Topic
Home / Narasi Islam / Hidayah / Pemilu Amerika dan Komunitas Muslim

Pemilu Amerika dan Komunitas Muslim

dakwatuna.com – New York. Berbicara tentang komunitas Muslim di Amerika tentu berbicara tentang sesuatu yang selalu hangat untuk dibahas. Sejak kejadian 11 September, komunitas Muslim Amerika menjadi sorotan oleh berbagai kalangan, khususnya kalangan media massa. Oleh karenanya, isu komunitas Muslim di Amerika memang tidak pernah membosankan untuk didiskusikan.

Tragedi 11 September, bagi komunitas Muslim memang menjadi awal mala petaka yang hampir tidak berkesudahan. Tidak saja karena memang tidak sedikit juga dari kalangan umat Islam yang menjadi korbannya. Tapi yang paling menyakitkan adalah seolah umat ini tidak menjadi bagian dari korban (victims). Bahkan sebaliknya, dituduh atau minimal dipersepsikan secara sistematis sebagai pelaku, sponsor, atau menyetujui dan senang dengan kejadian tersebut.

Sejak itu pula komunitas Muslim berada pada posisi depensiv, dan dari hari ke hari semakin tersudutkan. Tersudutkan oleh berbagai kebijakan pemerintah, tersudutkan oleh pemberitaan media massa, tersudutkan oleh imej dan persepsi masyarakat luas tentang agama mereka, dan bahkan tersudutkan oleh persepsi mereka terhadap diri mereka sendiri. Maksud saya, karena sedemikian dahsyatnya berbagai tuduhan itu, seolah semua itu menjadi kebenaran mutlak yang tidak mungkin di tantang (challenged), dan karenanya harus diterima apa adanya, termasuk oleh kaum Muslim sendiri.

Afiliasi Partai

Secara umum, masyarakat Muslim di Amerika tidak berafiliasi buta kepada salah satu dari dua partai politik besar Amerika, Demokrat dan Republikan. Sebagian memang ada yang demokrat, seperti warga Muslim Afro Americans. Namun tidak sedikiti juga yang berafiliasi ke partai Republikan.

Mereka yang memilih berafiliasi dengan partai Demokrat menilai bahwa partai ini dalam sejarahnya memang lebih bersahabat dengan warga minoritas, termasuk di dalamnya umat Islam. Selain itu, dari perspektif idiologi, kaum Demokrat tidak dibajak oleh idiologi Kristen fundamentalis dalam kebijakan-kebijakannya.

Di lain pihak, mereka yang memilih untuk berafiliasi dengan partai republikan didorong oleh pandangan-pandangan konservatisme Repubikan dalam berbagai isu sosial, isu aborsi dan perkawinan sejenis misalnya. Bahwa secara moral, idiologi partai Republikan lebih cenderung kepada konsep-konsep agama secara umum.

Namun dapat dipastikan, pada pemilu kali ini mayoritas, jika tidak semuanya, pemilih dari kalangan komunitas Muslim akan memilih calon dari Demokrat. Sebabnya adalah prustrasi dan perasaan kecewa yang sangat dalam atas apa yang dianggap oleh komunitas Muslim sebagai pengkhianatan capres Republikan ketika itu, George W. Bush. Kumpulan suara (block voting) umat Islam di tahun 2000 yang diberikan kepada calon presiden Bush ketika itu, ternyata dikhianati oleh Presiden Bush dengan berbagai kebijakan di kemudian hari yang merugikan umat Islam.

Br. Habib Ahmed adalah Presiden dari ICLI (Islamic Center of Long Island) dan Dr. Wadud Bhuya adalah Presiden dari JMC (Jamaica Muslim Center) adalah contoh hal di atas. Keduanya adalah registered republicans. Tapi keduanya ikut pada acara temu muka dengan wakil-wakil dari capres dari partai Demokrat baru-baru ini dan masing-masing menyatakan mendukung salah satu dari dua calon kuat partai Demokrat itu.

Prustrasi dan kekecewaan masyarakat Muslim kepada pemerintahan Bush berdampak luas kepada pandangan dan sikap mereka dalam pemilu kali ini. Untuk itu, dapat dipastikan bahwa mayoritas, jika tidak semuanya, suara umat Islam akan diberikan kepada calon dari partai Demokrat kali ini. Dalam sebuah pertemuan yang dikelola oleh American Muslim Democratic Club baru-baru ini yang dihadiri wakil-wakil dari Barack Obama, Hillary Clinton dan John MacCain, hadir beberapa Muslim yang registered Republicans tapi menyatakan akan memilih Demokrat pada pemilihan presiden mendatang.

Penentuan Pilihan

Dalam politik ternyata memang ada gap (jurang) antara idealisme dan realita. Idealnya umat Islam harus memiliki calonnya sendiri untuk maju ke perebutan kursi kepresidenan. Sayang, realita mengatakan bahwa hal itu masih belum memungkinkan, dan barangkali justeru akan merugikan komunitas Muslim itu sendiri. Kerugian yang kita maksud tentunya adalah, selain umat Islam memang belum siap bersatu di bawah satu atap partai politik, juga karena tingkat kesalah pahaman masyarakat kepada agama ini dan pemeluknya sangat tinggi.

Maka, memaksakan diri untuk memiliki calon sendiri sama dengan melakukan sesuatu yang sia-sia. Namun demikian, di sisi lain sebenarnya ada positifnya. Dengan adanya calon yang beragama Islam, masyarakat Amerika akan melihat agenda sesungguhnya yang ada di benak kaum Muslimin. Bahwa kaum Muslimin dalam melakukan perjuangan tidak ekslusif, tapi sebaliknya, bertujuan untuk memprjuangkan American interest (kepentingan Amerika). Dan ini akan membangun trust (kepercayaan) di kalangan masyarakat Amerika untuk calon-calon masa depan, sekaligus dapat membangun self confidence (percaya diri) umat Islam itu sendiri.

Namun secara realita, nampaknya memang belum masanya untuk memajukan calon dari kalangan warga Muslim. Maka, yang paling realistis untuk dilakukan oleh masyarakat Muslim adalah memilih calon presiden yang paling dekat kepada idelisme dan cita-cita Islam. Kalau ternyata secara idealisme tidak ada, maka yang dipilih adalah calon yang kecil madharatnya. Maksud saya adalah calon yang kira-kira tidak menempatkan umat Islam pada sisi yang berseberangan, khususnya dalam konteks perang terhadap terorisme.

Dari semua ini, nampaknya pilihan masyarakat Muslim Amerika kali ini memang menjadi pilihan yang dilematis. Dari seluruh kandidat yang ada, nampaknya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Maka, untuk menentukan pilihannya, komunitas Muslim akan melihat secara teliti siapa di antara kandidat yang paling sedikit madharatnya (akhaf ad dhorarain).

Sebagaimana disebutkan terdahulu, secara pertimbangan moral sosial, komunitas Muslim cenderung untuk memilih kadindat Republikan yang dinilai lebih konservativ. Tapi dengan melihat kepada berbagai relaita pahit yang terjadi saat ini, khususnya jika melihat kepada kebijakan luar negeri, dan lebih khusus lagi relasinya dengan perang Timur Tengah dan isu Israel-Palestina, juga termasuk apa yang disebutkan sebagai war on terrorism nampak bahwa capres dari partai Demokrat jauh lebih bersahabat.

Kandidat Demokrat dalam berbagai visinya dapat dikatakan lebih manusiawi (humanis) dan rasional dalam menawarkan berbagai kebijakan luar negerinya. Sementara capres dari partai Republikan lebih kaku dan dahkan cenderung tidak rasional, dan lebih berbahaya, mereka sangat dipengaruhi oleh idiologi Kristen radikal, Evangelist, yang memang pendukung utama negara Israel.

Antara Hillary dan Barack

Dengan mundurnya John Edward dari persaingan pencalonan dari partai Demokrat, kini tinggal dua kandidat dari partai ini yang akan dipilih. Dari kedua calon ini, manakah yang lebih cenderung dipilih oleh masyarakat Muslim?

Menimbang-nimbang dua kandidat ini memang cukup rumit. Secara umum, masyarakat Muslim cenderung untuk menjatuhkan pilihannya pada Barack Obama. Pertimbangannya bukan karena ras, gender, dan bukan pula karena adanya keterkaitan latar belakang keluarga ayah Obama yang Muslim. Tapi memang visi yang diajukan Obama nuansanya lebih menjamin perubahan yang dijanjikan.

Barack Obama memang memiliki daya tarik luar biasa. Umurnya yang masih relative muda, cerdik dan tajam dalam menganalisa berbagai isu yang ada. Walaupun ada kekhawatiran bahwa Obama masih kurang berpengalaman, namun melihat kepada pandangan-pandangannya yang tajam mengurangi kekhawatiran tersebut. Memang dalam berbagai debat politiknya, isu experience versus judgment menjadi isu hangat. Hillary merasa lebih berpengalaman, tapi sebaliknya Obama yakin dengan pandangan-pandangannya yang lebih akurat.

Selain itu, penentangan Obama kepada perang Iraq dari awal juga memberikan kontribusi yang besar dalam kampanyenya. Sementara Hillary dipaksa oleh situasi untuk menyesali dukungannya kepada presiden Bush untuk menyerang Iraq di masa lalu. Hillay berada pada posisi defensive jika dihadapkan kepada realita bahwa dirinya pernah mendukung penyerangan Iraq dengan mengatakan kalau saja saya tahu ketika itu bahwa akibatnya seperti saat ini, pasti saya tidak akan memberikan dukungan saya. Sayang pernyataan itu oleh sebagian dinilai nasi sudah terlanjur menjadi bubur.

