Topic
Home / Berita / Opini / Darsem Binti Dawud Tawar dan Problema Advokasi Hukum TKW

Darsem Binti Dawud Tawar dan Problema Advokasi Hukum TKW

Darsem binti Dawud Tawar, TKW asal Indonesia di Arab Saudi (Dok KBRI Riyadh)

dakwatuna.com – Darsem binti Dawud Tawar, seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Subang, Jawa Barat kini tengah menghitung hari di Arab Saudi. Ia telah divonis terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap majikannya, seorang warga negara Yaman pada bulan Desember 2007. Pengadilan Riyadh (Judex Juris) memutus hal tersebut pada tanggal 6 Mei 2009. Namun, atas usaha dan tawaran Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dengan melobi Lajnah Islah (semacam Komisi Yudisial) Riyadh dan Pejabat Gubernur Riyadh, Darsem akhirnya mendapatkan maaf dari ahli waris korban dengan kompensasi uang diyat (denda) sebesar 2 juta riyal atau sekitar Rp 4,6 Milyar. Sampai detik ini baru terkumpul dana 1 juta riyal. Masih kurang 1 juta riyal lagi bagi Darsem binti Dawud Tawar untuk bisa bebas dari penjara.

Perlu dicatat, dana 1 juta riyal yang sudah terkumpul itu adalah sumbangan dari seorang donator Arab Saudi yang tak mau disebutkan namanya. Sementara tenggat jatuh tempo pembayaran diyat-nya adalah enam bulan sejak kesepakan dihasilkan. KBRI memang masih bisa mengajukan permohonan tambahan waktu, namun jika tidak juga dipenuhi, Darsem dapat dihukum dengan dakwaan primer.

Sebelum lebih lanjut, perlu saya jelaskan di sini. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Arab Saudi, tindak pidana, berdasarkan deliknya, dibagi pada dua kelompok: Pidana had dan pidana ta’zir. Kelompok pertama artinya tindak pidana yang jenis dan ketentuan hukumannya diatur al-Qur’an tanpa ada hak intervensi manusia sedikitpun. Sedangkan ta’zir diatur oleh kerajaan berdasarkan masukan para ulama, pakar hukum dan masyarakat adat. Ada lima tindak pidana yang masuk kategori pertama: Pembunuhan, perzinaan, pencurian, perampokan dan mabuk-mabukan. Selebihnya adalah tindak pidana ta’zir.

Pidana had pembunuhan hukumannya adalah qisas. Artinya, jika si fulan terbunuh, pembunuhnya pun harus dihukum mati. Namun, berbeda dengan empat pidana had lainnya, keluarga korban pembunuhan dapat memberikan maaf berdasarkan aturan al-Qur’an pada surah al-Baqarah ayat 178. Bahkan, al-Qur’an menegaskan bahwa memaafkan merupakan keringanan dari-Nya. Allah berfirman, Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih”. Besaran diyat disebutkan dalam satu hadits Nabi, yaitu setara dengan seratus ekor unta. Jadi, jika seekor unta seharga 2000 riyal (sekitar 4,6 juta), maka Darsem binti Dawud wajib membayar 100 unta x 2000 riyal = 2.000.000 riyal. Itulah sebabnya keluar angka diyat sebesar 2 juta riyal tersebut.

Berdasarkan madzhab (aliran) Hanbali yang berkembang dan dianut di Arab Saudi, pembunuhan sendiri terkategori pada dua tingkatan: Qatl bil Amd (Pembunuhan disengaja / murder) dan Qatl ghair Amd (Pembunuhan tidak disengaja / manslaughter). Dua jenis pembunuhan ini dibedakan berdasarkan delik dan alat bukti. Tentu saja, hukumannya pun berbeda satu dengan lainnya. Sebagaimana hukum pidana kita, pembuktian materiil juga digunakan untuk merujuk apakah suatu tindak pidana pembunuhan tergolong qatl bil amd ataukah tidak. Maka, sesuatu dapat disimpulkan sebagai qatl bil amd bila, misalnya, berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi menuntun pada kesimpulan qadhi (hakim) telah terjadi tindak pidana.

