Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Surat Cinta untuk Ustadzah Yoyoh Yusroh

Surat Cinta untuk Ustadzah Yoyoh Yusroh

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Mawar Cinta untuk Ustadzah (doc-usb)

dakwatuna.com – Hari ini, Sabtu, 21 Mei 2011 bertepatan dengan 18 Jumadil Tsani 1432H, usai sudah tugas yang kau emban. Tunai sudah amanah yang selama ini kau jalankan. Oleh karenanya, Allah memanggilmu. Ia ingin kau menghadap kepada-Nya, membawa selaksa cinta, selaksa karya yang telah kau toreh dalam kurun waktu 48 tahun lebih 6 bulan.

Pagi ini, kau menghadapkan dirimu kepada pencipta-Mu, di sepertiga malam terakhir. waktu yang biasanya kau gunakan untuk menghamba, berdua dengan Allah, Pemeliharamu satu-satunya. Namun, karena safar, perjalanan, kau urung melakukan itu. Sebuah kecelakaan yang berujung pada ajal, menjadi sebab kepergianmu, menghadap Ilahi. Kala itu, kau baru pulang dari Universitas Gajah Mada, menghadiri wisuda buah hatimu. Tentunya, ada bahagia yang menyelinap di hati sucimu.

Di pagi yang masih buta, ketika aku tengah menggigil kedinginan lantaran udara, sehingga urung beranjak dari pembaringan, kau dijemput oleh Izrail. Sekali lagi, Untuk menghadapkan dirimu, kepada Sang Maha Suci.

Dan berselang jam setelahnya, sebuah kabar masuk ke ponsel, ketika Aku masih bersantai leha selepas tilawah, di Rumah Allah. Kabar yang menyesakkan, mengagetkan, namun harus diterima dengan lapang dada. Karena itu fakta, benar adanya. Kabar yang membuatku beristighfar sejadi-jadinya sembari melantunkan doa, “Semoga Allah mengampuni semua dosamu, menerima amal shalihmu dan menempatkanmu di tempat terindah di sisi-Nya. Amiin.”

Kabar itu seperti mimpi, karena begitu cepat terjadi. Bahkan seorang kolega bertanya heran, “Benar gak Mas? Jangan menyebarkan pesan yang belum jelas ah!” Aku terdiam. Dan memang bingung mau menjawab apa. Perasaanku, sama dengan yang ia alami. Hampir tidak percaya. Lalu, kupencet keypad ponselku, membalas pesan itu, “Mas, beginilah kematian mengajari kita. Ia datang dengan tiba-tiba, tanpa dikira oleh siapaun. Ia datang, tak perlu dijemput  dan pergi tak usah diantar. Ia datang dan pergi, sesuai kehendak Allah, Sang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan.”

Kemudian, satu persatu bayang tegar wajahmu berkelabat dalam pikirku. Di mataku, kau adalah wanita tangguh. Jika Allah meridhai, Aku ingin mempersunting wanita yang setangguh dirimu, atau lebih tangguh lagi. Walaupun, kusadari, layakkah aku mempersunting wanita yang setangguh dirimu? Ah, semoga saja Allah melayakkanku, Amiin.

Pertengahan tahun 2008 Masehi, dalam suatu acara penggalangan dana untuk saudara semuslim di Palestina. Itu adalah pertama kalinya Aku bersua. Tapi, aku seperti pernah bertemu denganmu sebelumnya. Tepatnya dimana, aku tidak tahu. Belakangan, kuketahui rasa itu bernama, TA’LIFUL QULUB. Bersatunya hati karena kesamaan aqidah.

Kau bagai singa kala itu. Semangatmu membakar jiwa yang kerontang karena kesibukan. Tilawah pas-pasaan, tahajud hampir tidak terjamah, hanya jama’ah di masjid. Itupun kualitasnya sangat rendah. Berangkat belakangan, pulang duluan. Padahal Nabi bersabda, “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling awal mendatangi masjid dan paling akhir meninggalkannya.” Tapi aku, kebalikan dari itu. Astaghfirullahal ‘Azhiim.

Dengan suara yang lembut namun perkasa, kau sampaikan kepada kami, “Saudara-saudara kita di Palestina,” Suaranya benar-benar perkasa, meruntuhkan tebalnya kabut dosa di hatiku.” Masih sempat melaksanakan qiyamullail dan hafalan Qur’an” Aku mulai tersentak, nampaknya Kau akan menyindirku. “ Padahal di kanan, kiri, depan dan belakang mereka adalah bom, ranjau yang sengaja di pasang oleh Zionis laknatullah dan siap meledak kapanpun”  Benar kan kataku. Ia menyindirku, telak. Aku tak berkutik. Seperti mati langkah. Aku hanya pasrah dan membiarkan mataku mengalirkan airnya, membasahi pipiku yang  lama tak menangis karena takut kepada Allah. Allahu Akbar walillahil hamd. “Sementara kita, yang nyaman, enak, damai dan tidak dilanda konflik bersenjata, dengan tanpa merasa bersalah meningalkan tahajud melupakan hafalan Qur’an dengan dalih yang remeh temeh,  sibuk bekerja.”  Lanjutnya berapi-api.  “Ya Allah, ampuni kelalaian kami selama ini.” Doaku kala itu.

Setelah itu, aku melihatmu dengan gigih berdakwah, menghadiri setiap kajian terkait Palestina dan Timur-Tengah. Bahkan, aku dibakar cemburu, ketika kulihat engkau berada di tengah pejuang Palestina. Ketika Kau berfoto bersama Ustadz Ismail Haniya. Perdana Menteri Palestina dari HAMAS, Harakatul Muqawwamah Al-Islamiyah. “Barakallahu fiik Bu, semoga Allah senantiasa menjagamu dan memanjangkan langkah dakwahmu.” Bisikku iri, ketika melihat gambar itu.

Kemudian, terakhir kali bertemu denganmu, akhir Maret 2011. Kau bersinergi bersama mentari membakar diriku. Mentari membakar kulit dan fisik, sementara Engkau membakar semangatku yang mulai lumpuh, dengan taujihmu. Luar Biasa!!! Suaramu masih sama. Lembut namun perkasa. Kau berhasil melelehkan air mataku, di waktu bersamaan, kau membuat jiwaku bergelora, semangat meluap berlipat-lipat. Allahu Akbar walillahil hamd!!! peristiwa ini, kucatat sebagai momen perpisahan kita di sini. Semoga Allah berkenan menjumpakan kita di tempat yang lebih baik di sisi-Nya. Amiin.

Pada kesempatan lain, dalam taujihmu, Kau pernah berkata, “Dan Kita akan bersama sama shalat berjama’ah di Masjidil Aqsha. Allahu Akbar walillahil hamd.” Kamipun menyambut kalimat itu dengan takbir serupa, dengan semangat dan visi yang sama , PALESTINA MERDEKA. Dan kini,  Kau lebih dulu menghadapkan diri kepada Sang Pencipta. Nampakanya, karena hal itu, Kau tidak bisa berjama’ah bersamaku di Al-Aqsha di dunia ini.

Baiklah Bu, nampaknya tak kan pernah usai jika kutuliskan semua rasaku. Aku telah menganggapmu sebagai Ibuku, Ibu seaqidah. Walaupun tidak pernah bersua secara khusus. Pun, Aku tak pernah berbicara denganmu secara langsung. Tapi, Aku akan berusaha, akan kulanjutkan semangatmu dalam berjuang. Semoga aku bisa menyusulmu ke Palestina, Jika Allah menghendaki.

Selamat jalan Bu, aku bersaksi bahwa kau adalah orang baik. Dan aku yakin, bahwa Allah Maha Menepati Janji. Semoga Kau lebih baik dari yang aku kira.

Jasadmu telah pergi. Tidak mungkin kujumpai lagi. Hanya foto-foto perjuangan yang kusimpan, sebagai kenang-kenangan. Kelak, akan kuberitahu anak-anak kau tentang dirimu, bahwa kau adalah MUJAHIDAH TANGGUH ZAMAN INI. Namun, benih semangat, benih perjuangan yang telah kau tanam, pasti akan bersemi, dan kelak berbuah. Beriring dengan kepergianmu, menemui Rabb Kita. Semoga Allah memberi husnul khatimah kepadamu, juga kepada kami semuanya.

Selamat jalan Bu, baik-baik di sana ya. Kami akan terus berjuang, semampu kami, hingga Islam benar-benar berjaya. Allahu Akbar walillahil hamd!!!

Tak terasa, ada bulir yang mengalir lembut.

Sabtu Pagi, 18 Jumadil Tsani 1432 H/21 Mei 2011 M

Redaktur: Samin Barkah, Lc. M.E

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (51 votes, average: 9.67 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis, Pedagang dan Pembelajar

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization