Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Kemana Muslimah Melangkah? (Bagian Pertama)

Kemana Muslimah Melangkah? (Bagian Pertama)

dakwatuna.com – Indah sekali perumpamaan yang diutarakan Syaikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqhul Aulawiyaat atau skala prioritas gerakan Islam jilid satu, ‘Bunga-bunga’ itu tidak tumbuh mekar selain karena laki-laki ingin selalu memaksakan kemauannya, juga karena akhwat muslimahnya yang tidak mau atau memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari keterikatan tersebut.

Ya, seharusnya bunga-bunga itu tumbuh mekar dengan leluasa untuk turut mengharumkan jalan perjuangan yang suci ini. Akhwat seyogianya mulai berani memikirkan dan mengambil alih permasalahan-permasalahan mereka sendiri, membuka lahan-lahan dakwah dan amal serta menangkis dengan tegas suara-suara sumbang wanita-wanita feminis yang diselipkan ke dalam aqidah umat, nilai-nilai dan syariat-syariat Islam.

Dan suara-suara mereka cukup vokal, sekalipun hanya mewakili segelintir manusia yang tidak ada bobotnya di dunia apalagi dalam agama. Namun dalam kenyataannya menurut Yusuf Qardhawi pula, aktivitas dakwah Islam di bidang kewanitaan saat ini masih lemah. Hal tersebut nampak dari lemahnya kepemimpinan wanita untuk mampu berdiri sendiri menghadapi arus sekularisme, marxisme dan feminisme secara tangguh.

Kondisi tersebut boleh jadi disebabkan oleh dua kemungkinan, yang pertama ialah sikap ananiyah atau egoisme laki-laki yang selalu berusaha mendominasi, mengkomando, mengarahkan dan menguasai urusan akhwat. Mereka tidak memberi kesempatan dan peluang kepada para akhwat untuk membina bakat, keterampilan dan kemampuan untuk berjalan sendiri tanpa dominasi para rijal.

Penyebab kedua datangnya justru dari diri akhwat sendiri yang tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri yang cukup serta kurang kuatnya kerja sama di kalangan mereka.

Padahal menurut Yusuf Qardhawi kepeloporan dan kejeniusan bukan hanya milik laki-laki saja. Bahkan dalam pengamatan beliau selaku dosen, mahasiswi-mahasiswi umumnya berprestasi akademik lebih baik dibanding mahasiswa-mahasiswanya karena lebih tekun. Sehingga selayaknya mereka bisa eksis bila mampu menunjukkan kepeloporan dan kepiawaiannya dalam bidang dakwah, ilmu pengetahuan, pendidikan, sastra dan lain sebagainya.

Satu hal yang kontras dengan semangat awal Islam yang memuliakan dan memberdayakan muslimah, ditemui Yusuf Qardhawi justru di zaman kiwari ini. Beliau mengkritik menyusupnya pemikiran ekstrim mengenai hubungan laki-laki dan wanita serta peranan wanita di tengah masyarakat. Aliran pemikiran ini mengambil pendapat yang paling keras sehingga mempersempit ruang gerak wanita. Sehingga dalam pertemuan beliau dengan akhwat di Manchester, Inggris dan di Aljazair, beliau mendapati kondisi tersebut bahwa akhwat dibatasi dalam mengikuti forum-forum diskusi yang luas dan bahkan sekadar untuk menjadi moderator di acara yang khusus untuk mereka pun masih dianggap harus digantikan laki-laki.

Padahal sejak permulaan lahirnya dakwah, gerakan Islam telah memberikan porsi bagi peranan wanita. Dan di sebuah gerakan dakwah Islam terkemuka seperti Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir, ada seksi khusus wanita yang disebut Al Akhwat Al Muslimat.

Namun orang-orang yang berhaluan keras memakai dalil surat al Ahzab ayat 33, “waqarna fibuyuutikunna…” mereka berdalih, “kenapa kalian menuntut wanita agar memegang peran yang menonjol dalam gerakan Islam? Ikut bergerak dan memimpin serta menampakkan keberadaannya dalam gerbong amal islami, padahal mereka telah diperintahkan untuk tinggal di rumah-rumah mereka. ”

Sebagian ahli tafsir mengatakan ayat tersebut khusus berlaku untuk para istri Nabi karena kesucian dan keistimewaan mereka yang berbeda dari wanita-wanita lain pada umumnya. Sementara ahli tafsir yang lain mengatakan seandainya pun ayat tersebut ditujukan untuk para wanita pada umumnya, maka hal tersebut lebih merupakan arahan stressing keberadaan wanita yang harus lebih banyak di rumah. Namun tentu saja bukan berarti tidak boleh keluar rumah untuk menuntut ilmu, bermasyarakat dan mengerjakan kebajikan-kebajikan.

Tetapi kenyataan di lapangan atau di dunia realitas tidaklah sesederhana itu, terutama justru bagi akhwat yang sudah menikah. Mereka gamang dalam melangkah. Kadang ia sampai bertanya-tanya sendiri, “istri milik siapa sih?”
Karena selama ini ia tumbuh dalam tarbiyah dan medan harakah ia tidak bisa lagi tutup mata bersikap cuek, apatis atau masa bodoh dengan persoalan-persoalan umat Islam baik skala nasional maupun internasional.

Tantangan-tantangan eksternal umat Islam benar-benar membuatnya geram. Ia sadar benar adanya makar atau konspirasi internasional yang senantiasa menghadang umat Islam (QS. 8:30, 2:120, 2:109, 2:217, 3:118 dan 4:76). Ia pun paham, nubuat atau prediksi Rasulullah SAW bahwa akan tiba suatu masa di mana umat Islam akan menjadi mangsa empuk yang diperebutkan musuh-musuh Islam. Hal itu disebabkan karena umat Islam hanya unggul secara kuantitas tetapi minim dari segi kualitas sehingga membuat mereka tidak lagi disegani oleh musuh-musuh Islam. Ditambah lagi mereka mengidap penyakit wahn yakni cinta dunia dengan cinta yang berlebihan dan takut mati.

Berita-berita di media massa maupun tayangan berita di layar teve kerap membuatnya menangis dan sekaligus ingin memekik menyaksikan kezhaliman Israel Yahudi dan antek-anteknya yang kian merajalela di dunia Islam. Ia ingin berbuat…, ia ingin berdakwah…, ia ingin bergerak….

Namun apa daya persoalan internal yang dihadapi belum juga beres. Selama ini ia sudah bekerja keras menyeimbangkan tugasnya di dalam rumah tangga dengan aktivitas mengikuti ta’lim, mengisi ta’lim, mengikuti baksos untuk orang-orang yang terkena musibah banjir karena jika tidak sigap para missionaris begitu cekatan membantu dengan sekaligus paket pembaptisan. Tetapi rupanya sifat ananiyah (egoisme) dan sense of belonging (rasa kepemilikan) suaminya begitu besar. Tiba-tiba saja ia diminta menghentikan semua aktivitas amal shalehnya dan berdiam di rumah melayaninya dan anak-anak sebagai jalan pintas menuju surga, “Kamu tidak usah repot-repot ngurusin orang, sementara ada jalan pintas menuju surga dengan berbakti pada suami dan keluarga.” akhwat ini pun sebenarnya tak ingin membantah perkataan suaminya, karena ia juga tahu kebenaran tentang besarnya pahala berkhidmat di rumah tangga. Namun apa jadinya dengan sebuah dunia luar yang ingin ia sediakan sebagai bi’ah yang baik bagi anak-anaknya, generasi mendatang. Bukankah ia harus ikut juga berperan untuk itu. Apalagi selama ini ia meniatkan pernikahan adalah satu noktah dari garis perjuangan yang panjang, sehingga menikah harusnya justru akan meningkatkan perjuangannya. Kenyataannya?

Ia sering merasa sedih sementara ia dan banyak akhwat lainnya masih berkutat dengan urusan-urusan internal, para wanita feminis, marxis, liberalis dan missionaris begitu gegap gempita dengan kiprahnya. Mereka memang kecil, sedikit tetapi terorganisir rapi dan memiliki link atau jaringan internasional yang kuat.

Hal tersebut juga terungkap dari pengalaman langsung Yusuf Qardhawi saat berinteraksi dengan para akhwat di Mesir dan Aljazair. Ia banyak menemukan ukhti-ukhti daiyah atau akhwat daiyah yang gesit dan aktif di medan haraki sebelum menikah, tetapi setelah menikah dengan ikhwah yang juga dikenalnya melalui dakwah ia dilarang aktif atau tidak diridhai keluar rumah. Suami-suami seperti ini telah mematikan bara api yang semula menyala menerangi jalan bagi putri-putri Islam.

Sampai ada gadis aktivis dakwah di Aljazair yang menulis surat kepada beliau menanyakan apakah haram hukumnya bila ia melakukan mogok kawin karena takut bila menikah akan menyebabkannya tercabut dari jalan dakwah.

Beberapa akhwat yang pernah penulis temui seusai acara liqa’at ruhiyah akhwat di masjid Al Azhar Jakarta mengutarakan bahwa belakangan ini mereka semakin takwa saja. “Oh ya?”, tanya penulis, berharap itu bahwa dampak positif ikut pertemuan tersebut. “Iya mbak, makin takwa makin takut walimah. Habis takut dapat suami ikhwah yang picik sehingga kita tidak bisa merasakan lagi nikmatnya pertemuan-pertemuan seperti ini.” “Oooh…” gumam penulis, lalu beristighfar berulang kali.

Setiap akhwat insya Allah menyadari bahwa kewajiban terhadap suami dan anak-anak adalah tarikan fitrah yang memang berguna memagarinya agar tidak melesat keluar dari garis fitrahnya selaku istri dan ibu.

Tetapi haruskah hal itu dibenturkan dengan keinginan suci berjihad membela agama Allah? Bahkan Allah SWT berfirman dalam QS. at Taubah ayat 24, bahwa cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya harus diprioritaskan di atas segala-galanya termasuk di atas suami dan anak-anak.

Bagaimana halnya dengan wanita-wanita Afghanistan yang ditemui Zainab al Ghazali di barak-barak pengungsi di Pakistan saat invasi Uni Soviet dulu, mereka telah mempersembahkan segala-galanya, suami, anak-anak, harta dan tanah air mereka demi perjuangan tetapi mereka masih lagi bertanya, “Apa lagi yang bisa kami berikan, korbankan untuk jihad fisabilillah, ya Ibu?” Zainab al Ghazali menjawab dengan penuh rasa haru, “Ada…, kalian masih senantiasa memiliki cinta. Berikanlah cinta, simpati dan doa kalian untuk setiap mujahid yang berjuang di jalan Allah.” Subhanallah! Adakah yang salah dengan mereka, dengan obsesi-obsesi mereka yang luar biasa untuk habis-habisan di jalan Allah?

Belum lagi kisah-kisah indah yang terukir di periode awal Islam ketika Khansa mempersembahkan semua putranya sebagai syuhada di jalan Allah dan bersedih karena tak memiliki lagi putra yang akan dipersembahkannya di jalan Allah.

Begitu pula saling dukung di antara Ummu Sulaim dan abu Thalhah. Agar suaminya tak gundah dan menunda keberangkatannya untuk jihad di jalan Allah, Ummu Sulaim yang hamil tua pun ikut ke medan jihad.

Demikian juga Asma binti Abu Bakar yang sedang mengandung Abdullah bin Zubeir. Di saat hamil tua itu ia berjihad membantu proses hijrah yang sangat luar biasa beratnya. Zubeir bin Awwam sang suami ikut mendukung dan tidak protes, “Ah Asma, kamu tidak realistis, hamil tua seperti ini ikut dalam misi yang sangat berbahaya.”

System Islam yang tegak begitu mendukung kiprah perjuangan muslimah, ditambah team work dan dukungan yang baik di dalam keluarga inti dan dilengkapi pula dukungan sinergis dari komunitas yang ada saat itu. Di saat-saat perang, wanita dan anak-anak yang ikut dikumpulkan di satu tempat dan dikawal ketat oleh beberapa petugas. Dan muslimah-muslimah yang bertugas sebagai tenaga medis dan dapur umum dapat berjihad dengan tenang, sementara anak-anak mereka dijaga oleh wanita-wanita yang sedang tidak bertugas ke medan jihad.

Melihat kisah-kisah indah di atas, seharusnya tak ada ruang tersisa bagi keegoisan dan keapatisan dari ikhwah maupun akhwat.

Kisah-kisah tersebut mengajarkan pada kita dua tugas mulia yakni berbakti di dalam rumah tangga dan berjihad di jalan Allah bukan dua hal yang harus dibenturkan atau dipertentangkan satu sama lain. Dan kebajikan yang satu tak harus meliquidir kebajikan yang lainnya, melainkan menjadi sesuatu yang seiring sejalan secara sinergis.

Sehingga tak ada lagi cerita akhwat yang dipojokkan dan menjadi memiliki guilty feeling (perasaan bersalah), “Ah, dia terlalu aktif sih… jadi anak-anaknya tak terurus.” Atau, “Awas, lho…. Jangan aktif-aktif, nanti suaminya diambil orang.”

Ironis memang, sesama muslimah yang harusnya saling membantu dan mendukung malah memojokkan dan menakut-nakuti kaumnya sendiri yang aktif di medan haraki. Sementara wanita-wanita feminis, marxis, lebaris kompak bersatu menyebarkan kemungkaran.

Tetapi akhwat tak boleh menyerah. Ia memang tak perlu segera menyalahkan pihak-pihak lain yang kurang atau tidak mendukung. Lebih baik ia berpikir positif membangun citra diri akhwat muslimah yang baik, berjiddiyah menjaga keseimbangan dan memiliki kemampuan mengatur skala prioritas. Ia juga harus memiliki kondisi fisik, aqliyah dan ruhiyah yang prima karena ia bekerja di luar kelaziman wanita-wanita lain pada umumnya. Karena ia tidak egois, karena ia memikirkan umat, karena ia punya cita-cita mulia yakni menegakkan syariat Islam dan tentu saja …. karena ia ingin masuk surga dengan jihad di jalan-Nya.

Kisah-kisah indah dalam sirah memang perlu sebagai batu pijakan. Sejarah dapat menjadi sumber inspirasi dan ibrah. Tetapi kita tidak bisa berhenti hanya pada nostalgia-nostalgia kejayaan masa silam, seperti: “Enak ya di zaman Rasulullah wanita benar-benar dihargai dan diberi kesempatan ikut berkiprah dan berjuang. Senang ya, para wanitanya juga saling dukung…”

Secara waqi’, riil yang kini kita lihat dan hadapi adalah kondisi realitas kontemporer yang penuh dengan tantangan-tantangan global. Era globalisasi membuat the world has turned into a small village, dunia sudah berubah menjadi sebuah desa kecil. Laiknya sebuah desa kecil proses interaksi dan saling mempengaruhi terjadi begitu intensif, apalagi teknologi informasi yang berkembang pesat kadang membuat dunia Islam dibanjiri informasi seperti air bah yang juga membawa kotoran-kotoran. Tanpa proses filterisasi, bagaimana jadinya anak-anak kita, wajah generasi mendatang.

Dapatkah kita bersikap apatis pada lingkungan dan dunia luar? Sementara al insan ibnul bi’ah (manusia anak atau bentukan lingkungannya). Jika kita tidak ikut berjuang menghadirkan sebuah lingkungan yang kondusif bagi keimanan dan ketakwaan serta keshalihan anak-anak kita, bagaimana kelak pertanggungjawaban kita kelak di hadapan Allah SWT?

Bukankah Rasulullah pernah mengingatkan para orangtua, “Didiklah anakmu karena ia akan hidup di zaman yang berbeda dengan zamanmu”. Seorang wartawati muslimah yang menghadiri konferensi wanita sedunia yang diselenggarakan PBB tahun 1995 di Beijing mengatakan bahwa konferensi ini merupakan sebuah perang mahal (menghabiskan dana sekitar 68,7 milyar rupiah), besar (dihadiri 25.000 orang dari sekitar 170 negara) dan berbahaya walau tanpa senjata dan luka.

Karena selain menjadi ajang pertarungan kepentingan-kepentngan politik individu-individu dan negara-negara tertentu, serta konflik berkepanjangan antara negara-negara maju (utara) dan negara-negara berkembang (selatan), juga menjadi sarana bagi para penganut paham everything goes (permisivisme) untuk meluluhlantakkan nilai-nilai suci kehidupan perkawinan dan keluarga.

Mereka menghendaki pasangan-pasangan lesbi ataupun gay juga diakui bentuk keluarga yang normal dan sah karena kebebasan orientasi seksual (apakah hetero atau homo) adalah hak asasi. Mereka juga menghendaki legalisasi aborsi dan pendidikan seks yang independen tanpa campur tangan orang tua bagi remaja.

Melihat begitu berat dan kompleksnya tantangan zaman saat ini, dimana akhwat? Haruskah ia tinggal diam, aman dan suci di rumahnya yang indah dan nyaman sementara dunia terus menjadi bobrok dan mengalami proses pembusukan?

Bukankah seharusnya kita takut jika berhenti menjadi wanita shalihah belaka tetapi tidak mushlihah yang melakukan ishlahul ummah. Karena pernah ada satu negri yang akan dihancurkan Allah seperti yang ada dalam QS. 7:4-5, malaikat berucap bahwa masih ada satu orang shalih yang berdzikir, Allah SWT tetap menyuruh negri itu dihancurkan dan justru dimulai dari orang yang shalih tersebut.

Hendaknya kita juga mawas diri terhhadap firman Allah QS. 25:30 bahwa kita harus takut terhadap bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja. Jika kita bersikap pasif dan defensif dalam melihat kemungkinan-kemungkinan di depan mata, kita (seperti dikatakan dalam sebuah hadits) seperti berada di sebuah kapal besar dan berdiam diri melihat orang-orang sibuk melubangi kapal tersebut sehingga akhirnya kita ikut karam bersama kapal tersebut.

Akankah kita terus tinggal diam karena sibuk berkutat dengan urusan keluarga dan dalam negeri yang tak pernah selesai? Percayalah bahwa Allah akan menolong semua urusan kita termasuk keluarga kita jika kita menolong agama Allah (QS. 47:7) karena keberkahan, khairu katsir (kebaikan yang banyak) akan senantiasa melingkupi perjalanan hidup seorang akhwat.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (76 votes, average: 9.64 out of 5)
Loading...
Penulis, editor, pembicara dan pembina Insure. Doktor politik UI. Ibu 7 anak nenek 4 cucu.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization