Topic
Home / Narasi Islam / Sepenggal Kisah di Taman Surga

Sepenggal Kisah di Taman Surga

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Sisa TPQ Raudhatul 'Amal Cadek Permai pasca tsunami.

04.50 Pagi,

dakwatuna.com – Aku bangun dari tidur di atas meja kantor setelah setengah jam yang lalu baru saja kerja lembur menyusun APBD Tahun Anggaran 2005, beberapa hari kami diperintahkan untuk kerja siang malam karena deadline yang harus dipenuhi. Setelah cuci muka, aku minta izin atasan dan pulang ke rumah.

05.15

Sesampai di rumah shalat subuh dan tidur lagi….

07.55

Aku terbangun karena merasakan gempa yang luar biasa dahsyat, kusuruh adikku untuk keluar rumah, gempa berlangsung sangat lama… mungkin 4-5 menit atau lebih… pohon mangga di depan rumah bergoyang seperti ditiup angin topan… beberapa barang di rumah jatuh dan terdengar suara pecahan kaca/gelas…

09.40

Bapak dan Mamak yang sedang naik haji di Mekah menelepon menanyakan keadaan, Alhamdulillah tidak apa-apa, tetapi 2 orang adik di Banda Aceh tidak dapat dihubungi…

——–

Peristiwa Gempa bumi 9,1 Richter dan Gelombang Tsunami setinggi 10 meter/lebih dengan jarak tempuh 5 Km/lebih mengguncang dunia. Aceh yang bersimbah darah dan berstatus daerah operasi militer yang puluhan tahun rakyatnya dicekam ketakutan karena pembunuhan akibat konflik bersenjata, mengalami musibah besar. Dunia datang membantu Aceh dan Perdamaian juga tiba, yang sepertinya hanya singgah sebentar…

——–

Di sebuah tempat bernama Cadek Permai, ada sebuah Taman Pengajian Al-Qur’an (TPQ) yang baru berdiri bernama Raudhatul ‘Amal. Aku dipercayakan menjadi Direktur/Ketua di situ, selama hampir 3 tahun (2001-2003) aku dan tim pengajar mengabdikan diri mendidik anak-anak komplek ini untuk belajar Al Qur’an. Walaupun kami tidak memiliki sertifikasi tapi peran ini harus kami ambil sebagai ibadah dan tanggungjawab bagi ummat.

Usia anak-anak yang mengaji dari 3 tahun s/d 14 tahun, konsep pengajaran kami bagi grup menurut kemampuan Iqra’ masing-masing anak, mulai Iqra’ 1 s/d 6, tidak menurut usia anak, sehingga dalam setiap grup bisa jadi ada perbedaan usia karena ada anak yang masih kecil tapi sudah lancar ngaji ataupun ada anak yang sudah besar tapi tidak lancar. Jumlah santri saat itu mencapai 50 orang lebih dan tenaga pengajar sekitar 8 orang dengan beberapa orang sebagai ustadz tamu. Kami sangat kewalahan, menghadapi anak kecil tidak mudah, ada yang nakal, bandel, cengeng, tapi ada juga yang manis, patuh dan selalu tersenyum. Sehingga perasaan kami sebagai pengajar juga demikian, kadang marah, kesal, sebal namun juga senang dan tertawa melihat tingkah polah mereka.

Tsunami menghapus itu semua dan membuatnya menjadi kenangan…

Lebih dari setengah jumlah santri yang ada meninggal dunia, ada yang ditemukan jenazahnya dan ada yang tidak. Kenangan dari mereka sangat berkesan hingga saat ini, berikut sepenggal kisah:

1. Rizky Marliandi (Laki-laki, 12 tahun)

Anak yang luar biasa, sopan, ganteng, baik, dewasa, ramah, punya segudang bakat, kemampuan tilawahnya melebihi diriku, hafalan surat pendek paling banyak, bisa buat dan baca puisi, jago matematika, bisa mengelola pustaka TPQ secara mandiri, calon pemimpin masa depan. Santri yang kubanggakan sekaligus kukagumi.

2. Nouval (Laki-laki, 8 tahun)

Dia satu-satunya santri di bawah 10 tahun yang bisa ngaji Qur’an besar sehingga dimasukkan dalam grup Al-Qur’an bukan Iqra’. Kecil, kurus, pintar, bijak, sangat polos dan percaya diri. Bahkan dia masuk kategori santri terbaik di grup ini. Satu ungkapannya sangat berkesan, adalah saat aku bertanya, ” Nouval, nanti kalo gede mau jadi apa”?  Dia menjawab, “Mau jadi seperti Ustadz” dengan polosnya. Satu menit, aku terpaku dan air dalam kantong mataku mendesak mau keluar. Hatiku berkata, “Siapakah aku ini? manusia yang penuh dosa, tapi Allah menggerakkan hati anak kecil ini agar dia mau menjadi diriku saat dia besar nanti.” Nouval, kamu selalu dalam kenanganku…

3. Haura (Perempuan, 4 tahun)

Haura adalah Haura, sangat santun, cantik, patuh dan rajin. Datang paling cepat dan pulang paling akhir. Dia santriwati favorit kami dalam mengajar karena kepatuhan dan kemauannya yang keras untuk mengaji.

4. Isti (Perempuan, 5 tahun)

Santriwati yang rajin, pintar dan menyejukkan hati, memiliki senyum indah dengan lesung pipitnya, wajahnya teduh, jika kesal menghadapi santri lain yang bandel, cukup melihat wajahnya maka hati akan damai.

5. Saidi (Laki-laki, 14 tahun)

Dia santri paling tua tapi tidak begitu lancar mengaji, tapi punya semangat yang tinggi untuk belajar. Bahkan saat kami putuskan dia turun ke grup Iqra’ 6 dari grup Qur’an Besar, dia menerima dengan baik dan cukup percaya diri bergabung dengan anak-anak yang setengah usianya. Belajar mengaji adalah perjuangan besar buat dia, candaan teman-temannya menjadi pendorong semangatnya untuk terus belajar. Saat berita kemenangan tim sepakbola TPQ kami menghadapi desa sebelah aku muat dalam Koran TPQ dengan menampilkan pahlawan kemenangan adalah Saidi sebagai Kiper, senyum besar selalu menghiasi hari-harinya. Potongan koran itu selalu dia simpan dalam kantongnya dan dibawa ke manapun dia pergi.

6. Opal (Laki-laki, 3,5 tahun)

Santri paling kecil, imut, masih cadel, menghadapinya harus melihat mood, sebelum ngaji minum susu dulu, terus jalan-jalan menyapa kakak-kakak ngaji, saat mau ngaji Iqra’ 1, “Aaaa, Baaa,…terus apa ustadz?” nanya Opal.

“Taaa,” jawab ustadz.

“Truss…” kata opal lagi. “Tsaaa” kata ustadz… “Trusss…” nyahut opal… Aduh opal, ini yang ngaji Ustadz apa Opal sih… :-)

7. Sally (Perempuan, 8 tahun)

Santriwati yang baik, manis, cantik, modis, lembut dan pintar. Selalu hadir ke pengajian dengan busana muslimah terbaru. Hampir semua santri laki-laki berebutan untuk bicara dengan dia.

8. Fauran (Laki-laki, 4 tahun)

Satu kata untuk dia, Jenius. Usia 4 tahun tapi sudah lancar sampai Iqra, 4-5. Selalu banyak bertanya, kalo gak mood gak mau ngaji, kadang ketiduran sambil ngisap jempol. Anak yang hebat.

 

Asia University, Wufeng, Taichung, Taiwan.
11 Desember 2011
09.38
Suhu 13 Derajat Celsius

Catatan:

Mereka ini adalah tokoh nyata, karena kelupaan mungkin nama dan usia ada yang salah. Untuk itu saya mohon maaf dan berdoa. Semoga saya dipertemukan kembali dengan mereka di Taman Surga. Aamiin.

(Kahlil Muchtar)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (36 votes, average: 9.33 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

Human Initiative Distribusikan Bantuan Ke Lampung Selatan

Figure
Organization