Topic
Home / Berita / Analisa / Peristiwa Besar Sejarah Politik Modern Palestina (Periode 2006-2009)

Peristiwa Besar Sejarah Politik Modern Palestina (Periode 2006-2009)

1. Pemilu legislatif, Rabu 25 Januari 2006.

Pascakemenangan Hamas ada sejumlah reaksi:

dakwatuna.com – Mahmud Abbas: ”Dasar bagi pemilu adalah perundingan dengan pihak Israel dan solusi damai.” “Landasan bagi Otoritas Palestina adalah prinsip Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yaitu; Perjanjian Oslo, Keputusan-keputusan Liga Arab, Peta jalan damai, ide berdirinya dua negara (Palestina & Israel) dan penyelesaian problematika pengungsi Palestina sesuai keputusan PBB no. 194” (Ha’aretz, 27/1/2006)

Dalam jumpa pers di Damaskus, 28/1/2006 Kepala Biro Politik Hamas, Khalid Mish’al menekankan pentingnya menghormati pilihan rakyat Palestina dan tidak memberikan sanksi atas pilihan yang sudah ditentukan oleh mereka. Ia juga meminta agar Uni Eropa dan Amerika tidak memutus bantuannya kepada rakyat Palestina karena telah memilih Hamas. Mish’al beralasan karena mereka tengah dijajah oleh pihak Zionis Israel maka bantuan itu tetap berjalan, tidak dihentikan. Dalam kesempatan itu, Mish’al tidak terlalu kaget dengan hasil pemilu tersebut karena hal itu sudah direncanakan sejak berdirinya Hamas tahun 1987. Kemenangan Hamas ini adalah bentuk penghargaan kepada para syuhada Palestina, khususnya syuhada Hamas dan syuhada lainnya seperti Yaser Arafat, Abu Ali Mustafa, Fathi Shaqaqi dan lain-lainnya.

Mish’al menambahkan bahwa prioritas Hamas tertumpuh pada tiga hal; 1) reformasi total, 2) melindungan perjuangan perlawanan dan 3) kebijakan lembaga penentu keputusan Palestina adalah berdasarkan pada keikutsertaan politik, seperti di pemerintahan daerah, parlemen dan PLO.

Selanjutnya pihaknya, tambah Mish’al, akan berkoordinasi dengan Presiden Mahmud Abbas untuk membentuk pemerintahan koalisi, Hamas dan Fatah. (Sumber: http://www.palestine-info.info/arabic/books/2006/5_2_06_1/5_2_06_1.htm)

2. Pembekuan pemerintahan pimpinan PM Ismail Haneya.

Tanggal 29 Maret 2006 dibentuklah pemerintahan persatuan nasional Palestina (koalisi antara Hamas dan Fatah dengan faksi-faksi lainnya) dibawah pimpinan PM Ismail Haneya dan disumpah oleh Presiden Mahmud Abbas. Sejak dibentuknya pemerintahan koalisi ini, Abbas mengancam akan menggunakan hak-hak konstitusinya sebagai kepala negara untuk membekukan pemerintahan Haneya jika pemerintahan ini tidak melakukan perundingan damai dengan Israel dan mengakuinya sebagai entitas negara. Pada tanggal 10 Juni 2006, Abbas mengancam lagi untuk mengadakan referendum nasional berdasarkan dokumen inisiatif tahanan Palestina. Namun Hamas menilai langkah Abbas tidak konstitusional.

Tekanan Regional: pemerintah Mesir dan Yordania menolak kunjungan pejabat-pejabat pemerintah Haneya, seperti Menlu Mahmud Zahar. Pemerintahan Yordania beralasan bahwa Hamas merencanakan serangan ke sasaran-sasaran Yordania dan menyelundupkan bahan-bahan peledak ke wilayahnya. Sementara pemerintah Mesir, dibawah pimpinan Presiden Husni Mubarak terus melakukan langkah-langkah koordinasi dengan pihak Israel yang bertujuan melemahkan pemerintahan Hamas dan memperkuat posisi Mahmud Abbas.

Tekanan Internasional: setelah kemenangan Hamas, Israel membebukan mencairkan dana milik Palestina sebesar US$ 55 juta/bulan dan meminta masyarakat dunia untuk memboikot pemimpin Hamas dan pemerintahannya serta menolak orang asing yang mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Hamas tersebut. Tidak itu saja, Israel melakukan serangan darat dan udara. Selama serangan ini, Israel menahan 8 menteri Palestina, 21 anggota parlemen dan sejumlah kepala daerah yang ingin melumpuhkan pemerintahan Hamas.

Sementara itu, Uni Eropa dan Amerika menerapkan pemboikotan politik atas pemerintah Hamas. Dalam keputusannya tanggal 23 Mei 2006, Kongres Amerika membekukan bantuan untuk warga Palestina dan menyatakan bahwa bantuan tidak akan disalurkan kepada kelompok yang dikentarai sebagai kelompok teroris atau yang mendukungnya.

Dalam suasana yang serba sulit ini, secara ekonomi dan politik, Hamas dan Fatah berhasil mencapai melakukan kesepakatan tanggal 8 Pebruari 2007 di kota suci Mekkah dengan mediasi Arab Saudi. Atas hasil kesepakatan ini, dibentuklah pemerintahan koalisi jilid dua dibawah pimpinan PM Ismail Haneya dan dibantu oleh menteri-menteri dari Fatah, kelompok independen dan fraksi-fraksi parlemen Palestina.

Namun reaksi dunia atas pemerintahan koalisi jilid dua ini tetap tidak berubah. Amerika tetap memboikot menteri-menteri Hamas dan hanya mau berkomunikasi dengan menteri-menteri Fatah dan independen saja. Sementara Uni Eropa menggantungkan sikapnya kepada langkah-langkah pemerintahan ini sendiri.

Dengan kondisi yang semakin tidak jelas ini, membuat masa depan pemerintahan koalisi tidak jelas juga. Bahkan kondisi keamanan memburuk dengan meningkatnya kontak senjata antara Hamas dan Fatah di Jalur Gaza. Puncaknya pada tanggal 14 Juni 2007, Hamas menguasai keamanan Jalur Gaza dan menduduki pos-pos pertahanan milik Mahmud Abbas dan kelompoknya.

3. Pembentukan Pemerintahan Darurat

Kondisi ini memicu perpecahan dan ketegangan antara Hamas dan Fatah semakin meruncing. Puncaknya adalah dikeluarkannya dekrit presiden yang isinya adalah; pembekuan pemerintahan koalisi jilid 2 pimpinan Hamas yang baru berusia 3 bulan, pengumuman kondisi darurat dan pembentukan pemerintahan transisi darurat.

Pihak Hamas menolak dekrit itu dan mengatakan bahwa langkah Abbas illegal dan hanya menuruti dikte serta kehendak Amerika saja. Untuk itu, Hamas mempertahankan pemerintahan Haneya di Jalur Gaza.

Namun, langkah Abbas ini tentu mendapatkan dukungan dari sekutunya, Tim Kwartet (Amerika, PBB, Uni Eropa dan Rusia) dan Israel. Amerika sendiri berjanji akan mengakhiri boikot politik dan ekonomi jika pemerintahan darurat ini mulai bekerja. Sedangkan menlu-menlu Liga Arab mendukung langkah Abbas ini, namun mendukung parlemen hasil pemilu dan mengecam peristiwa Gaza.

Akhirnya, tanggal 17 Juni 2007 Abbas membentuk pemerintahan darurat di Tepi Barat dibawah pimpinan Salam Fayad tanpa mendapatkan persetujuan dari parlemen Palestina. (Sumber: http://www.aljazeera.net/NR/exeres/00C92DFD-F263-449C-84A4-CF0407038ED8,frameless.htm)

4. Blokade Gaza.

Dengan munculnya dua pemerintahan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, tekanan kepada Hamas di Jalur Gaza semakin kuat dari pihak Amerika dan sekutunya, Israel. Dan sangat disesalkan, blokade ini di-amini bahkan didukung oleh rezim Arab yang ada di sekitar Palestina. Alasan utama blokade ini adalah untuk melemahkan pemerintahan Gaza yang dipimpin oleh Hamas. Dalam wawancara dengan Aljazeera.net, Kepala Biro Politik Hamas, Khalid Mish’al mengatakan bahwa rakyat Palestina di Gaza berhak mendapatkan hak-haknya secara bebas tanpa dikekang, tanpa diblokade. “Jangan jadikan Gaza sebagai penjara besar,” tegas Mish’al untuk segera diakhiri blokade Gaza. Pihaknya, menurut Mish’al, tengah berupaya dengan beberapa pihak, termasuk dengan Mesir dan Otoritas Palestina(OP) pimpinan Mahmud Abbas, untuk mencari jalan keluar bagi penyelesaian mengakhiri blokade Gaza.

Namun pihak OP, yang dinukil dari harian Israel Ha’arets menyebutkan bahwa Mahmud Abbas menolak untuk diakhirinya blokade Gaza. Hal itu ia sampaikan saat bertemu dengan Presiden Amerika, Barak Obama di Gedung Putih beberapa waktu lalu. Abbas beralasan jika blokade Gaza ini diakhiri maka akan bisa meningkatkan popularitas Hamas di mata rakyat Palestina. (Sumber: http://alyaqaza.net/?q=ar/node/28)

5. Perang Gaza.

Berbagai cara telah dilakukan oleh Israel dan sekutunya untuk melemahkan Hamas, baik secara politik dan ekonomi. Namun tidak membuat Hamas menyerah dan menjadi lemah karena blokade itu. Bahkan dukungan dari rakyat Gaza semakin kuat kepada Hamas. Akhirnya Israel memutuskan untuk memilih opsi serangan militer, setelah sebelumnya mendapatkan restu dari rezim Arab, untuk menyerang ke Gaza. Perang yang dimulai dari tanggal 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009 telah menelan korban sebagai berikut:

1.500 syahid yang kebanyakan dari kaum wanita dan anak-anak

3.500 orang luka-luka dari pihak Palestina

Sementara di pihak Israel telah menyebab 49 serdadu Israel tewas ditembak oleh pejuang Palestina.

Dan target Israel dalam perang tidak pernah tercapai. Diantara target itu adalah:

1. Untuk melemahkan Hamas. Malah dengan adanya perang ini, popularitas Hamas semakin tinggi di mata rakyat Palestina.

2. Untuk memberangus semua yang namanya perjuangan perlawanan bersenjata. Saat terjadi perang rudal-rudal pejuang
Palestina tidak pernah berhenti. Bahkan pejuang Palestina mengatakan bahwa rudal-rudal yang dilesatkan ke wilayah Israel, saat perang, baru beberapa kecil saja, masih banyak yang mereka simpan.

Terkait perang ini, sejumlah sumber, seperti yang dinukil oleh harian al-Watan, Suriah, menyebutkan bahwa Mahmud Abbas merasa kikuk dengan informasi intelijen yang menyebutkan bahwa rencana serangan ke Gaza ini telah disiapkan di kantor Abbas di Ramallah. Bahkan lebih lanjut, menurut harian itu menyebutkan Abbas terus berupaya meyakinkan Israel dan pihak keamanan Arab dan internasional, dengan menyampaikan rencananya yang bertujuan untuk mengakhiri kekuasaan Hamas di Jalur Gaza. Dalam rencananya itu, Abbas juga meminta untuk dikirimkan pasukan penjaga keamanan internasional ke Jalur Gaza memantau keamanan di wilayah tersebut hingga terlaksananya pemilu legislatif dan presiden Palestina. (Sumber: http://forum.sh3bwah.maktoob.com/t181027.html).

6. Rekonsiliasi Nasional Palestina.

Benang-benang yang kusut ingin dirajut kembali oleh sejumlah pihak, agar rekonsiliasi nasional Palestina bisa terwujud. Khususnya antara dua faksi terbesar, Hamas dan Fatah dengan mediator Mesir. Namun berbagai upaya itu dilakukan tak kunjung menghasilkan apa yang diharapkan oleh semua pihak. Ada beberapa kendala, diantarannya:

1. Kendala internal, dimana masing-masing pihak, Hamas dan Fatah, tetap bertahan pada sikapnya masing-masing. Inti persoalannya adalah pihak Fatah ingin segera menanda-tangani draft usulan Mesir yang isinya menerima syarat-syarat dari Tim Kwartet (Amerika, Rusia, PBB dan Uni Eropa). Syarat-syarat itu adalah; menghentikan apa yang mereka sebut dengan “kekerasan”, mengakui Israel sebagai entitas negara dan menerima semua perjanjian yang pernah ditanda-tangani antara OP dengan pihak Barat (Baca: Amerika dan sekutunya). Sementara Hamas mau menanda-tangani draft usulan Mesir itu, tanpa ada syarat-syarat tersebut.

2. Kendala Eksternal; adanya veto Amerika. Utusan Amerika untuk Timur Tengah, George Mitchell, datang ke pihak OP dan mengatakan;”Jika Anda melakukan rekonsiliasi dengan Hamas, maka kami akan menyetop bantuan ke Anda,” kata Mitchell seperti yang ditirukan Kepala Biro Politik Hamas, Khalid Mish’al dalam wawancara dengan TV Aljazeera dalam acara Bila Hudud. Ancaman yang sama juga disampaikan kepada pihak mediator, Mesir. “Rekonsiliasi ini tidak bisa diterima,” lanjut Mitchell seperti yang ditirukan Mish’al. (Sumber: http://www.aljazeera.net/NR/exeres/2EB2591D-1C1B-40D3-8B26-58C467CFE8FB.htm)

7. Serangan ke Kapal Mavi Marmara.

Setelah perang di Gaza, simpatik dunia kepada wilayah yang terjajah itu semakin kuat. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya langkah yang diambil oleh masyarakat dunia untuk mengakhiri blokade Gaza yang sudah berlangsung 4 tahun. Salah satunya adalah kapal Freedom Flotilla (armada kebebasan) yang digalang oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) Turki, IHH. Laporannya sebagai berikut:

Pagi dini hari, Senin (31/5/2010) tepatnya pukul 04.15 (waktu perairan Laut Tengah) tentara Israel, dari pasukan khusus (commandos), menyerang kapal Mavi Marmara “Freedom Flotilla” membawa misi kemanusiaan untuk menyerahkan bantuan obat-obatan dan makanan bagi penduduk Gaza yang sudah lebih dari 3 tahun menderita akibat blokade. Akibat serangan itu, 19 orang syahid, kebanyakan dari Turki dan 50 lainnya luka-luka, termasuk relawan asal Indonesia. Kapal yang berangkat dari Turki, membawa 750 relawan dari 50 negara adalah kapal sipil yang tidak membawa alat-alat senjata, seperti yang dituduhkan oleh pihak Israel.

Nicaragua Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Israel

Republik Nicaragua mengumumkan pihaknya sudah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sebagai reaksi atas serangan pasukan negara zionis itu terhadap “Armada Kebebasan” misi kemanusiaan menembus Jalur Gaza yang mengakibatkan sejumlah relawan meninggal dan puluhan lainnya luka-luka.

Dalam keterangan kepresidenan yang dibaca Presiden Daniel Ortega menjelaskan bahwa Nicaragua langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. pemerintah Nicaragua yang dekat dengan kiri radikal menegaskan bahwa serangan Israel itu tidak seimbang bila dibandingkan dengan delegasi kemanusiaan. Keterangan menegaskan, serangan Israel ini bertentangan secara jelas dengan hukum internasional dan HAM. Nicaragua menyampaikan solidaritas dan belasungkawanya yang sangat terhadap keluarga korban dan bersama negara-negara yang mengecam Israel.

Dalam keterangannya, Nicaragua meminta agar anggota relawan kemanusiaan yang sudah ditangkap Israel untuk dibebaskan. Negara ini juga menyampaikan dukungannya tanpa syarat kepada perjuangan bangsa Palestina dan meminta agar blokade atas Jalur Gaza dibebaskan. Pada 2009, sejumlah negara; Venezuela dan Bolivia memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Israel setelah agresi terhadap Jalur Gaza. Kuba sendiri memutuskan hubungannya dengan Israel pada tahun 1973.

Gedung Putih Sesalkan Penyerangan

Saat menelepon PM Turki, Rajeb Tayeb Erdogan, Presiden Amerika Barak Obama menyampaikan sikap yang menyayangkan terjadinya penyerangan ke kapal Armada Kebebasan menuju ke Gaza, mengakibatkan jatuhnya korban meninggal dunia, sebagian besar dari warga Turki dan melukai puluhan lainnya.

Siaran pers yang dirilis Gedung Putih, Selasa (1/6) menyebutkan bahwa Obama menyampaikan belasungkawa “yang mendalam” kepada korban penyerangan itu. Obama kembali mengulangi dukungan negaranya untuk melakukan “investigasi obyektif transparan bersifat kredibel mengenai kejadian yang meliputi peristiwa penyerangan.”

Masih lanjut Obama, Washington dengan Israel terus bekerja secara intensif untuk membebaskan kapal dan relawan. Pada saat yang sama, Obama menegaskan akan “urgensinya mencari jalan yang paling tepat bagi penyaluran bantuan kemanusiaan ke penduduk Gaza tanpa mengganggu keamanan Israel.”

Masih menurut rilis, Obama menekankan akan pentingnya “kesepakatan damai integral yang isinya tentang berdirinya negara Palestina yang independen, bertetangga dan bebas untuk hidup.”