Hal lain yang menjadikan sebagian besar masyarakat Muslim mendukung Obama adalah sikapnya yang selalu mendahulukan diplomasi di atas penyelesaian militer. Bahkan dalam banyak kesempatan, Obama selalu mengatakan we must be courageous to speak to our friends and to our enemies. Keinginan baik untuk membangun komunikasi ini sendiri, termasuk dengan mereka yang dianggap musuh-musuh Amerika seperti Iran, adalah sikap positif. Komunitas Muslim cukup muak dengan kebijakan luar negeri Bush yang selalu mengedepankan aksi militer.

Di lain pihak, memang ada kekhawatiran dari beberapa kalangan, bahwa Obama kemungkinan besar tidak akan terpilih. Alasannya, Amerika belum siap dipimpin oleh seseorang non White (selain warga kulit putih). Hal ini mungkin benar, tapi mungkin juga salah. Jika kita melihat kepada demografi pemilih Obama, juga tidak kurang dari warga kulit putih yang memilihnya. Contoh terdekat barangkali adalah IOWA. Sebaliknya, ada juga kekhawatiran bahwa Amerika hingga kini belum siap dipimpin oleh seorang wanita.

Pada akhirnya memang, calon pemilih sibuk mendiskusikan antara pengalaman Hillary dan ketajaman pertimbangan (judgment) Obama. Hillary yang dianggap telah lama melanglang buana di Washington DC, sejak sebagai Ibu Negara hingga sebagai senator terpilih dari negara bagian New York menjadi modal utama dalam pemerintahannya nanti.

Tapi itupun dipertanyakan. Semua tahu bahwa pemerintahan G.W Bush didominasi oleh Wapressnya, Dick Cheney, yang telah melanglang buana dalam struktur pemerintahan Amerika. Toh, berbagai kebijakan yang dihasilkan dapat dikatakan justeru membawa bencana bagi Amerika dan dunia saat ini.

Memilih Adalah Sebuah Keharusan

Akhirnya, siapapun nantinya yang akan dipilih oleh komunitas Muslim, memilih memang menjadi sebuah keharusan dalam konteks masa kini. Perdebatan klasik tentang boleh tidaknya seorang muslim untuk berpartisipasi dalam tatanan politik sekuler, seharusnya dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar.

Sebagaimana disebutkan oleh banyak kalangan, kebijakan-kebijakan pemerintahan G.W. Bush yang sangat dilandasi oleh emosi 11 September, telah kehilangan pertimbangan rasional dan mata nurani. Atas nama keamanan (security), baik domestic maupun internasional, dilahirkan berbagai kebijakan yang secara langsung atau tidak mematikan kapasitas Amerika sebagai negara percontohan, khususnya dalam hal hak-hak dasar manusia (human rights).

Bahkan lebih jauh kebijakan-kebijakan itu membawa dampak negative dalam berbagai aspek kehidupan, baik secara ekonomi maupun sosial. Yang lebih terasa adalah imej Amerika di mata internasional sangat jatuh.

Hal ini menjadi alasan mengapa komunitas Muslim Amerika harus melakukan hak pilihnya. Intinya, dengan melakukan hak pilihnya, komunitas Muslim dapat menjadi pendorong untuk mewujudkan janji-janji politik semua kandidat dalam perubahan. Kata perubahan itu sendiri sebenanrnya merupakan tamparan keras bagi pemerintahan G.W. Bush yang segera perlu diakhiri.

Dari pandangan Islam sendiri, dan dengan melihat kepada keadaan sekarang ini, memilih calon presiden yang dianggap paling credible untuk segera menggantikan administrasi sekarang adalah sebuah keharusan. Minimal ada 4 alasan utama:

Pertama, konsep Amar makruf dan nahi mungkar. Ikut dalam memilih calon presiden Amerika yang lebih baik dalam kebijakan-kebijakannya menjadi perangkap efektif untuk mengurangi atau menghapus berbagai kemungkaran dalam berbagai kebijakan pemerintah Amerika saat ini.

Kedua, dalam kaedah usul fiqh disebutkan, “sebuah kewajiban tidak menjadi sempurna kecuali dengan adanya suatu hal, maka suatu hal itu hukumnya menjadi wajib pula (ma laa yatimmu alwajibu illa bihi fahuwa wajib). Menghentikan berbagai kebijakan yang dianggal tidak adil (zalim) adalah kewajiban. Dan proses politik adalah pendekatan yang paling efektif untuk melakukan itu.

Ketiga, konsep ta’awun alal birri wattaqwa (tolong-tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan). Umat Islam di Amerika harus membangun jaringan kerjasama dengan the like-minded people untuk melakukan perubahan administrasi yang tidak menguntungkan. Koalisi dengan mereka dalam memilih calon yang terbaik adalah jalannya.

Keempat, bahwa seorang Muslim di mana saja hidup dia berkewajiban untuk menjadikan tempat itu sebagai tempat yang ahsan (terbaik). Umat Islam di negara ini, baik immigrant maupun terlahir di bumi Amerika, memiliki kewajiban untuk menjadikan Amerika sebagai tempat yang lebih baik bagi semua orang. Presiden adalah orang pertama untuk menjadikan negara ini terbaik, dan oleh karenanya memilih presiden yang baik adalah menjadi sebuah keharusan.

Dengan demikian, tidak diragukan bahwa komunitas Muslim Amerika dapat melakukan peranan besar untuk mewujudkan perubahan yang dijanjikan oleh para kandidat presiden Amerika. Tapi hal ini dapat terwujud jika disadari bahwa bersikap pro aktif, termasuk dalam proses politik di Amerika adalah sebuah kerja mulia, bukan sebaliknya. Tapi mampukah kita menembus wawasan berfikir konvensional yang selalu melihat bahwa politik adalah jahat ?. Tentu tergantung bagaimana dan dari prospektif mana kita menilai! Allahu a’lam.

Redaktur:

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 10.00 out of 5)
Loading...

Lahir 5 Oktober 1967. Setelah menyelesaikan SD di salah satu kampung terpencil di Sul-Sel, oleh orang tuanya dimasukkan ke Pondok Pesantren Muhammadiyah "Darul-Arqam" Makasar. Setelah Tamat dari pesantren 1987, Syamsi Ali mengabdikan diri sebagai staf pengajar di almamaternya hingga akhir 1988 di saat mendapat tawaran beasiswa dari Rabithah Alam Islami untuk melanjtkan studinya pada the International Islamic University, Islamabad, Pakistan. Tahun 1992 S1 dalam bidang Tafsir. Dilanjutkan pada universitas yang sama dan menyelesaikan S2 dalam bidang Perbandingan Agama pada tahnu 1994.

Selama studi S2 di Pakistan, Syamsi Ali juga bekerja sebagai staf pengajar pada sekolah Saudi Red Crescent Society di Islamabad. Dari sekolah itulah kemudian mendapat tawaran untuk mengajar pada the Islamic Education Foundation Jeddah, Saudi Arabia di awal 1995.

Pada musim haji tahun 1996, Syamsi Ali mendapat amanah untuk berceramah di Konsulat Jenderal RI Jeddah Saudi Arabia. Dari sanalah bertemu dengan beberapa haji luar negeri, termasuk Dubes RI untuk PBB, yang sekaligus menawarkan kepadanya untuk datang ke New York, AS. Tanpa menyia-nyiakan, Syamsi Ali berhasil ke New York di awal tahun 1997.

Di New York inilah kiprahnya semakin luas. Selain menjadi pengasuh masyarakat Muslim di New York dan di AS pada umumnya, dengan menghadiri berbagai undangan ke berbagai kota di AS, Syamsi juga aktif melakukan ceramah ke berbagai kalangan lainnya, Muslim maupun non Muslim. Setelah tragedy 11 September silam, Syamsi semakin sibuk memenuhi undangan untuk menjelaskan Islam ke berbagai kalangan, termasuk mewakili umat Islam dalam Memorial Service dengan tema: "Pray for America" bersama seluruh pemimpin agama se Amerika. Syamsi juga mewakili umat Islam AS mendampingi Bush pada saat kunjungannya setelah tragedy 11 September 2001 lalu.

Syamsi Ali juga aktif mengkoordinir berbagai kegiatan antar komunitas Muslim. Sebagai contoh, mendirikan Imams Council of NYC bersama tokoh-tokoh Muslim di kota New York tahun 1998 lalu. Syamsi juga mengetahui Muslim Parade di kota New York sejak tahun 1998 hingga kini.

Ditengah-tengah kesibukannya sebagai aktifis Muslim sekaligus staf Perwakilan RI untuk PBB New York, Syamsi Ali masih menyempatkan untuk melanjutkan studi pada the Graduate Center of NYU dalam bidang ilmu politik.

Syamsi beristerikan Muthiah Malik, dan kini dikarunia 3 anak; Maryam Zakiyah 9 tahun (lahir di Pakistan), Utsman Afifi 6 tahun (lahir di Saudi) dan Adnan Osama (lahir di New York)

Lihat Juga

Rawan Imigran, Trump Kirim Ribuan Tentara ke Perbatasan

Figure
Organization