Banyaknya Tantangan Regional Erdogan yang Perlu Anda Ketahui

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. (Aljazeera)

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. (Yenisafak)
dakwatuna.com – Istanbul. Ketika Presiden Turki Recep Tayyip Erdoga mengumumkan percepatan pemilu pada bulan lalu, ia menyebut masalah kebijakan luar negeri dan tantangan regional menjadi alasan utama keputusannya.

Jutaan rakyat Turki akan merayakan pesta demokrasi pada 24 Juni mendatang. Turki yang secara luas dianggap sebagai mercusuar dunia Islam akan mengalami transformasi total pada saat itu. Salah satunya, perubahan sistem pemerintahan dari parlementer menjadi presidensia.

“Perkembangan di Suriah dan di tempat lain mendorong kita untuk cepat beralih kepada sistem eksekutif baru. Gunanya untuk mengambil langkah-langkah masa depan negeri kita dengan cara yang lebih kuat,” kata Erdogan di hadapan wartawan bulan lalu.

Pemilu akan mengakhiri fase transisi di antara dua sistem. Selain juga memberikan kekuatan besar di tangan presiden baru yang akan terpilih.

Sebagai petahana, Erdogan disebut-sebut sebagai favorit pemenang. Ia juga sudah sangat lama menyampaikan keinginan untuk berpindah dari sistem parlementer ke sistem presidensial.

Seiring dengan berkuasanya AKP, ia berpendapat sistem baru itu akan memungkinkannya untuk mengambil keputusan yang lebih kuat. Untuk ini, ia berkaca pada presidensi eksekutif seperti yang berlaku di Prancis dan Amerika.

Suriah; Agenda Utama

Erdogan harus membuat keputusan sulit menghadapi berbagai tantangan Turki di segala bidang.

Di antara isu yang mendesak adalah: ancaman keamanan dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK); benturan kepentingan dengan AS di Suriah utara; ekstradisi Fethullah Gulen, yang disebut dalang di balik upaya kudeta gagal 2016 silam; rencana bergabungnya Turki ke Uni Eropa; pengaruh Iran di Kawasan; konflik di Siprus yang berkepanjangan; termasuk hubungan dengan Mesir, Israel, Libya dan Yaman.

Banyaknya tantangan ini menunjukkan pendorong utama kebijakan luar negeri Turki di masa depan adalah geopolitik regional. Dengan Suriah sebagai agenda utamanya.

Perlakuan Turki terhadap tetangga di selatannya sangat berbeda dengan yang ditampilkan satu dekade lalu.

Setelah berkuasa pada 2002 lalu, AKP menetapkan kebijakan luar negerinya “nol masalah dengan negara-negara tetangganya”.

Konsep itu membuat Erdogan memiliki hubungan kerja dan pribadi yang cukup erat dengan Presiden Suriah Bashar Assad. Bahkan membantu meluncurkan negosiasi tak langsung antara Suriah dan Israel.

Namun, setelah maraknya Arab Spring, hubungan keduanya mulai terasa masam.
Setelah bertahun-tahun mendukung kelompok oposisi, Turki gagal menyetir konflik ke arah yang diinginkannya.

Malah sekarang pasukan Turki berbasis di beberapa wilayah Suriah seperti Afrin, Idlib dan al-Bab. Turki juga harus menampung lebih dari 3,5 juta pengungsi Suriah. Selain juuga harus menghadapi segudang masalah dari konflik tetangganya itu.

Pengerahan pasukan ke Afrin, dalam operasi ‘Ranting Zaitun’, bertujuan menghantam milisi YPG dari perbatasan selatan dengan Suriah. Ankara menyebut YPG merupakan sayap dari PKK yang dianggap teroris.

“Kekuatan Barat mengambil langkah besar untuk mengacau Suriah setelah 2011. Tapi Turki menyadari bahwa itu adalah kesalahan besar, dan mengambil sikap yang berbeda saat ini,” kata Ahmet Yavuz, pensiunan jenderal kepada Aljazeera.

Erdogan juga beberapa kali mengecam AS karena mendukung kelompok militan Kurdi itu. Sementara Washington berdalih milisi kurdi itu membantunya dalam memberantas ISIS.

Memimpin Dunia Islam?

Melihat berbagai pergerakan Turki, seperti ekspansi ekonomi dan politik di Somalia, Sudan dan daerah lain, menunjukkan betapa kebijakan AKP bertujuan untuk membawa negaranya menjadi pemain di kancah regional hingga global.

Lawan-lawan Erdogan menuduhnya menggunakan ideologis dan ekpansionis sebagai ambisi untuk memimpin Turki.

Benli, seorang anggota AKP mengatakan, tuduhan seperti itu sangat tidak berdasar.

“Kami tidak berambisi untuk memimpin dunia Islam. Tapi satu hal yang membedakan Erdogan dengan yang lain adalah bahwa ia siap berjalan di lintasan yang benar, apapun konsekuensinya dan bagaimanapun perkataan orang,” katanya.

Sementara ini tidak ada yang dapat membantah peranan Turki baik di kawasan maupun di tempat lain. Maka harus dilihat bagaimana presidensi eksekutif baru akan membentuk dan menentukan jenis kepemimpinan yang ditawarkannya. (whc/dakwatuna)

Konten ini telah dimodifikasi pada 02/06/18 | 06:45 06:45

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...