Mengenal Sejarah Wakaf

Ilustrasi. (nysenate.gov)

dakwatuna.com – “Yang disebut miskin itu bukanlah orang yang berkeliling dari manusia satu kepada manusia yang lain. Sehingga bertolak dari satu dua biji kurma atau sesuap dua suap makanan. Akan tetapi, yang disebut miskin itu ialah manusia yang tidak menyadari kekayaannya dan tidak mengerti ke manakah harta yang ia miliki harus disedekahkan, juga yang tidak mau berusaha dan hanya mengandalkan pemberian orang lain.”

Wakaf diambil dari kata “waqafa”, menurut Bahasa menahan atau berhenti. Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir, tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak masyarakat umum.

Sumber hukum wakaf terdapat dalam surat Ali Imran ayat 92 yang mengatakan, “kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. Sedangkan hadits Nabi yang diriwayatkan muslim disebutkan bahwa “apabila manusia wafat, terputuslah amal perbuatannya kecuali dai tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu pengetahuan, dan anak yang shalih”.

Wakaf mempunyai peran penting dalam pembangunan masyarakat dan bahkan dalam pembangunan peradaban manusia. Dalam hal ini adanya kesinambungan manfaat pada donasi wakaf, kaum muslimin di sepanjang sejarah Islam menemukan bahwa bentuk khusus dari sumbangan karitatif ini merupakan cara terbaik untuk menjelaskan keterikatan mereka dengan ajaran Islam.

Keberadaan wakaf sejak masa Rasulullah saw, diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah di Khaibar, lalu Umar bin Khattab menghadap Rasulullah saw untuk memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya dilakukan terhadap tanahnya tersebut. Umar berkata kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik selain tanah di Khaibar itu. Karena itu saya memohon petunjuk tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu.”

Rasulullah menjawab, “jika engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan engkau sedekahkan”. Lalu Umar menyedekahkan dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan. Umar salurkan tanah itu kepada orang fakir, ahli familinya, membebaskan budak, orang-orang yang berjuang fisabilillah, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Penguasa wakaf sendiri boleh makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas-batas yang ma’ruf. Sumber-sumber lain menyebutkan bahwa wakaf Umar bin Khattab adalah wakaf yang pertama dalam Islam.

Menurut hadits riwayat an-Nasa’i dan at-Turmudzi dari Utsman, bahwa Rasulullah saw pernah datang ke Madinah, sedangkan Madinah ketika itu tidak ada air tawar kecuali sumur rumah, lalu Rasulullah bersabda, “siapakah yang mau membeli sumur rumah lalu ia memasukkan timbanya ke dalam sumur itu bersama timba-timba kaum muslimin lainnya yang dia akan mendapatkan sesuatu yang lebih bik daripada sumur itu kelak di surga.”

Lalu Utsman membeli sumur itu dari tulang punggung hartanya. Selanjutnya, sumur tersebut diserahkan kepada penduduk Madinah untuk kepentingan hidup mereka. Namun demikian, Utsman tetap memanfaatkan airnya untuk kepentingan sehari-hari. Pemberian untuk kepentingan umum sebagaimana yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah wakaf. Di dalam hadits lain diceritakan dimasa Rasulullah saw hidup, Bani Najjar membangun bersama-sama sebuah masjid dan memberikannya untuk kepentingan umum.

Jadi wakaf merupakan investasi akhirat yang dilakukan didunia dengan acara menyedekahkan sebagian harta yang kita miliki untuk kepentingan manusia. Amal tersebut adalah sebagai sedekah jariyyah untuk menolong kita pada saat hari perhitungan kelak di akhirat. Maka dari itu pandai-pandailah kita sebagai manusia menggunakan harta di jalan Allah dengan baik. (dakwatuna/hdn)

Mahasiswi kampus STEI SEBI yang berasal dari Kota Depok. Lahir di Bogor pada bulan Mei 1998. Anak ke-4 dari 4 bersaudara. Mempunyai 2 kakak laki-laki dan 1 kakak perempuan. Aktivitas saat ini selain belajar di kampus adalah mengikuti kegitan keakhwatan, forum daerah, dan program asrama yaitu Tahfidzh Quran.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...