Yunani: Serangan Israel Tidak Dibenarkan

Perdana Menteri Yunani George Papandreou, mengutuk keras serangan yang dilakukan pasukan Zionis di kapal “Armada Kebebasan”, yang berlayar menuju Jalur Gaza untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Aksi ini sendiri telah mengakibatkan puluhan orang tewas dan terluka. Dia menyatakan bahwa apa yang terjadi tidak dapat dibenarkan.

Papandreou mengatakan hal tersebut mengomentari jatuhnya puluhan korban tewas dan terluka dari para aktivis perdamaian di atas kapal “armada kebebasan” oleh serangan tentara Zionis. Dia menyatakan, “Peristiwa yang melibatkan intervensi militer Israel terhadap armada para aktivis kemanusiaan yang menuju ke Gaza; patut dikecam dan tidak bisa diterima.”

Ia menambahkan, “Kekerasan yang digunakan selama aksi penyerangan yang dilakukan pasukan Israel terhadap misi bantuan kemanusiaan untuk Gaza, tidak dapat dibenarkan. Aksi itu telah membuahkan hasil yang tragis hingga menyebabkan kita berduka yang mendalam.” Dia mendesak Israel menjamin kepulangan para aktivis kemanusiaan segera ke negara mereka.

Turki Kutuk Penyerangan

PM Turki Recep Teyeb Erdogan menyebut apa yang dilakukan pasukan Zionis Israel dengan menumpahkan darah orang-orang tidak bersalah, para aktivis kemanusiaan yang ada di atas armada kebebasan, merupakan perbuatan rendah dan tercela. Ia menegaskan pentingnya pembebasan blokade Jalur Gaza secepatnya.

Erdogan mengatakan, Selasa (1/6) serangan Israel terhadap armada kebebasan adalah pelanggaran hukum serta konvensi internasional dan kemanusiaan. Ia menyatakan bahwa kapal-kapal tersebut membawa bantuan kemanusiaan untuk orang-orang Palestina yang diblokade di Jalur Gaza, kapal-kapal tersebut membawa relawan dari berbagai negara dan agama yang datang untuk membela orang-orang lemah dan teraniaya.

Erdogan mengingatkan Zionis Israel atas ujian kesabatan Turki dan mengatakan agar tidak melakukan kesalahan seperti ini dengan Turki. Karena harga yang akan dibayar sangat mahal. Ia mengatakan, “Sebagaimana kuatnya persahabatan kami, permusuhan kami juga kuat. Turki tidak akan berpangku tangan. Harus ada hukuman terhadap para penjahat yang menumpahkan darah orang-orang yang tidak bersalah.” Erdogan juga menyerukan kepada semua pihak untuk tidak tinggal diam terhadap kejahatan biadab ini.

PM Turki ini menegaskan bahwa Turki tidak akan meninggalkan Gaza dan rakyatnya. “Jika semua komitmen untuk diam, maka Turki tidak akan memalingkan punggungnya membelakangi Gaza. Kami akan terus memberikan bantuan kepada rakyat Palestina,” tegasnya.

Dia menyerukan negara-negara yang warganya ikut dalam kafilah armada kebebasan untuk mengambil sikap tegas menghukum Israel atas serangan biadab yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Dia menegaskan bahwa kejahatan ini tidak bisa dibiarkan tanpa sanksi hukuman.

Erdogan juga mengecam keras kebohongan yang disampaikan Zionis Israel, mengenai klaim pasukannya bahwa para aktivis kemanusiaan yang menyerang pasukan Zionis Israel yang bersenjata lengkap. “Kami sudah jenuh dengan kebohongan kalian,” ungkapnya kepada Zionis Israel.

Ki-Moon Minta Israel Segera Akhiri Blokade Gaza

Sekjen PBB Ban Ki-Moon meminta kepada pemerintah Israel membebaskan blokade segera terhadap Jalur Gaza. Ia menyebut blokade Israel itu sebagai kesalahan yang tidak bisa dipertahankan lagi. “Israel dituntut memberikan penjelasan lengkap dan rinci soal serangannya terhadap kapal-kapal Armada Kebebasan “Freedom Flotilla” yang berusaha menembus blokade atas Jalur Gaza yang mengangkut puluhan ribu ton bantuan kemanusiaan.

Pernyataan Ki-Moon ini disampaikan di New York di depan para wartawan sesaat setelah pulang dari kunjungannya ke Brazil, Malawi dan Uganda kemarin sore, Rabu (2/6).

Sekjen PBB mengatakan, pihaknya membutuhkan beberapa waktu untuk mengambil keputusan membentuk tim investigasi independen soal serangan berdarah Israel terhadap kapal-kapal Armada Kebebasan dan ia menyerukan agar semua pihak menunaikan tanggungjawabnya sesuai dengan hukum internasional.

Dalam banyak kesempatan beberapa bulan lalu Ki-Moon mendorong pemerintah Israel agar membebaskan blokade dari Jalur Gaza dan memberikan izin kepada PBB dan pihak yang memberikan bantuan untuk memasuki Gaza. “Kalau izin ini diberikan, tragedi serangan itu bisa dihindari,” tuturnya menyesalkan tindakan Israel.

Media Israel Kecam Penyerangan dan Sebut Penyerangan “Dungu”

Media cetak Israel yang terbit hari ini, Selasa (1/6) mengritik penyerangan ke kapal Mavi Marmara berbendera Turki dan menilainya sebagai kegagalan total dalam menyikapi armada kebebasan yang membawa bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Koran-koranIsrael bahkan meminta Menhan Israel, Ehud Barak untuk segera mengundurkan diri. Diantara koran-koran itu meminta juga agar blokade Gaza segera diakhiri untuk tidak mengulangi kegagalan.

Headline koran-koran tersebut mengungkapkan kegagalan penyerangan itu dengan menulis kata-kata, “dimana otak?” “orang-orang dungu”. Koran-koran itu bahkan menyebut hari Senin (31/5) sebagai hari yang paling berdarah sejak pemerintah Netanyahu dibentuk.

Menurut Ha’aretz misalnya, menilai bahwa kegagalan ini dibarengi dengan kegagalan intelijen yang membawa kepada kegagalan politik.

Sedangkan harian Ma’ariv mengatakan operasi laut, pagi dini hari Senin (31/5) di depan pantai Gaza, sebagai hal yang mustahil bercampur kegagalan yang melahirkan pertunjukan memalukan.

Harian Ha’aretz dan Yedioth Ahronoth, keduanya menilai pihak yang paling menang adalah Gerakan Perlawanan Islam HAMAS, tanpa harus melepaskan satu rudal pun ke wilayah Israel. Sementara yang kalah adalah pemerintahan Netanyahu. Persoalannya bukan pada “Siapa yang menang dalam pertarungan itu, namun siapa mendapatkan dukungan opini dunia secara legitimasi dan pengertian.”

Dewan HAM PBB Kecam Penyerangan dan Bentuk TPF

Hari ini, Rabu (2/6) Dewan HAM PBB mengecam penyerangan Israel ke kapal armada kebebasan dan menilainya sebagai kekejaman. Dewan HAM PBB ini juga memutuskan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) independen untuk menginvestigasi pelanggaran hukum internasional oleh pihak Israel.

Keputusan Dewan HAM PBB, yang berpusat di Genewa, salah satu isinya adalah menyerukan untuk mengakhiri blokade Gaza dan menjamin penggantian korban yang gugur dalam penyerangan tentara Israel.

Rancangan keputusan, yang diajukan oleh Pakistan, Sudan dan delegasi Palestina, ini mendapatkan suara mayoritas dukungan sebanyak 32 suara dari total anggota 47 negara. Sementara tiga negara yang menolak rancangan tersebut, yaitu Italia, Belanda dan Amerika. Sembilan negara lainnya menyatakan abstain dan tiga negara lagi menyatakan tidak berkomentar.

Israel Tolak Tim Investigasi Internasional

Israel menolak tim investigasi bentukan PBB terkait penyerangan tentara Israel ke kapal armada kebebasan yang menewaskan sekitar 19 orang dan melukai puluhan lainnya.

Para pejabat Israel mengatakan bahwa militer Israel telah melakukan investigasi internal terkait penyerangan tersebut. Menurut pejabat Israel, militer Israel mampu melakukan investigasi sendiri secara kredibel tanpa bantuan tim internasional.

Juru bicara pemerintah Israel, Mark Regev dalam siaran pers, mengatakan:”Kebiasaan kami, setelah ada operasi militer, khususnya jika ada jatuh korban, kami melakukan investiasi cepat profesional, transparan dan obyektif sesuai dengan standar hukum internasional,” demikian katanya berdalih. Dalam kasus penyerangan ini, Hamas dan Fatah, sama-sama mengecam dan meminta agar Zionis Israel diberikan sanksi yang seberat-beratnya. (knrp)


Dari berbabagi sumber.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 9.75 out of 5)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization