Topic
Home / Berita / Opini / Mencari Gubernur Teladan

Mencari Gubernur Teladan

Ilustrasi. (collegeaffairs.in)

dakwatuna.com – Adakah gubernur seperti Said bin Amir al-Jumahi sekarang ini? Ya, dia adalah gubernur wilayah Homs, Suriah pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Suatu hari, Umar bin Khattab berkunjung ke Suriah dan mendengarkan laporan langsung warga di sana. Mereka mengeluhkan gubernur Said tentang empat hal. Umar melakukan klarifikasi.

“Mereka berkata, engkau sering telat ke kantor, benarkah demikian?” Tanya Umar bin Khattab kepada Said bin Amir. Ia menjawab, “wahai amirul mukminin, Demi Allah, sebenarnya aku benci menceritakannya, namun aku akan mengatakannya demi membela diri. Aku tidak memiliki pembantu. Setiap pagi aku membuat sendiri adonan roti untuk keluargaku, kemudian memanggangnya hingga matang. Setelah semuanya selesai, aku berwudhu kemudian keluar melayani mereka”.

Lalu, mengapa tidak melayani tamu di malam hari? “Aku telah mengorbankan waktu siangku demi melayani mereka, jadi sudah sewajarnya bila waktu malamku aku khususkan untuk bermunajat kepada Allah”.

Mengapa selalu absen satu hari dalam sebulan? “Wahai Amirul Mukminin, aku tidak memiliki pembantu yang mencucikan pakaianku, dan juga aku tidak memiliki pakaian kecuali yang menempel di badanku ini. Pada satu hari dalam sebulan itu aku mencucinya, menungguinya hingga mengering dan karenanya aku tak bisa bekerja.”

Lalu, mengapa sering mendadak pingsan?. “Wahai Amirul Mukminin, aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Khubaib Al-Anshory menemui ajalnya. Ketika itu aku masih dalam keadaan musyrik. Aku menyaksikan orang-orang kafir mencincang tubuhnya seraya berkata, “wahai Khubaib! Apa kau rela andai saja Muhammad menggantikan posisimu sekarang ini?” Khubaib menjawab, “Demi Allah, jangankan posisiku sekarang, sedikit pun aku tak rela Muhammad tertusuk duri sementara aku duduk di rumah bersama anak dan istriku”.

Setiap kali aku mengingat peristiwa itu, aku selalu dirundung penyesalan. Menyesal karena aku tidak menolongnya. Menyesal karena aku ketika itu bukan termasuk golongan orang beriman. Aku khawatir, Allah tidak akan mengampuni dosaku itu. Itulah yang membuat sering pingsan”.

Umar bin Khattab memakluminya, seraya berkata, “Alhamdulillah, perkiraanku telah tepat dengan memilihnya.”

Gubernur dan jabatan publik lainnya memang memiliki implikasi yang luas bagi masyarakat sehingga Rasulullah SAW mengatakan, “Ada tiga kelompok orang yang doanya tidak ditolak: Pemimpin yang adil, seorang yang berpuasa sampai ia berbuka dan doa seorang yang dizhalimi”. Karena itulah, Rasulullah SAW tidak asal saja memberikan amanah kepada para sahabatnya, terutama terkait jabatan publik.

Ketika perang Uhud, misalnya, Rasulullah SAW menawarkan pedangnya, “Siapa yang bisa menunaikan (amanah) pedang ini dengan benar?” Para sahabat Nabi menjawab sambil mengacungkan jarinya, “Aku…Aku”. Dengan langkah tegap, seorang sahabat Nabi bernama Abu Dujanah mendekat dan berkata “Aku ya Rasulallah, apa hak pedang ini?” Rasulallah SAW pun berkata, “Jangan kau bunuh orang Islam, dan jangan berlari dengan pedang itu dari orang-orang kafir”.

Maka, sahabat Nabi yang mulia itupun menunaikan tugasnya dengan benar. Dia berjalan tegap dan memerangi puluhan kaum musyrik Mekkah. Rasulullah SAW sampai berkata, “Cara berjalan (Abu Dujanah) itu sungguh tidak disukai Allah kecuali dalam keadaan (perang seperti) di negeri ini”.

Sebagai pemegang mandat, Abu Dujanah telah menunaikan tugas dan kewajibannya. Dia menyadari bahwa pedang Rasulullah SAW bagaikan kekuasaan yang dapat menyakiti, melukai dan membunuh banyak orang, dan Rasulullah SAW telah memilihnya dengan benar.

Karena itulah, Imam al-Mawardi menyebutkan syarat-syarat pemimpin wajiblah seorang yang beriman. Lalu, dia mampu berlaku adil, memiliki kapabilitas ilmu, sehat jasmani rohani, dan berintegritas. Pemimpin yang paling baik adalah dia yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Pepatah mengatakan, seburuk-buruk harta adalah yang tidak diinfakkan. Seburuk-buruk teman adalah yang berlari ketika dibutuhkan. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang membuat orang-orang baik menghindar ketakutan.

Sifat lainnya dari seorang pemimpin adalah pandai memaafkan kesalahan anak buah, bukan justru melimpahkan kesalahan pada anak buahnya. ‘Aisyah berkata “Aku tidak pernah melihat Rasulullah membalas dendam terhadap kezhaliman yang dilakukan terhadapnya. Hanya saja, bila sesuatu dari hukum Allah dilanggar, maka tidak ada satu pun yang dapat menghadang kemarahan beliau SAW”.

Ketika Uyainah bin Hishn masuk menemui Umar bin Khathab, ia berkata, “Hai Ibnul Khathab, demi Allah, engkau tidak memberi kami secara cukup dan engkau tidak menghukum di antara kami secara adil!” Marahlah Umar dan ingin memukulnya. Salah seorang saudaranya berkata, “Hai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah berfirman, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh, dan sesungguhnya dia ini termasuk orang bodoh”. (Al-A’raf: 199). Demi mendengar ayat itu dibacakan, Umar bin Khattab tidak jadi memukulnya.

Nasihat dari para alim ulama dibutuhkan bagi para pemimpin agar mereka tersadar betapa kekuasaan hanyalah sementara, bukan sebaliknya, menghardik dan memaki ulama. Ali bin Abi Thalib berkata, “ulama yang datang ke istana megah penguasa membuat buruk muka ulama dan penguasa. Penguasa yang berkunjung ke rumah sederhana seorang ulama, membuat penguasa dan ulama sama-sama mulia”. Sikap seperti itu hanya akan lahir dari pejabat yang menyadari bahwa akhir dari semua serial kehidupan manusia adalah kematian.

Dikisahkan, ketika Utsman ibn Affan menjadi khalifah, dia seringkali menangis bila melihat iring-iringan membawa jenazah. Bahkan Utsman pernah pingsan dan harus digotong ke rumahnya. Saat siuman dia ditanya, “Ada apa dengan-mu, wahai Amirul Mukminin?”. Utsman menjawab, aku mendengar Rasulullah SAW berkata, “Kubur adalah terminal pertama seorang hamba, apabila sukses di sana, niscaya dia akan hidup senang dan bahagia. Jika tidak, niscaya dia akan terus merugi selamanya”. (sb/dakwatuna.com)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization