dakwatuna.com – Banyak cerita dari para muallaf yang sempat aku temui di berbagai kota di Amerika, seringkali mereka menceritakan bahwa Pencipta langit dan bumi tidak mungkin mempunyai tujuan-tujuan picik dalam mewujudukan alam ini. Tidak mungkin Ia meciptakan langit seagung ini, tidak mungkin Ia menciptakan bumi sehebat ini, tidak mungkin Ia menyediakan air sebanyak ini, oksigen, buah-buhan yang warna-warni dan ciptaan-ciptaan lainnya yang tak terhingga, hanya untuk supaya manusia bermain-main saja!
“Coba bayangkan” kata seorang muallaf dengan semangat sambil memegang segelas air di tangan kanannya “bisa tidak, akal sehat kita menerima bahwa Allah menciptakan manusia sebanyak ini hanya untuk bersenang-senang dengan dosa-dosa, pindah dari wanita ke wanita, pindah dari bar ke bar, tertawa-tawa, mabuk-mabukan dan seterusnya? Apakah sepicik ini Ia menciptakan semua wujud yang ada?”
” Coba kau lihat ” katanya lebih lanjut ” bisa tidak manusia hidup kalau semua wujud di alam ini tidak ada yang mengatur? Tentu tidak! Lalu masuk akan tidak bahwa manusia hidup di muka bumi tanpa aturan? Masuk akal tidak bahwa Pencipta langit dan bumi tidak menurunkan aturan? Masuk akal tidak bahwa semua manusia boleh berbuat seenaknya? Tanpa mengikuti aturan-Nya?”
Aku terdiam mendengarkan tuturannya yang berapi-api. Ketepatan hari itu hari raya.
Pagi hari yang cerah di kota Houston membuat suasana semakin asyik. Namun setelah itu obrolan terputus karena hidangan harus segara kami nikmati. Aku belum sempat berkenalan lebih banyak dengannya. Namanya belum sempat aku rekam. Lalu setelah itu aku tidak sempat menemuinya lagi. Dalam benakku muncul ungkapan yang belum sempat aku katakan kepadanya: “Ini benar-benar pernyataan fitrah. Bahwa fitrah akan selalu berkata benar. Bahwa manusia tidak akan tersesat sepanjang mengikuti fitrahnya. Bahwa iman bukan semata pengakuan. Banyak orang yang mengaku beriman, tetapi kehidupan sehari-harinya tidak mengikuti fitrahnya. Allah swt diabaikan. Dosa-dosa dianggap biasa. Waktu setiap harinya habis hanya dengan main-main. Ibadah ditegakkan bukan sebagai kesadaran fitrah, melainkan sebagai formalitas ritual. Kita sangat membutuhkan kesadaran fitrah ini”.
“Setiap tahun orang-orang Islam merayakan hari raya idul fitri, tetapi di mana fitrah itu dalam keseharian mereka?
Sebab ternyata masih banyak di antara orang Islam yang saling mendzalimi? Masih banyak di antara orang Islam yang saling menipu? Tidak memberikan ketenangan kepada yang lain. Berkata bohong dan dusta? Mencuri kekayaan negara dengan tanpa merasa malu? Rakyat dibodohkan supaya mudah ditipu? Padahal mereka setiap hari menegakkan shalat? Setiap tahun berpuasa Ramadhan? Bahkan banyak yang sudah berkali-kali pergi haji? Tetapi masih saja fitrah mereka mati?”
“Sungguh kita sangat membutuhkan fitrah yang hidup? Bukan iman formalitas. Bukan Islam pura-pura. Kita butuh kejujuran Iman dan Islam. Tidak ada artinya iman jika ternyata sikap keseharian kita tetap menyepelekan Allah swt. Apa artinya mulut kita berkomat-kamit mengucapkan laa ilaaha illa Allah, sementara ajaran Allah swt diinjak-injak. Apa artinya wajah kita bersujud, mata kita, telinga kita, hati kita, kaki kita, tangan kita bersujud, sementara perilaku sehari-hari kita tidak ikut Allah swt.
Roda ekonomi yang kita jalankan menggunakan sistem riba. Halal-haram dikaburkan batasannya. Kemaksiatan dikoordinasi dalam paket-paket yang sengaja dilegalkan secara struktural. Padahal Allah swt jelas sekali mengharamkan dalam Al Qur’an. Kedzaliman politik ditutup-tutupi dengan diplomasi yang menjijikkan”.
Dalam hati aku berteriak mendengarkan pernyataan sang muallaf tadi. Dalam benak aku berkata: “Padahal itu baru masuk Islam, mengapa justru fitrahnya lebih hidup dari pada orang yang sudah bertahun-tahun mengaku muslim?
Apa yang salah dalam diri keumatan kita? Mengapa Islam lebih sebagai ritua-ritual yang mati di pojok masjid? Dimanakah Islam dalam diri kita sebagai pelaku bisnis? Sebagai pelaku politik? Sebagai pengusaha? Sebagai pedagang di pasar-pasar? Sebagai mahasiswa? Sebagai dosen? Sebagai pengelola pendidikan? Sebagai pejabat? Mengapa masih banyak orang Islam yang rajin shalat, puasa, haji tetapi masih rela makan harta haram? Masih rela berzina? Masih rela korupsi? Masih rela menipu orang lain?”
Dengarkan jeritan salah seorang saudara kita Ahmad Ihsan Tanjung, ia mengungkapkan kesannya setelah membaca sebagian catatan perjalananku ke Amerika di www. dakwatuna.com: “Aku terharu dengan orang kafir yang menjadi muslim yang sejati. Malu rasanya diri ini yang telah ber-Islam sejak lahir tapi masih ragu dalam menjalankan Islam dengan kaffah”. Wallahu a’lam bishshawab.
Redaktur:
Beri Nilai: