Topic
Home / Narasi Islam / Ekonomi / Tidak Boleh Menimbun Barang

Tidak Boleh Menimbun Barang

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Bukan sekali dua kali masyarakat kita mengalami kelangkaan barang. Ada banyak sebab barang-barang yang kita butuh tiba-tiba hilang dari pasar. Jikapun ada, harganya selangit. Salah satu penyebab kelangkaan barang adalah para pedagang menimbun barang dengan harapan harga akan naik. Ketika harga naik itulah, mereka akan mendapat untung berlipat dari penjualan barang yang sebelumnya telah mereka timbun.

Bagaimana Islam memandang masalah ini?

Menimbun barang dalam bahasa Arab sepadan dengan “al-ihtikar”. Kata ini bermakna azh-zhulm (aniaya) dan isaa’ah al-mu’aasyirah (merusak pergaulan).

Ada beberapa definisi yang diberikan oleh ulama tentang ihtikar. Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, “Penimbunan barang dagangan dari peredarannya.” Imam Ghazali mendefinisikan, “Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.” Sementara para ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan, “penyimpanan barang oleh produsen: baik makananm pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar.”

Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya ketika harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis barang yang ditimbun beda.

Ulama Mazhab Maliki, sebagian ulama Mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf dan Ibnu Abidin (dua nama terakhir adalah ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) menyatakan larangan menimbun tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan. Tetapi meliputi seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat. Alasannya, yang menjadi ilat (motivasi hukum) dalam larangan melakukan penimbunan adalah “kemudharatan yang menimpa orang banyak”. Sebab, kemudharatan yang menimpa orang banyak itu tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi juga mencakup seluruh barang yang dibutuhkan orang.

Imam Asy-Syaukani juga tidak memerinci barang apa saja yang ditimbun, sehingga seseorang bisa dikatakan sebagai penimbun jika menyimpan barang untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan, Imam Asy-Syaukani tidak membedakan apakah penimbun itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal ataupun dalam keadaan tidak stabil. Hal ini perlu dibedakan karena menurut jumhur ulama jika sikap para pedagang dalam menyimpan barang tersebut bukan untuk merusak harga pasar, tentu tidak ada larangan. Maklum, Imam Asy-Saukani termasuk kelompok ulama yang mengharamkan penimbunan pada seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat.

Sebagian ulama Mazhab Hanbali dan Imam Al-Ghazali mengkhususkan keharaman penimbuna pada jenis produk makanan saja. Alasannya, karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. Menurut mereka, karena masalah ihtikar menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya dan kebutuhan orang banyak, maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash saja. Adapun ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Hanafi membatasi ihtikar pada komoditas yang berupa makanan bagi manusia dan hewan. Menurut mereka, komoditas yang terkait dengan kebutuhan orang banyak pada umumnya hanya dua jenis itu. Oleh karena itu, perlu dibatasi.

Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Ihtikar tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat suatu komoditas, dan bahkan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat “embargo” yang dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan oleh masyarakat, negara, dan lain-lain.

Misalnya, pedagang gula pasir di awal bulan Ramadhan tidak mau menjual barang dagangannya karena mengetahui bahwa pada pekan terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula untuk menghadapi lebaran. Dengan sedikitnya stok gula di pasar, harga gula melonjak. Ketika itulah para pedagang gula melepas stoknya ke pasar dan mereka mendapat keuntungan yang tinggi.

Dasar hukum pelarangan menimbun barang adalah hasil induksi dari nilai-nilai universal yang dikandung Al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya diharamkan. “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Haj (22): 78]. “Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. “Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [QS. Al-Baqarah (2): 279].

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. At-Tabrani dai ma’qil bin Yasar).

Rasulullah saw. berkata, “Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Rasulullah saw. bersabda, “Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” (HR. Ibnu Umar).

Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas, para ulama sepakat bahwa ihtikar adalah perbuatan terlarang (haram). Namun, berbeda cara menetapkan hukumnya. Ulama Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki menggunakan ayat dan hadits di atas untuk menetapkan ihtikar sebagai perbuatan yang haram.

Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an (hak orang lain terpelihara secara syara’). Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.

Ulama Syafi’i berpendapat bahwa hadits yang menyatakan ihtikar merupakan perbuatan yang salah mengandung pengertian yang dalam. Orang yang melakukan kesalahan (khatha’a) dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap syariat. Mengingkari syariat adalah hal yang diharamkan. Dengan demikian, perbuatan ihtikar termasuk salah salah satu perbuatan yang diharamkan, apabila dalam hadits itu pelakunya diancam dengan neraka.

Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan alasan, ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).

Imam Al-Kasani (seorang ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) berpendapat, ihtikar haram karena banyak hadits Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa pelaku ihtikar dilaknat dan orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja adalah orang yang melakukan sesuatu yang haram. Ia juga menyatakan, dalam masalah ihtikar terkandung dua kemaslahatan yang bertentangan, yaitu kemaslahatan pribadi pedagang dan kemaslahatan konsumen. Dilihat dari tujuan syariat dalam nenetapkan hukum, apabila terjadi pertentangan antara kepentingan orang banyak dan kepentingan pribadi, maka kepentingan orang banyak harus didahulukan. Oleh karena itu, dalam kasus ihtikar, demi memelihara kemaslahatan orang banyak, kepentingan pribadi harus dikorbankan, karena mendahulukan kepentingan pribadi dapat meresahkan masyarakat banyak.

Namun Mazhab Hanafi secara umum berpendapat, ihtikar hukumnya makruh tahrim. Makruh tahrim adalah istilah hukum haram dari kalangan usul fiqh Mazhab Hanafi yang didasarkan pada dalil zhanni (bersifat relatif). Dalam persoalan ihtikar, menurut mazhab ini, larangan secara tegas hanya muncul dari hadits-hadits yang bersifat ahad (hadits yang diriwayatkan satu, dua, atau tiga orang dan tidak sampai ke tingkat mutawatir). Adapun derajat hujah hadits ahad adalah zhanni. Sementara kaidah umum yang qath’i (pasti) adalah setiap orang bebas membeli dan menjual barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah pribadi seseorang.

Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka; dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun.

Larangan di sini tidak langsung tertuju pada perbuatan ihtikar, melainkan larangan itu muncul disebabkan mudharat yang ditimbulkan tindakan tersebut. Menurut mereka, mudharat itu bisa dihilangkan karena bisa saja dilakukan jual beli yang sama sekali tidak mengandung mudharat. Oleh karena itu, perbuatan ihtikar dengan alasan yang melarangnya tidak menyatu. Di samping itu, seperti dijelaskan di atas, larangan ihtikar dari hadits ahad.

Namun, jumhur ulama dalam menetapkan hukum haram tidak membedakan antara dalil yang zhanni dan qath’i. Apabila ada larangan dari nash (ayat dan hadits), baik sifatnya qath’i maupun zhanni, maka hukumnya haram.

Jadi, sekalipun hadits-hadits yang secara tegas melarang ihtikar seluruhnya ahad, tapi berdasarkan istiraa’ ulama terhadap hukum ihtikar dari berbagai ayat dan hadits, secara maknawi kekuatan dalilnya sudah qath’i. Di samping itu, dalam rangka siyasah syar’iyah (politik penetapan hukum) dinyatakan bahwa ‘kullu fi’lin fiil ashl masyruu’, yusbihu ghair masyruu’ idza addaa ilaa ma’aal al-mamnuu’ (setiap perbuatan pada dasarnya dibolehkan, hukumnya bisa jadi tidak boleh jika membawa kepada sesuatu yang dilarang). Dalam kasus ihtikar, pada dasarnya pemilik barang boleh menjual barangnya sesuai dengan keinginannya, tetapi akibat dari perbuatan ini orang banyak mendapat mudarat. Oleh karena itu, larangan berbuat ihtikar termasuk dalam kaidah di atas.

Para ulama yang melarang tindakan menimbun barang berpendapat, bila penimbunan barang telah terjadi di pasar, pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjual barang tersebut dengan harga standar yang berlaku di pasar. Bahkan, barang yang ditimbun dijual dengan harga modalnya dan pedagang yang menimbun tidak berhak untuk mengambil untung. Ini sebagai hukuman atas tindakan mereka. Jika pedagang yang menimbun dagangan enggan menjual barangnya sesuai dengan harga pasar, hakim berhak menyita barang mereka dan membagi-bagikannya kepada masyarakat yang membutuhkan.

Karena itu, pemerintah seharusnya sejak awal telah mengantisipasi agar tidak terjadi penimbunan barang, manfaat, dan jasa yang dibutuhkan oleh orang banyak. Pemerintah harus melakukan penetapan harga yang adil atas setiap barang yang menjadi hajat orang banyak. Harga yang adil itu didapat dengan mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi pedagang serta tidak terlalu memberatkan masyarakat. Bahkan, pemerintah tidak boleh mengekspor barang kebutuhan warganya sampai tidak ada lagi yang dapat dikonsumsi warga, sehingga membawa mudharat bagi masyarakat. Pada hakikatnya pengeksporan barang yang dibutuhkan masyarakat sama dengan ihtikar dari segi akibat yang dirasakan oleh masyarakat. Pendapat ini didasarkan pada kaidah “tasharruf al-imaam ‘ala ar-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah” (tindakan penguasa harus senantiasa mengacu pada kemaslahatan orang banyak). (disadur dari Ensiklopedi Hukum Islam).

Redaktur: Mochamad Bugi

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (10 votes, average: 7.70 out of 5)
Loading...

Tentang

Mochamad Bugi lahir di Jakarta, 15 Mei 1970. Setelah lulus dari SMA Negeri 8 Jakarta, ia pernah mengecap pendidikan di Jurusan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta, di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Dirosah Islamiyah Al-Hikmah. Sempat belajar bahasa Arab selama musim panas di Universitas Ummul Qura', Mekkah, Arab Saudi. Bapak empat orang anak ini pernah menjadi redaktur Majalah Wanita UMMI sebelum menjadi jabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Politik dan Dakwah SAKSI. Ia juga ikut membidani penerbitan Tabloid Depok Post, Pasarmuslim Free Magazine, Buletin Nida'ul Anwar, dan Majalah Profetik. Jauh sebelumnya ketika masih duduk di bangku SMA, ia menjadi redaktur Buletin Al-Ikhwan. Bugi, yang ikut membidani lahirnya grup pecinta alam Gibraltar Outbound Adventure ini, ikut mengkonsep pendirian Majelis Pesantren dan Ma'had Dakwah Indonesia (MAPADI) dan tercatat sebagai salah seorang pengurus. Ia juga Sekretaris Yayasan Rumah Tafsir Al-Husna, yayasan yang dipimpin oleh Ustadz Amir Faishol Fath.

Lihat Juga

Fadly Amran: Pasar Digital Kubu Gadang Tarik Minat Kunjungan Wisatawan

Figure
Organization