Menyimak kasus Darsem binti Dawud ini, setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati. Pertama: Dalam tradisi Arab sebelum Islam, pembunuhan seringkali menyebabkan pertumpahan darah turun-temurun, antar satu kabilah dengan kabilah lain tanpa ada aturan yang jelas. Islam kemudian mengatur dengan hukum qisas. Artinya, hanya kepada pelaku pidana hukuman wajib diberikan. Tidak kepada anggota suku dan kabilahnya. Qisas itu berfungsi menciptakan kehidupan yang damai.

Karena itu pula, hukum Islam memberikan ruang pemaafan kepada pelaku sebagai ganti hukuman mati (qisas). Ketika sejumlah negara tengah berusaha menghapus pidana mati, Rasulallah SAW sudah mengingatkannya sekian abad lalu. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulallah SAW bersabda, “Allah tertawa melihat dua (jenazah) lelaki itu. Salah satunya adalah pembunuh, namun keduanya masuk syurga. Laki-laki satu ini berjuang di jalan Allah, lalu mati terbunuh (ia masuk syurga). Kemudian pembunuhnya itu bertaubat, dan masuk Islam lalu menemukan kesyahidannya (masuk syurga juga).” Isyarat hadits ini jelas, berikan ruang pemaafan kepada pelaku sebab boleh jadi, taubat akan membuatnya lebih baik. Untuk itu pula, hukuman qisas batal jika, misalnya, dari sepuluh ahli waris, ada satu orang yang memilih memaafkan terpidana.

Dalam hal pidana delik had ini, Rasulallah SAW mengatakan, “setiap pidana had batal jika ada keragu-raguan.”

Kedua: KUHAP Arab Saudi (Qanun al-Murafaat al-Jinaiyah) adalah manifestasi fiqh Hanbali yang dituangkan dalam bentuk undang-undang. Berbeda dengan KUHAP kita, Qanun al-Murafaat berisikan banyak sekali jurisprudensi. Maka, jika anda jadi lawyer litigasi, anda harus hafal ayat-ayat al-Qur’an, hadits, dan ribuan jurisprudensi yang telah berlangsung berabad-abad. Di sana, kekuasaan kehakiman menyatu menjadi bagian dari kerajaan. Bahkan, seorang Menteri Kehakiman bertindak sekaligus sebagai Ketua Mahkamah Agung. Karena itu pula, dalam kasus Darsem binti Dawud ini, Gubernur Riyadh sebagai kepala wilayah berperan dalam usaha pemaafan. Di Arab Saudi, Pengadilan Tinggi (Judex Juris) hanya ada dua. Satu di Riyadh dan satu lagi di Mekkah. Darsem mendapatkan pemaafannya di Riyadh.

Ketiga: sebagian besar kasus yang menimpa warga negara Indonesia adalah tindak pidana yang terjadi di ruang yang sangat privat. Kita tahu, para TKW kita bekerja di sektor domestik di mana payung hukum perlindungannya sangat rentan dan sulit. Pada kasus Darsem binti Dawud ini, misalnya, ia kukuh tidak melakukan pembuhan (qatl amd) melainkan sebagai usaha membela diri dari pemerkosaan (qatl ghair amd). Masalahnya, Locus delicti-nya adalah ruang privat yang pada masyarakat Arab tabu untuk dilakukan, misalnya, gelar perkara atau olah TKP secara terbuka kepada publik. Lebih jauh, kita tahu, masyarakat Arab sangat kental dalam beragama. Jenazah seorang muslim, misalnya, tak boleh diautopsi oleh dokter non-muslim. Pemeriksaan kepada saksi atau terdakwa wanita harus dilakukan oleh polisi wanita dan didampingi lawyer wanita pula.

Barangkali, kita patut belajar dari kasus Sarah Balabagan, TKW Phillipina yang menghadapi kasus serupa di United Arab Emirates enam tahun lalu. Ketika itu, ia telah divonis mati. Atas lobby Presiden Fidel Ramos, Syeikh Zayed bin Sultan an-Nahyan meminta keluarga besar korban untuk memaafkan. Dan pemerintah Phillipina pun menggalang dana untuk membayar uang diyat. Sarah Balabagan pun bebas. Semoga Darsem pun juga bisa bebas.

Wallahua’lam bis showab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (9 votes, average: 9.33 out of 5)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Dukung Aksi 112, Forjim: Stop Kriminalisasi Ulama

Figure
Organization