali tidak terasa. Tiba saatnya kami berpisah. Beliau turun dari motor saya dan sembari bertanya.

“Oh iya mas, saya lupa, mas namanya siapa?”

“Oh iya…saya juga lupa. Saya Gagah dan mas?”

“Saya Triono. Terima kasih banyak mas atas waktu dan tumpangannya”

“Iya mas senang bisa membantu. Mudah-mudahan mas mendapatkan tempat kerja yang paling baik menurut Allah. Semoga sisa Ramadhannya bisa menjadi lebih baik mas, untuk saya juga”

“Iya mas, terima kasih sekali lagi”.

“Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikumsalam”.

Kami berpisah, dua bahu semakin menjauh. Sebuah bahu melesat membelah angin musim panas Cheonan di atas skuter pinjaman. Sedangkan satu bahu lainnya merasakan kesejukan buatan yang ditiup moncong-moncong mesin pendingin ruang tunggu rumah sakit. Allah mengatur pertemuan dan perpisahan kedua bahu.

***

Allah baru saja mempertemukan saya dengan seseorang yang menjadi pengingat saya di Korea kali ini. Orang yang nyaris saja tidak saya kenal namanya. Masya Allah. Terima kasih Allah. Terima kasih telah berkenan kembali mentarbiyah saya di bulan penuh berkah ini. Semoga engkau terima dan pelihara tobat kami. Amin.

(sebuah pengalaman yang luar biasa di sepotong waktu lepas shalat Jum’at)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (28 votes, average: 9.71 out of 5)
Loading...
seorang anak petani yang ingin menjadi hamba terbaik Rabb-nya

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization