Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Meninjau Kembali Ke-beragam-an Keber-agama-an Kita

Meninjau Kembali Ke-beragam-an Keber-agama-an Kita

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

keberagaman“Salam dan Doa” Kita

dakwatuna.com – Hari ini sesak nafas kita melihat pemberitaan media massa mengenai Islam. Ada benar pribahasa “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”. Segelintir orang yang mengaku muslim dan membela Islam justru melakukan perbuatan yang tidak Islami bahkan anti Islam. Kemudian Islam dilekatkan pada apa yang disebut sebagai kekerasan, terorisme, anti-HAM, dan stigma lainnya yang senada dengan hal tersebut. Sehingga Islam dipersepsikan sebagai agama yang tidak beradab (uncivilized religion). Patut juga kita perhatikan potongan syair lagu “too many people wear a title of the muslim but they dont practice Islam” (Anon). Bahwa begitu banyak orang yang mengenakan “baju” Islam, tapi mereka tidak mempraktekkan ajaran Islam.

Persepsi demikian tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Tidak sepenuhnya salah karena mereka yang melakukan tindak kekerasan dengan label Islam juga terprovokasi ketidakadilan (unjustice) dan ketidakmerataan (unequality) baik secara ekonomi maupun politik di tingkat global. Tidak sepenuhnya benar karena bagaimanapun tindak kekerasan tidak dibenarkan, jikapun boleh dilakukan dalam perang yang sah dalam bingkai Hukum Humaniter.

Dalam sejarah dapat kita saksikan bahwa perselisihan tidak hanya terjadi antar agama, tapi juga di internal agama itu sendiri yang tak jarang menjatuhkan korban jiwa. Menarik apa yang disampaikan oleh Jusuf Kalla dalam International Conference on Islam, Civilization, and Peace di Jakarta 23-24 April 2013 yang memulai presentasi makalahnya yang berjudul Islam and Peaceful Justness dengan kalimat pertanyaan yang menggelitik “Berapa kali umat Islam mengucapakan Assalamu’alaikum setiap harinya? Berapa kali umat Kristen mengucapkan Shalom? Begitu juga ummat Hindu mengucapkan Om Swastiastu? Atau umat beragama lainnya dengan kalimat yang maknanya senada?”. Kemudian Jusuf Kalla mengatakan bahwa mungkin puluhan bahkan ratusan kali kalimat “salam dan doa” itu diucapkan oleh masing-masing pemeluk agama. Akan tetapi pertanyaannya adalah mengapa tindak kekerasan, pembunuhan, dan konflik dapat kita saksikan setiap harinya? Yang kita tangkap adalah bahwa terdapat gap yang memisahkan antara apa yang kita katakan dengan yang kita lakukan atau antara ilmu dengan amal. Entah disebabkan karena kita tidak memahami esensi dari kalimat “salam” itu atau memang kita pura-pura tidak tahu bahkan tak acuh.

Di Balik Layar Konflik

Jika ditelisik lebih jauh bahwa konflik horizontal yang terjadi khususnya di Indonesia bukanlah disebabkan atau dilatarbelakangi oleh konflik agama. Jusuf Kalla mengatakan bahwa 10 dari 15 konflik besar (menelan korban 500-100 jiwa) di Indonesia, disebabkan karena persoalan ekonomi dan politik. Hanya saja agama seringkali dijadikan alat untuk memperbesar dan memperluas konflik. Hal ini dapat kita fahami karena agama pada sifatnya memiliki tingkat solidaritas yang tinggi diantara penganutnya. Yang patut disayangkan adalah ketika ada fihak-fihak tertentu yang justru memperkeruh masalah. Ketika para pelaku yang terlibat “konflik agama” ditanya “apa alasan yang melatari mereka saling bunuh?”, mereka menjawab “karena membela agama dan ingin masuk surga”. Meminjam istilah Jusuf Kalla “bahwa ada yang menjual surga dengan murah”. Peran pemuka agama sangat dibutuhkan untuk membantu penyelesaian konflik yang terjadi secara lebih jernih.

Dalam interaksinya dengan agama dan peradaban lain, Islam sudah memiliki prinsip-prinsip yang telah ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bahwa persaudaraan yang diajarkan oleh Islam tidak hanya berlaku pada sesama muslim (Ukhuwah Islamiyah), tapi juga persaudaraan kepada manusia secara umum (Ukhuwah Basyariyah). Hanya saja ada hak dan kewajiban yang harus dihormati pada tingkatannya masing-masing.

Prof. Dr. Ahmed Yahya al Kindy dalam paper-nya yang berjudul Prophet Perception on Living Harmoniously Between Muslim and Non Muslim menyebutkan beberapa kisah dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan toleransi, harmonisasi, dan upaya untuk hidup berdampingan dengan umat agama dan peradaban lain. Munculnya Piagam Madinah merupakan suatu contoh riil dimana di dalamnya terdapat aturan interaksi muslim dengan muslim juga dengan selainnya (Nashroni, Yahudi, Majusi, Musyrikin). Juga perjanjian antara Nabi denga Uskup Abul Harits pemimpin kristen Najran yang memperbolehkan tetap berdirinya rumah ibadah dan dapat hidup berdampingan dengan Islam selama-lamanya. Nabi juga membiarkan hidup orang-orang munafik di sekelilingnya, padahal Nabi pasti tahu siapa mereka bahkan dalam Al Quran Juz 28-pun tertera surat Al Munafiqiin.

Contoh di atas bukan berarti Nabi berlemah lembut dengan kaum kafir, akan tetapi menjadi suri tauladan bagi umat kemudian tentang bagaimana kita bertindak ketika Islam memimpin peradaban. Jika kita melihat sejarah dengan jujur, maka dapat kita saksikan bahwa merekalah yang seringkali mengkhianati perjanjian. Bahkan di abad modern ini dapat kita saksikan bagaimana Israel berulangkali melanggar kesepakatan damai yang mereka buat sendiri. Memang begitulah sifat mereka yang panjang lebar dijelaskan oleh Allah dalam surat Al Baqoroh. Mereka berjanji kepada Allah SWT dan Nabi Musa as dengan sumpah yang kokoh (mitsaqan ghalizah) akan tetapi mereka mengingkarinya setelah perjanjian itu (tsumma tawallaitum min ba’di dzalik).

Jika hari ini konflik agama masih terus berlangsung, perlu kita lihat lebih jernih titik pangkalnya. Ketidakadilan, ketidakmerataan, diskriminasi, monopoli, kolonialisasi, imprealisasi dan sejenisnya, baik fisik maupun secara ekonomi dan politis terus terjadi melanda umat Islam di belahan dunia. Bagaimana di abad modern ini masih kita saksikan penjajahan “model kuno” berupa anektasi lahan terjadi di Palestina, Iraq, dsb. Belum lagi soal kejahatan ekonomi politik sebagaimana yang dapat kita baca dalam buku Confessions of an Economic Hit Man yang ditulis John Perkins (dipublikasikan tahun 2004).

Artinya bahwa aksi yang diberikan oleh negara-negara barat, namun disayangkan ada sekelompok orang Islam yang bereaksi atau meresponnya dengan tindak kekerasan. Oleh karena itu ada benarnya ketika Prof Nassarudin Umar mengatakan bahwa terorisme adalah anak kandung globalisasi. Dengan kata lain bahwa konflik yang terjadi selama ini tidaklah disebabkan oleh satu faktor saja atau satu alasan saja, melainkan ada banyak faktor yang menyebabkan atau memperluas skala konflik.

Dialog Peradaban: Antara Iman dan Amal Kita

Berkaca pada kondisi yang demikian, maka adalah bijak bagi setiap umat beragama untuk melakukan dialog peradaban (interfaith dialogue/ dialogue of civilization) bukan benturan peradaban (clash of civilization) yang diwacanakan oleh Samuel Hantington itu. Komunikasi yang utuh diperlukan sebagai sarana untuk saling mengenal lebih dalam dan benar dalam memahami. Dalam Islam hal ini jelas diperintahkan untuk saling mengenal sebagaimana termaktub dalam Al Quran: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Al Hujurat:13)

Dalam hubungan antar agama menarik juga kita perhatikan kembali ayat Al Quran surat Al Baqoroh: 62 “Sesungguhnya orang-orang mu’min , orang-orang Yahudi , orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin , siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Mengomentari ayat ini Hamka Allahu yarham dalam Magnum Opus-nya Tafsir Al Azhar Juz I (Pustaka Panjimas) mengatakan:

“Kesan pertama yang dibawa oleh ayat ini ialah perdamaian dan hidup berdampingan secara damai di antara pemeluk sekalian agama dalam dunia ini. Janganlah hanya semata-mata mengaku Islam, Yahudi atau Nasrani atau Shabi’in, pengakuan yang hanya di lidah dan karena keturunan. Lalu marah kepada orang kalau dituduh kafir, padahal Iman kepada Allah dan Hari Akhirat tidak dipupuk, dan amal shalih yang berfaedah tidak dikerjakan”

Berbeda dengan kalangan liberal yang menyitir ayat ini sebagai dalil pluralisme agama yang mengatakan bahwa semua agama adalah sama, Hamka justru mengatakan bahwa ayat ini membawa pesan damai diantara pemeluk agama. Sebuah dalil yang mengisyaratkan harmonisasi kerukunan hidup umat beragama. Ayat ini menekankan bahwa iman tak cukup sekedar dikatakan tapi juga dibuktikan dengan amal shalih yang nyata. Ketika seseorang menyatakan dirinya sebagai Yahudi maka imanilah Musa as dan Kitab Tauratnya lalu beramal sesuai dengan tuntunannya. Ketika seseorang menyatakan diri sebagai Nashroni maka imanilah Isa as dan Kitab Injilnya. Maka hendaklah setiap orang yang mengaku beriman untuk membuktikan keimanannya dengan beramal shalih.

Selanjutnya Hamka mengatakan:

“Apabila orang telah berkumpul dalam suasana iman, dengan sendirinya sengketa akan hilang dan kebenaran akan dapat dicapai. Yang menimbulkan cemas dan takut di dalam dunia ini ialah apabila pengakuan hanya dalam mulut, aku mukmin, aku Yahudi, aku Nasrani, aku Shabi’in, tetapi tidak pernah diamalkan. Maka terjadilah perkelahian karena agama telah menjadi golongan, bukan lagi dakwah kebenaran. Yang betul hanya aku saja, orang lain salah belaka. Orang tadinya mengharap agama akan membawa ketentraman bagi jiwa, namun kenyataannya hanyalah membawa onar dan peperangan, kerena masing-masing pemeluk agama itu tidak ada yang beramal dengan amalan yang baik, hanya amal mau menang sendiri.”

Dari sini kita memahami bahwa munculnya perselisihan, persengketaan, bahkan peperangan bukan karena agama itu sendiri, melainkan pemeluk agama tersebut. Menjadikan iman hanya sebatas perkara pengakuan. Orang seperti yang demikian sebetulnya tidak mengetahui dalam iman dan mengimani ketidaktahuan. Hamka juga mengatakan bahwa ketika ada seorang yang mengaku beriman kepada Allah SWT tapi tidak menjalankan perintahNya dan menjauhi larangan-Nya. Atau dengan kata lain imannya hanya sebatas pada lisan belaka, maka pada hakikatnya iman orang itu sama seperti Yahudi, Nashroni, dan Shabi’in.

“Mengapa orang yang beriman diisyaratkan beriman lagi? Setengah ahli tafsir mengatakan, bahwa yang dimaksud di sini barulah iman pengakuan saja. Misalnya mereka telah mengucapkan Dua Kalimat Syahadat, mereka telah mengaku dengan mulut, bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Tetapi pangakuan itu baru pengakuan saja, belum diikuti oleh amalan, belum mengerjakan Rukun Islam yang lima perkara. Maka iman mereka itu masih sama saja dengan iman Yahudi, nasrani dan Shabi’in. Apatah lagi orang Islam peta bumi saja atau Islam turunan. Maka Islam yang semacam itu masih sama saja dengan Yahudi, Nasrani dan Shabi’in.”

Dalam sejarah kita ketahui bahwa ada beberapa orang Yahudi yang kembali kepada Islam seperti Abdullah bin Salam. Begitu pula dari kalangan Nasrani seperti Tamim ad-Dari, Adi bin Hatim atau Kaisar Habsyi (Negus). Juga Salman al Farisi yang berpindah dari agama Majusi, lalu memeluk Nasrani dan kemudian menyatakan iman kepada Allah dan Hari Akhirat dan mengikutinya dengan amal shalih. Maka semua orang-orang yang telah menyatakan iman dan mengikuti dengan bukti ini, hilanglah dari mereka rasa takut, cemas dan duka¬cita. Inilah makna dari ayat tersebut yang berujung pada iman kepada Allah dan mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al Asy’ari, bahwa Nabi bersabda:

“Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari umat sekarang ini. Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR. Muslim)

Hadits ini memperkuat bahwa yang dimaksud oleh ayat 62 surat al Baqoroh bukanlah mengenai pluralisme agama, melainkan kewajiban seluruh pemeluk agama untuk beriman pada Allah SWT dan bagian dari keimanan itu adalah mempercayai dan mengikuti syariat Muhammad Rasulullah SAW. Karena pada hakikatnya Kitab-Kitab Suci, Nabi dan Rasul membawa syariat yang sama yakni mendakwahkan keesaan Allah SWT (Tauhidullah)

Melihat perkembangan kerukunan keberagamaan kita hari ini juga berkaca pada tafsir Hamka atas surat al Baqoroh 62 membuat kita memahami bahwa sebagai mukmin kita justru harus mengajak setiap orang yang mengaku dirinya beragama, apapun agama mereka, untuk mendalami imannya itu dan mengerjakan amal shalih. Ketika Ahlul Kitab mendalami isi Taurat dan Injil yang sebenarnya justu mereka akan kembali pada Allah, yakni menyambut seruan Al Quran pada kalimatun sawa, yaitu menyembah pada Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun (Tauhid). Perlu rasanya kembali kita deklarasikan keimanan yang jujur dan jujur dalam beriman hingga tercipta susunan masyarakat yang harmoni dalam keberagaman keberagamaan kita. Wallahu ‘alam bish showab.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

PBB: Kematian Mursi Harus Diselidiki Secara Independen

Figure
Organization