Topic
Home / Berita / Internasional / Eropa / Pembantaian di Norwegia, Antara ‘Teroris’, Tudingan Prematur Terhadap Muslim, Hingga #blamethemuslims

Pembantaian di Norwegia, Antara ‘Teroris’, Tudingan Prematur Terhadap Muslim, Hingga #blamethemuslims

dakwatuna.com – London. Media-media Barat mendapat kritikan tajam. Kesimpulan awal mereka tentang adanya ekstremis muslim di balik pengeboman dan penembakan di Norwegia ternyata salah besar. Penggunaan istilah teroris pun menjadi perdebatan.

Diberitakan Reuters, Senin (25/7/2011), ketika peristiwa itu baru saja terjadi, sejumlah media sempat membuat spekulasi siapa pelaku tindakan keji yang menewaskan 93 orang tersebut. Di beberapa headline dan tajuk, tudingan pun mengarah pada kaum muslim, terutama kelompok garis keras Al-Qaeda.

Belakangan, pelakunya diketahui seorang fundamentalis Kristen bernama Anders Behring Breivik. Dia seorang pembenci muslim dan menganggap dirinya sebagai tentara perang salib yang besar. Dia mengaku memiliki misi untuk menyelamatkan orang-orang Kristen Eropa dari gelombang pengaruh Islam.

Nah, sebelum si pembantai itu ditangkap, media-media besar seperti The Sun sudah menuding muslim di balik peristiwa tersebut. Bahkan, media milik Rupert Murdoch itu sudah jelas-jelas menulis Al Qaeda di headline.

“Pembantaian Al Qaeda: Norwegia 9/11” judul banner media tersebut pada Sabtu, 23 Juli 2011.

Meskipun pelaku kemudian diketahui memakai seragam polisi dan berambut pirang, koran tersebut tetap menulis tersangka sebagai ‘Islam fanatik’ dan sang pembunuh diduga sebagai ‘orang yang berubah menjadi Al-Qaeda’.

Editorial Wall Street Journal juga ikut menulis: “Ketika kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad muncul di surat kabar Denmark pada musim gugur 2005 dan memicu kampanye besar-besaran jihad melawan Denmark, maka Perdana Menteri Anders Fogh Rasmussen menanggapi dengan pernyataan, “Kami merasa seperti kita Denmark telah ditempatkan dalam sebuah adegan dalam film yang salah” kepada mingguan Jerman Der Spiegel.”

Yang paling kontroversial adalah editorial media Amerika Serikat The Washington Post yang ditulis oleh kolumnis Jennifer Rubin, yang mengutip The Weekly Standard:

“Kita tidak tahu apakah Al Qaeda bertanggung jawab langsung untuk peristiwa hari ini, tetapi dalam semua kemungkinan, serangan diluncurkan oleh beberapa ‘ular naga’ jihad. Jihadis terkemuka telah meminta agar garis serangan ditujukan pada partisipasi Norwegia dalam perang di Afghanistan,” tulisnya.

Dia juga menambahkan, dalam analisis pribadinya:

“Selain itu, ada hubungan jihad di sini: “Hanya sembilan hari lalu, pemerintah Norwegia mengajukan tuntutan terhadap Mullah Krekar, seorang yang berafiliasi dengan Al Qaeda, yang dengan bantuan dari Osama bin Laden, mendirikan Ansar al Islam – sebuah cabang dari Al Qaeda di Irak utara pada akhir 2001,” sambungnya.

Kritikan pun bermunculan dari kalangan jurnalis. Terutama yang memandang tulisan-tulisan di atas sebagai sebuah penghakiman prematur.

“Istilah ‘tak bersalah sampai terbukti bersalah’ telah digantikan ‘bersalah sampai terbukti tak bersalah’ ketika menyangkut kaum muslim,” kata komentator Inggris kelahiran Irak, Adnan Al Daini, di www.huffingtonpost.com.

“Media yang bertanggung jawab harus berusaha untuk berbuat lebih baik. Nyawa tak berdosa mungkin tergantung padanya,” sambungnya.

Ivor Gaber, profesor jurnalisme politik di City University, London, melihat ada sebuah fenomena ‘kemalasan’ dan ‘kedengkian’ di kalangan media. Hal ini bisa dipengaruhi oleh insiden tertentu yang terjadi pada masa lalu dan untuk menyebarkan ketakutan.

“Kita menciptakan kepanikan moral karena media populer menebarkan ketakutan dari luar,” ujarnya. “Yang paling populer sekarang adalah teroris Islam, jadi itu hal yang cepat diangkat,” sambungnya.

Perdebatan pun muncul pada penggunaan istilah teroris. Beberapa media Eropa menyebut Anders Behring Breivik sebagai teroris. Sementara beberapa media Amerika Serikat konsisten menyebutnya pembunuh. Padahal, aksi Anders, berdasarkan beberapa analisis sudah menyerupai teror yang keji dari aksi kriminal apa pun. Bahkan Norwegia menjeratnya dengan UU Terorisme.

Sedangkan di dunia Twitter, hashtag #blamethemuslims jadi sorotan internasional setelah muncul menjadi trending topic. Bahkan #blamethemuslims bisa digolongkan trending topic terlama, karena hingga siang ini masih menjadi trending topic. Banyak pemilik akun twitter meminta pengelola Twitter menghapus hashtag tersebut karena khawatir berbau rasis. Namun dibalik hashtag tersebut, ternyata yang memulai adalah seorang muslimah bernama Sanum Ghafoor dengan akun twitter @strange_sanum.

Ia memulai hashtag #blamethemuslims dengan maksud sarkasme. Ia melihat bagaimana dunia internasional saat ini dengan mudah menyalahkan masalah-masalah terorisme dan keamanan pada kaum Muslim.

“Saya memulai tren #blamethemuslims untuk menggarisbawahi bagaimana menggelikannya semua orang menyalahkan kaum Muslim atas segala masalah di dunia,” kata Sanum.

Bagaimana pendapat Anda?

(mad/nrl/dtc/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (15 votes, average: 9.80 out of 5)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Kepolisian Diraja Malaysia Tangkap Pendana Kelompok Teroris ISIS

Figure
Organization