Menjadi Aktivis Dakwah, Bukan Untuk Batu Loncatan

ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Pernahkah Anda perhatikan, orang yang begitu aktif di masjid. Semua kegiatan ia jalani. Mulai dari muazin, marbot, bikin surat, hingga berangkat memfotocopy. Tanpa kenal lelah, ia berkeliling menuntaskan apa yang menjadi amanah tambahan: mengumpulkan sumbangan untuk masjid. Gaji kecil tak masalah. Yang penting hidup tenang. Namun selang beberapa tahun kemudian, setelah “merasa” cukup. Ia pun hengkang. Ternyata, menjadi marbot masjid hanya batu loncatan, mengisi luang daripada tidak ada kegiatan.

Pernahkan anda perhatikan, orang yang begitu rajin “ngantor” di yayasan, ormas, orpol. Kafalah kecil tak masalah, yang penting mertua tak berkeluh kesah dan istri tak bersimbah airmata. Namun seiring dengan perkenalan yang makin meluas. Ia pun “hengkang”. Ternyata, menjadi aktivis itu hanya batu loncatan, daripada berpeluh menjadi pengangguran.

Pernahkah Anda perhatikan, sosok pengajar yang “meminta” pekerjaan untuk mengajar. Gaji kecil tak masalah. Yang penting ada kegiatan. Bicaranya teramat mengena. Katanya, menjadi guru itu sangat mulia. Berjuang membangun generasi harapan. Namun setelah lulus PNS atau ada pekerjaan yang lebih basah. Dalih dan alasan dibuat supaya hengkang. Ternyata menjadi guru itu hanya batu loncatan, daripada anak istri di-PHP.

Kawan. Sunnatullah perjuangan adalah bunyaanun marshush. Batu-bata yang tersusun rapi, membentuk kekuatan. Saya memahami, dalam berjamaah itu, bertopang pada niat awal. Bukan karena tidak ada kegiatan, lalu bergabung dalam sebuah jamaah. Nah saat  Apa yang hendak dicari dari hidup berjamaah? Kontribusi. Memberikan kontribusi maksimum, sesuai dengan kadar kemampuan. Maka orientasi berjamaah, bukan karena ada gula yang akan kita bawa. Tapi karena kita menjalankan perintah Allah, berjuang dalam barisan.

Oleh karena itu, saya sangat bahagia tidak menjadi dan berada di posisi apapun. Waktu luang berlimpah. Kesempatan berkomunikasi tanpa sekat-sekat birokrasi. Maka kondisi ini sepatutnya digunakan untuk membangun kapasitas personal, bukan malah sibuk berkhayal. Perhatikan kinerja, kualitas diri, integritas, bila perlu tanyakan kepada yayasan, orpol, DKM, sekolah, apakah ada yang kurang dari kinerja yang selama ini dilakukan.

Namun sayangnya. Hal yang terjadi justru sebaliknya. Saat kecewa, kita tebar caci maki dan jala-jala cela. Seakan semua buruk. Dirinya yang baik. Lalu kita serang personal-personal di jamaah, padahal kita tak lebih dari timbal-timbal benalu jamaah. Ada tidak adanya kita, tidak menggenapkan atau mengurangkan. Wujuuduhu ka’adamihi. Saat kita tebar cela, sebenarnya menimpuk diri sendiri. Menepuk air di dulang, memercik muka sendiri. Jangan sampai mengeluhkan gaji, tapi fasilitas DKM, yayasan, orpol digunakan tanpa batas. Wajar jika setiap gajian selalu kurang, karena keberkahan telah hilang. Kemanapun kita pergi, jika mentalitasnya masih sebatas “batu loncatan”, kita tak akan pernah mampu meloncat. Yakinlah itu! (usb/dakwatuna)

Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...