Topic
Home / Berita / Opini / Masjid Putih

Masjid Putih

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (virtualtourist.com)

dakwatuna.com – Bentukan lahiriah masjid-masjid saat ini, tidak lagi mengeluarkan umat dari suasana kemegahan dunia. Seperti tidak pula mengajak berpaling menuju keutamaan akhirat.

**

Saat ini, masjid yang memanjakan jamaah dengan kenyamanan, yang memanjakan dengan hiasan yang memabukkan mata, menjadi incaran umat. Untuk merasai kenyamanan ibadah bahkan untuk berkreasi (?). Padahal memakmurkan rumah Allah tidak semata menjadikannya sedap dalam pandangan mata. Meski memang kenyamanan dibutuhkan dalam beribadah, tapi bukankah masjid menjadi tempat kita meninggalkan kemegahan duniawi. Lantas, lihatlah masjid-masjid yang banyak di bangun pada zaman ini, adakah fungsi itu bekerja? Fungsi menambatkan hati umat kepada keutamaan akhirat dengan meninggalkan kefanaan megahnya dunia. Ke manakah fungsi itu?

Dahulu banyak ulama memakruhkan upaya menghias dan mengukir masjid. Karena hal tersebut digolongkan ke dalam hal yang menimbulkan tujuan yang dapat merusak kekhusyu’an orang-orang yang shalat. Umar RA, ketika dia memerintahkan pembangunan masjid, berkata “Lindungilah orang-orang dari tampias hujan. Janganlah kamu mewarnai (dinding) masjid dengan warna merah atau kuning sehingga dapat menimbulkan fitnah. “ (A’lamul Masjid, Az-Zarkasyi).

Kandungan tujuan syiar yang akhirnya menjadi kelabu. Terlalu memperturutkan apa-apa yang sedap biar senang hati umat tetapi akhirnya dunia yang jadi senjata salah-salah adalah permainan syetan. Mengkondisikan kemakmuran rumah Allah hanya dengan cara memperindah masjid-kah? Bukankah masih ada cara-cara syar’i lainnya?

Sayang, hati umat sebegitu nyaman dengan bangunan megah.

Beberapa masjid yang akhirnya menjadi simbol, tumbal berlomba-lombanya manusia bersaing kemegahan. Meski demikian, tetap ada masjid yang lahir dengan bentuk fisik tak menyalahi syariat dan secara ruh mampu mengajak kepada keutamaan akhirat.

Salah satunya masjid itu, saya menyebutnya masjid putih. Satu dari sekian tempat saya menempuh tarbiyah. Tidak megah tetapi sederhana saja. Langit atapnya bahkan terlihat kusam akibat hujan. Karpet sajadahnya tidak menyala-nyala. Menyejukkan jamaah hanya dengan beberapa kipas angin disudut-sudut. Subuhnya di sana ramai dengan jamaah bahkan saat lewat Ramadhan.

Di masjid itu selalu bising dengan lantunan Qur’an, karena selalu ada lingkaran pemelihara Al-Qur’anul Karim. Bahkan baru saja tadi (Minggu) pagi, masjid itu disesaki ratusan orang (melebihi kapasitasnya). Untuk hajat belajar mentadabburi Al-Qur’an bersama.

Untuk semua itu, ia (masjid) tidak perlu mendandani dirinya sedemikian megah. Tidak hendak berlebih-lebihan. Dengan begitu saja, dengan kesederhanaannya, masjid putih itu selalu membuat rindu. Rindu yang tidak salah alamat. Ya, tentu saja. Masjid itu selalu bisa memfungsikan dirinya tanpa salah alamat. Karena dia sendiri tidak palsu dengan memperhatikan bentuk lahir melulu.

Tidakkah masjid seperti itu lebih banyak dibutuhkan? Lebih harus ditumbuhsuburkan? Lebih harus jadi simbol keteladanan. Bukan hanya simbol kejayaan yang hambar.

(hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (24 votes, average: 9.25 out of 5)
Loading...

Tentang

pencinta kegiatan membaca

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization