‘Ukuran Stabilitas Israel di Bawah Kekuasaan Bashar Assad’

Pasukan Israel di Dataran Tinggi Golan. (Aljazeera)
dakwatuna.com – Damaskus. Secara teknis, Suriah dan Israel berada dalam situasi peran sejak tahun 1948. Tepatnya sejak pembersihan etnis Palestina oleh militer Israel, dan perang Arab-Israel yang terjadi di tahun yang sama.

Tahun 1967, Israel mencaplok teritori Suriah, yaitu Dataran Tinggi Golan yang berada di wilayah selatan Suriah (perbatasan Suriah-Israel). Hingga saat ini, pendudukan wilayah itu masih berlangsung.

Kedua negara menandatangani perjanjian pelepasan pada tahun 1974, yaitu setelah perang di tahun 1973 antara Israel, Suriah dan Mesir.

Wilayah perbatasan relatif lebih tenang sejak saat itu.

“Ada ukuran stabilitas dan prediktabilitas terhadap cara Suriah bertindak di bawah Assad. Itu merupakan hal yang baik, dari sudut pandang Israel,” Aron Lund, anggota The Century Foundation, wadah pemikir yang berbasis di New York, kepada Aljazeera.

“Mereka (Israel, red) sudah memiliki Dataran Tinggi Golan dan tengah menikmati superioritas militer, praktis hal itu menjadi sesuatu yang rasional untuk menjadi aktor yang berkepentingan untuk bertahan hidup, dengan tanggung jawab ada di Damaskus, bahkan ketika ada konflik proksi dan ketidaknyamanan yang lain,” imbuhnya.

Namun letusan perang di Suriah membuka lembaran baru dalam hubungan Suriah-Israe.
Kekuatan dan pengaruh yang tumbuh dari Iran dan Hizbullah Syiah di Suriah menjadi perhatian utama Israel.

Khawatir Iran memasok senjata untuk milisi Hizbullah, Israel sering membombardir konvoi senjata. Mereka mengatakan, akan terus menghalangi setiap upaya untuk menopang gerakan Lebanon.

Israel juga melakukan serangan rutin dalam bentuk tembakan roket, selain juga pembunuhan dan serangan udara sejak perang dimulai. Sementara rezim Suriah tidak pernah membalasnya secara langsung.

Ofer Zalzberg, pengamat Israel-Palestina, menyebut hubungan baik antara Rusia dengan Israel, Suriah, Iran dan Hizbullah. Menurutnya itu tindakan baik untuk menjadi ‘broker pemahaman’ antar semua pihak.

Dengan kepentingan politik Moskow dalam menjaga Assad tetap berkuasa sambil mempertahankan pengaruhnya di sana, Lund percaya bahwa untuk saat ini, kekuatan yang terlibat dalam perang proksi Suriah merasa nyaman dengan status quo.

“Rusia tertarik untuk mengapungkan gagasan tentang bagaimana hal itu bisa menjadi penyeimbang bagi Iran, sehingga akan menarik minat Barat agar Assad tetap berkuasa dan peran Rusia sebagai pialan politik meningkat,” kata Lund.

“Baik Israel dan Amerika Serikat telah berulang kali menunjukkan minatnya akan hal itu,” pungkasnya. (whc/dakwatuna)

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...