Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Prajurit Terbaikku

Prajurit Terbaikku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Anak-anak (Yudi/Primair)
Ilustrasi – Anak-anak (Yudi/Primair)

dakwatuna.com – Setiap anak adalah juara. Ya, juara karena setiap anak mempunyai potensi yang berbeda. Termasuk salah seorang siswaku yang berbakat di bidang seni menggambar.

“Ken, gambar apa?” Tanyaku di pagi itu “Kok malah menggambar bukannya mengerjakan soal?” Lanjutku.

“Pusing, Bu.” Jawabnya singkat sambil melihatku, kemudian tersenyum.

Kenfajri. Itulah nama salah seorang siswaku di kelas II A ketika aku magang di SDN Percontohan Bantarjati 9 Kota Bogor. Beberapa kali Ken mendapatkan lencana prajurit terbaik berkat lukisannya.

Pernah suatu ketika, saat aku menjawab pertanyaan siswa lain, Ken memanggilku, “Bu Lastri” itulah panggilnya. Tapi sesaat tak kuhiraukan panggilan itu karena aku memang sedang mengobrol dengan siswa lain dan kuberikan gerakan tangan sebagai tanda tunggu. Tapi yang terjadi, Ken malah memanggilku dengan sebutan, “Bu Listrik”. Sontak semua siswa kelas II A yang mendengar tertawa dan segera melaporkan bahwa aku disebut Bu Listrik oleh seorang anak bertubuh mungil itu.

“Ken, kok bilang gitu ke Ibu?” Tanyaku dengan senyuman, sambil menghampiri.

“Habisnya Ibu ga nyaut saat aku panggil,” jawabnya dengan senyuman pula.

“Baiklah, Ibu ga akan cuek. Tapi Ken juga panggil Ibu dengan panggilan Bu Lastri ya, bukan Bu Listrik?” Pintaku.

“Iya, Bu. Siap deh.” Jawabnya dengan mengangkat jempol tanda setuju.

“Ibu mau dong digambar sama Ken. Gambarnya di rumah aja.” Meminta penuh harap agar mendapat lukisan dari Ken.

Ga boleh sama Ayah, Bu.” Jawabnya

“Kenapa ga boleh?” Tanyaku dengan penasaran.

Ga tau, Bu.”

“Emm, kalau ibu minta digambarkannya di sekolah, gimana?”

“Boleh deh, Bu. Nanti hari sabtu aja ya, Bu”

***

Sabtu memang harinya menggambar.

“Bu, mau digambarkan apa?” Tanyanya sesaat sebelum dia menggambar.

“Emm, apa ya? Bunga aj deh,” jawabku dengan penuh harap agar dia tak menolak lagi.

“Ah, itu gampang Bu.” Yakinnya.

Sekitar sejam kemudian, dia menyusulku ke kantor yang memang pada saat itu sedang pengklasifikasian buku untuk Perpustakaan Jujur.

“Bu, ini udah jadi.” Lapornya dengan menyerahkan secara langsung gambar bunga yang penuh warna. Temannya yang lain pun mendampingi Ken dan serentak berkata, “Bagus kan, Bu? Ken emang jago menggambar,” celetuk seorang siswaku.

“Bu, aku kan udah menggambar bunga buat Ibu. Nanti pilih aku jadi prajurit terbaik lagi ya?” Sambil senyum.

***

Pagi itu hari terakhirku magang di sekolah. Ken terus menguntitku ke mana aku pergi untuk pamit ke setiap kelas. Saat aku di kantor pun, Ken dengan setia menungguku di pintu kantor sambil tersenyum lalu kuberjalan ke arahnya.

“Kenapa, Ken?” Tanya dengan senyum

Ga kenapa-kenapa, Bu. Bu, jangan pergi. Di sini aja.” Pintanya dengan serius

“Nanti aku ga dapet Prajurit Terbaik lagi dong, Bu?” Lanjutnya

Andai kau tahu, sekalipun Ibu sudah tidak mengajar lagi di sana dan tidak memberikan lencana prajurit terbaik itu padamu, tapi lencana itu selalu ada dalam jiwamu, Ken. Ibu bangga padamu. Semoga suatu hari nanti, kau jadi salah seorang pelukis terkenal yang akan membanggakan orang-orang di sekitarmu. Entah nanti kau masih ingat Ibu atau tidak. Tapi bagi Ibu, kau akan selalu menjadi Prajurit Pelukis terbaik.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengajar di Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa Angkatan 4.

Lihat Juga

Bermacam Jalan Kebaikan

Figure
Organization