Pagi ini aku sangat malas ke luar. Karena udara kota New York sangat dingin. Tadi malam hujan turun setelah sebelumnya salju mengguyur jalanan kota. Dari jendela aku melihat orang-orang sudah mulai keluar menuju kantor mereka masing-masing. Dalam kamar aku sendiri membuka beberapa buku yang ada. Sebagian buku berupa kumpulan iklan tentang berbagai fasilitas tehnologi yang setiap saat mereka bikin untuk membuat hidup semakin nyaman. Ada informasi tentang bermacam warna dan bentuk kaca mata. Ada alat sapu atau vacuum pembersih ruangan. Ada berbagai sabun pencuci tangan. Ada alat penutup telinga supaya terlindungi dari suara yang memekakkan. Ada berbagai bentuk meja computer atau meja santai lengkap dengan kursinya. Dan banyak lagi informasi lainnya yang menggambarkan betapa manusia tidak ada habis-habisnya memikirkan bagaimana supaya menikmati kenyamanan di dunia. Aku hitung jumlah halaman buku tersebut sampai 2934. Sangat tebal memang. Tetapi untuk urusan dunia manusia memang tidak akan pernah kapok. Mereka akan terus mengejar dan mengejar.
Mereka Mengejar Kenyamanan
Yang manarik untuk aku tulis dalam catatan ini adalah pertanyaan yang muncul tiba-tiba dalam benak: Apakah mereka masih belum yakin dengan kamatian? Bukankah setiap hari mereka melihat orang-orang meninggal dunia? Mengapa sampai sedemikian rupa habis-habisan mengurus dunia? Sampai kapan bermegah-megahan dengan dunia ini akan berakhir? Lalu kapan akan mempersiapkan diri untuk akhirat? Semua pertanyaan ini mungkin belum pernah terlintas di benak mereka? Sebab bagi mereka alam akhirat tidak konkrit. Obrolan yang selalu aku dengar di sepanjang hari tidak ada mengenai akhirat, melainkan semua tentang dunia. Sampai sejauh ini mereka memikirkan dunia? Sampai se detail ini dunia menghabiskan segala tenaga pikiran dan usia mereka?
Padahal mereka pasti akan meninggalkan dunia. Padahal dari semua usaha yang mereka lakukan tidak lain adalah untuk mencapai dua kondisi: Terbaik dan terlama. Coba tawarkan dua pilihan rumah kepada mereka, mereka pasti akan memilih salah satunya yang mempunyai kondisi lebih baik dan lebih tahan lama. Dan seandainya sejenak mereka mau berpikir dengan jernih mereka pasti akan menerima bahwa akhirat adalah yang paling tepat untuk dua kondisi tersebut. Itulah mengapa Allah sangat menyayangkan kepada orang-orang seperti mereka dalam surat Al A’laa: bal tu’tsiruunal hayaatad dunya wal aakhiratu khairuw wa abqaa. Sayangnya mengapa kalian masih saja mengutamakan dunia, padahal akhirat lebih baik dan lebih kekal.
Dunia tidak mungkin memberikan kenyamanan yang sempurna. Sedahsyat apapun kenyamanan yang mereka kejar, pasti itu hanya sementara. Setelah itu permasalah baru akan muncul lagi. Karena dunia memang bukan tempat untuk mencari kenyamanan. Berapa banyak orang yang tertipu, lalu mengatakan bahwa nanti aku setelah pensiun akan istirahat total, tidak mau bekerja apa-apa. Tetapi setelah kondisi istirahat itu benar-benar mereka dapatkan, ternyata tidak enak juga. Mereka masih mencari kegiatan yang lain lagi. Benar firman Allah dalam surat Ali Imran 185: wamal hayaatud dunyaa illa mataa’ul ghuruur (Suungguh kehidupan dunia tidak lain hanyalah kenikmatan yang menipu).
Dan memang benar-benar menipu. Tidak sedikit –bahkan mayoritas- manusia yang tertipu oleh dunia. Dulu seorang sufi Ibrahim bin Adham pernah berteriak: dafantum mawtaakum wa ammartumud dunyaa (Wahai anak Adam, telah selalu kalian kuburkan mayat-mayat saudara kalian, tetapi mengapa kalian masih sibuk bermegah-megahan dengan dunia).
Jauh sebelum Ibrahim bin Adham, Rasulullah saw. telah menggambarkan bahwa manusia dengan ibarat seorang musafir dalam perjalanan dan berteduh di bawah pohon, setelah itu ia pergi. Perhatikan sang musafir, apakah ia membawa pohon tersebut? Tentu tidak? Tetapi mengapa persoalan yang kini sungguh banyak memakan waktu dan usia manusia adalah kesibukan tentang bagaimana bermegah-megahan dengan pohon dunia yang pasti akan ditinggalkan dan tidak mungkin ia membawanya.
Kapankah manusia akan segera menyadari hakikat tujuan hidupnya? Kapankah manusia segera mengisi waktunya dengan amal saleh, karena hanya amal saleh yang pasti kelak akan menjadi bekalnya di akhirat. Sungguh pasti menyesal orang-orang yang selama ini hanya menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Sungguh pasti rugi orang-orang hanya cape-cape di dunia, lalu kemudian hanya menjadi bahan baker neraka “aamilatun naashibah, tashlaa naaran haamiyah. Bekerja keras lagi kepayahan. Memasuki api yang sangat panas (neraka)” QS. Al Ghasyiah:3-4.
Semoga kita menemukan kebahagiaan sejati fiddunya wal akhirah di bawah cahaya Islam, Amin. Wallahu a’lam bish shawab.
Redaktur:
Beri Nilai: