Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Secuil Muhasabah

Secuil Muhasabah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (pojokherba.blogspot.com)
Ilustrasi. (pojokherba.blogspot.com)

dakwatuna.com – Bismillah walhamdulillah… Allahumma shalli `ala muhammadin wa`ala ali Muhammad.

Belum lama kurasakan kehilangan, ketika sapaan hangat di pagi hari dari sosok ibu muda itu, tetanggaku yang shalihat di tanah air. “Berangkat kuliah, dik….” Ceria wajahnya. Kubalas senyum dengan menganggukkan kepala.

Benar-benar telah berlari waktu yang kunikmati, ia telah berada di alam barzah, dalam perlindungan-Nya insya Allah. Masih kuingat di awal Minggu beberapa tahun yang lalu, ada dirinya dalam mimpiku, dengan posisi sapaan sebagaimana kami bersama-sama menyambut pagi nan cerah. Tentu selepas kudengar berita tentang meninggalnya dalam perjuangan di saat kanker, berurai air mataku. Jenazahnya tak lebih dari 25 kg, hanya tulang berbalut kulit nan tersisa. Ya Allah… Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.

Di Krakow dahulu, ada seorang bunda yang mengidap jenis kanker yang sama dengannya, tapi belum separah saudariku itu. Di stadium awal, bunda yang berusia menuju masa tua itu, langsung melakukan terapi-terapi di rumah sakit khusus. Dua bulan sampai tiga bulan, ruang di rumah sakit seolah menjadi rumahnya. Kemudian kembali istirahat di rumah, lalu bolak-balik tinggal di rumah sakit kembali, sampai kira-kira tiga tahun lebih. Dan kini ia masih bernafas di musim salju ke-5 setelah ‘pernyataan sembuh’ dari dokternya.

Ah, tak pantas kita membandingkan, suratan takdir memang berbeda. Di negeri bekas jajahan komunis, dapat memiliki ‘perhatian terhadap kesehatan’ dengan lebih cepat dan lebih baik dibandingkan negeri yang manja dalam belaian kucuran utang dari lembaga dunia, seolah ‘menyalahkan takdir’ bagi para pemegang kuasa yang hanya peduli urusan perut. Na’udzubillah…

Lalu melangkah di tahun ketiga ini, saat hamba yang lemah berada dalam secolek kegiatan sosial peduli kanker, Ya Allah…. Subhanallah, Astaghfirullah, hanya nama-Mu yang dapat kusebut! Betapa kurang bersyukurnya hamba, yang di depan mata adalah kaum belia kanak-kanak dengan perjuangan melawan ragam jenis penyakit kronis, dengan sendu dan wajah tegar ayah ibu mereka, yang mayoritas telah terlilit utang demi pengobatan sang buah hati. Ya Allah, kenikmatan yang satu itu sering lali kusyukuri: Sehat, manakala sehat yang seharusnya dapat lebih dekat kepada-Mu, manakala sehat telah menjauhkan diri dari rintih kesakitan dan lilitan utang. Allahu yaa Kariim, ampunilah kami, yang masih jauh dari rasa syukur ini.

Di ruangan lain, masih kuingat kaum ibu yang berada dalam detik-detik akhir hidupnya, karena mereka telah berada pada stadium tiga dan empat, kesemuanya tak ada rambut lagi, beberapa bagian badan terdapat sisa darah, Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’un. Dengan kondisi sedemikian di dalam rumah sakit itu, mereka bisa menunjukkan raut muka hangat dan senyum manis kepadaku, yaa Allah, hatiku perih seraya menahan diri agar air mata tak tertumpah— kubayangkan, berarti teman-teman perawat dan dokter yang melayani mereka, sehari-hari berkecimpung dengan dzikir muhasabah, Subhanallah!

Serentetan peristiwa terus terjadi, teman-teman yang berjuang dalam kanker ternyata memiliki satu ciri, yaitu tegar. Wujud ketegaran mereka tampak dengan ‘seolah biasa saja’, dengan kalimat indah yang sering terngiang di telingaku, “Yang kanker atau pun tak mengidap kanker, semua sama-sama antri menuju kematian…”, mereka yang begitu sibuk bolak-balik banyak urusan dan rawatan di rumah sakit, namun begitu penuh kesyukuran hidup, bagaimanakah dengan diri kita yang tetap banyak keluangan masa ini?

Pagi ini, tak hanya kuterima berita dari salah satu anak asuh, ia baru saja divonis memiliki kanker getah bening. Tanpa sadar air mata menitik pula, ketika kubaca berita sahabatku—yang berjuang dalam kanker juga— bahwa ia mengurangi kegiatannya yang biasa amat padat. Oh, Allah… pantas saja, beberapa Minggu ini, sosoknya tak kujumpai dalam tiap acara, pikirku. Mataku mengembun karena ia selalu berujar, “Gak ada apa-apa sih, Cuma harus istirahat saja, say… No worry…” Oh, sahabatku, semoga hamba layak menerima ‘balasan doa malaikat-Nya’ saat diam-diam merajut doa buatmu.

Padahal kalau kita kena duri sedikit, batuk-pilek sedikit, sakit tenggorokan, bisa heboh cerita ke mana-mana, gara-gara tak berselera makan-lah, gara-gara lemas, pening, dan lainnya. Oh, Allah… amat kusesali atas keluhan yang bertumpuk dan mengabaikan kesyukuran hati, kutatap dengan penuh kagum bahwa sahabatku itu ‘menjaga konsumsinya’ dengan hanya seminggu sekali-dua kali makan besar, selebihnya hanya buah dan sayuran yang dinikmatinya. Dengan padat jadwal mondar-mandir area rumah sakit, ia tetap menjadi penghibur dan motivator buat sahabat-sahabatnya, masya Allah…

Secuil muhasabah dari diri nan berlumpur dosa ini, semoga dapat bernilai ibadah buat kita semua. Ada kalimat-kalimat pesan seorang sahabatku yang memotivasi jiwa kita kala membacanya, “Dulu, aku pernah sangat kagum dan bangga pada manusia cerdas, sangat kaya, berhasil dalam karir hidup & hebat dalam keahliannya, dunianya sukses besar! Sekarang, aku memilih untuk mengganti kriteria kekagumanku, aku kagum dengan manusia yang hebat di mata Allah SWT. Sekalipun kadang penampilannya begitu biasa, sederhana, dan bersahaja.

Dulu, aku memilih mengomel dan marah saat merasa harga diriku dijatuhkan ketika orang lain berlaku kasar kepadaku, menggunjingku dan menyakitiku dengan kalimat-kalimat sindiran. Sekarang, aku memilih untuk bersyukur dan berterima kasih, karena yakin ada kasih sayang datang dari mereka ketika aku mampu untuk memaafkan dan bersabar.

Dulu, aku memilih mengejar uang dan menumpuk tabungan sebisaku… Ternyata aku sadari kebutuhanku hanyalah makan & minum untuk hari ini & bagaimana cara membuangnya dari perutku. (Kalau tak bisa membuangnya sehari-hari, masuk rumah sakit juga, lho!) Sekarang, aku memilih untuk selalu bersyukur dengan apa yang ada dan  memikirkan bagaimana aku bisa mengisi waktuku hari ini, supaya bernilai manfaat buat sesama.

Dulu, maunya selalu ‘cetar membahana’, banyak sekali rencanaku, begitu inginnya membahagiakan orang tua dan saudara-saudara dengan caraku. Ternyata aku menjumpai teman & saudara-saudaraku begitu cepat menghadap kepada-Nya. Sekarang, yang menjadi pusat pikiran dan rencanaku adalah bagaimana mempersiapkan diri dan terutama hatiku agar aku selalu SIAP jika suatu saat namaku dipanggil oleh-Nya… Astaghfirullah. Ternyata hari ultah, hari jadi pernikahan, dan hari-hari ‘peringatan’ yang diciptakan manusia adalah tiada guna. Ada hari ‘perhitungan amal’ kelak, ini adalah hari terpenting yang harus dipersiapkan.

Tak ada yang dapat menjamin bahwa aku dapat menikmati teriknya matahari esok. Tiada yang menjamin bahwa esok nyawaku masih belum hilang dari raga… Siapa yang bisa memberikan jaminan bahwa diri kita masih bisa bernafas beberapa jam lagi?”

Bahkan benda berupa pesawat terbang pun, ternyata hilang ketika baru sejam melaju, Ya Allah… Sungguh para anggota keluarga dari 239 orang di dalamnya tak menduga akan menerima kejutan peristiwa ini. Tak ada yang menduga pula bahwa hingga hari ke-5, benda besar ini masih belum ditemukan jejaknya, meski banyak pihak telah membantu dalam proses pencariannya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…

Saudara-saudari yang dicintai Allah subhanahu wa Ta’ala, semoga detik-detik usia nan tersisa selalu kita manfaatkan dengan mengingat-Nya, mengintrospeksi diri akan kepatuhan pada-Nya, memohon ampunan kepada-Nya atas setiap khilaf dan lupa. Mari terus saling mendoa agar jiwa-jiwa bertaut dalam naungan cinta-Nya, menjaga ukhuwah sebagai satu umat nan saling menyayangi karena balutan aqidah yang sama. Aamiin, Allahumma ‘Aamiin…

Dirimu dan diriku tak berbeda, keseharian kita menghadapi ragam peristiwa, tentunya segala lika-liku problema senantiasa beriring solusi, Allah Maha Sempurna. Yakinlah, syukur dan sabar selalu manis pada akhirnya… Yakinlah, keikhlasan senantiasa menjadi pelajaran sehari-hari dalam tiap iringan anugerah peristiwa hidup, ikhlas sebagai hamba-Nya nan tegar, sebagaimana contoh teladan kita, baginda Rasulullah ShalallahuAlaihi Wassalam dengan ratusan peristiwa dahsyat dalam sejarahnya.

Rasulullah ShalallahuAlaihi Wassalam Mengagumi seorang mukmin yang bila ia memperoleh kebaikan, ia memuji Allah dan bersyukur. Bila ia ditimpa musibah, ia memuji Allah dan ia bersabar. (HR. Ahmad)

Wallahu a’lam bisshawab.

Kuala Lumpur, 12 Maret 2014

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Sri Yusriani, ananda dari bapak H. Muhammad Holdoun Syamsuri TM Moorsid dan ibunda Hj. Sahla binti alm H. Majid, biasa dikenal dengan nama pena bidadari_Azzam, lahir di Palembang, 19 Juni 1983. Mantan pelajar berprestasi ini sangat senang membaca & menulis sejak kecil (memiliki ratusan sahabat pena sejak SD hingga SMU sehingga terbiasa bersurat-menyurat), terutama menulis puisi. Syair dan puisinya serta cerita-cerita mini pernah menghiasi majalah Bobo, surat kabar lokal serta beberapa majalah nasional. Semasa menjadi putri kecil yang malu-malu, ia mengoleksi tulisan karya pribadi dan hanya dinikmati seisi keluarga serta bapak-ibu guru di sekolah. Beberapa prestasi yang terkait menulis adalah juara pertama menulis dan menyampaikan pidato kemerdekaan RI tingkat kotamadya Palembang, pada tahun 1997, Peserta termuda buku Antologi Puisi Kepahlawanan Pemda SumSel, serta kejuaraan menulis di beberapa majalah lokal dan nasional. Pernah menyabet juara 3 lomba puisi tingkat kodya Palembang, juara 2 menulis cerpen islami tingkat kodya Palembang yang diadakan ForDS (Forum Dakwah Sekolah), dan pada tahun 1999, semasa masih SMU dipercaya untuk menjadi pembimbing kepenulisan bagi sang ayah ketika mengikuti lomba membuat karya ilmiah tentang keselamatan kerja di Pertamina (menghadapi persaingan dengan para mahasiswa yang sudah S2 dan S3), dan Alhamdulillah, karya tersebut terpilih menjadi juara pertama. Lima tahun terakhir ini, ia tinggal di luar negeri, jauh dari bumi pertiwi. Hobi menulis pun terasah kembali, mengalirkan untaian kata pengobat rindu jiwa, sehingga kini kian aktif menulis artikel di beberapa website dan milist islami. Kini sedang mempersiapkan buku mengenai pengalaman pribadi sebagai sosok muslimah yang menikah di usia amat muda (ia menikah saat berusia 19 tahun), �Tentunya dengan ragam keajaiban yang saya temui, betapa saya amat merasakan kasih sayang Allah ta�ala dalam tiap tapak kehidupanku ini.� Prinsipnya dalam menulis, �Bagiku, Menulis itu dengan hati, dianalisa oleh semua indera, tak bisa direkayasa, tak boleh terburu-buru pula. Menulis itu adalah mengukir tanda cinta pada-Nya, mengharapkan apa-apa yang menjadi tulisan adalah cambuk motivasi diri sendiri dan dihitung-Nya sebagai amal jariyah�. Ia mengecap bangku kuliah di UPI-Bandung, dan UT-Jakarta, Lulus sebagai Sarjana Ilmu Komunikasi. Kegiatan saat ini menikmati peran menjadi ibu dari tiga jagoan ; Azzam, Sayyif dan Zuhud, mendukung penuh tugas suami yang mengemban project perusahaan di negara-negara lain, sekaligus mengatur jadwal sekolah bahasa Polish, serta menjadi pembimbing para muallaf dengan aktif sebagai koordinator muslimah di Islamic-Centre Krakow, Poland. Buku pertama kisah hikmah yang ditulisnya di Krakow baru dicetak awal maret 2012 oleh penerbit Eramuslim Global Media, dengan judul �Catatan CintaNya di Krakow-seri 1.�

Lihat Juga

Jalan Meraih Taqwa

Figure
Organization