Kesempurnaan Seorang Ibu

Ilustrasi. (seehati.com)

dakwatuna.com – Mutiara hati seperti matahari. Tak pernah henti menyinari alam ini. Seberkas cahaya ia hantarkan dengan hati. Bila jauh darinya tubuh terasa ringkih. Bila di dekatnya tubuh ini tak ingin pergi.

Ya, dia adalah Ibu. Ibuku, Ibumu dan Ibunya diciptakan sama oleh Tuhan. Berbalut hati yang lembut layaknya malaikat penjaga. Lewat hati itu ia salurkan kasih sayang sepanjang masa. Tak kenal rasa lelah, itulah satu tekadnya. Ia rela bertaruh nyawa hingga titik darah penghabisan. Terimakasih Tuhan. Kalimat penuh arti itu tak henti-hentinya terucap dari bibirku. Sudahkah hari ini kau ucapkan “Aku Sayang Ibu”?.

Bila kembali melihat ke belakang, Ibu di hadapkan pada dua pilihan, antara hidup dan mati. Lewat aku, sebuah janin kecil yang berada di dalam rahimnya, Ibu jaga semata-mata agar sang buah hati dapat terlahir ke dunia. Dari bulan ke bulan, janin kecil itu tumbuh dan membuat perut Ibu mulai membesar. Ibu mulai sulit untuk berdiri dan berjalan. Tetapi apakah ibuku mengeluh? Tentu tidak. Ibuku sangat menikmati masa kehamilannya.

Sesaat aku dilahirkan rasa sakit yang dirasa berubah menjadi tangis bahagia. Aku bangga bisa dilahirkan dari rahim “Sang Pejuang”. Bagiku semua kenikmatan itu merupakan anugerah terindah karena berkat Ibu aku bisa melihat indahnya dunia. Berkat Ibu aku bisa merasakan hangatnya sinar matahari dan melihat bulan bintang yang setia menghiasi gelapnya malam.

Aku dilahirkan dalam keluarga yang lengkap. Ayah, Ibu dan aku. Meskipun keluarga kami terbilang cukup sederhana, namun aku tetap bahagia. Selain Ayah yang bekerja, Ibu juga ikut bekerja. Walaupun bekerja ibuku tak melupakan perannya sebagai Ibu. Aku salut pada Ibu. Ia bisa membagi perannya dengan baik, antara menjadi seorang Ibu dan seorang karyawan. Jika di rumah Ibu mengasuh dan merawatku. Jika di kantor Ibu menjalankan tugasnya sebagai karyawan yang taat pada atasan.

Berbagai peran dapat dimainkan oleh seorang Ibu. Contohnya, Ibuku bisa menjadi guru lesku, teringat cerita Ibu ketika aku berusia empat tahun setiap pulang kerja Ibu selalu mengajarkanku membaca dan menulis. Seperti anak kecil pada umumnya, aku tak ingin belajar yang aku ingin hanya bermain, bermain dan bermain.

Dengan sabar Ibu membujuk dan perlahan mulai mengajariku. Huruf demi huruf aku eja, kata demi kata aku sambung menjadi sebuah kalimat. Selain membaca, Aku juga diajarkan menulis. Tangan mungilku dipandu menuliskan kata demi kata sesuai yang diajarkannya. Benar saja, kesabaran Ibu membuahkan hasil yang manis, aku menjadi pandai membaca dan lihai menulis.

Selain menjadi guru les, Ibu juga dapat berubah menjadi seorang dokter bagiku. Sewaktu aku sakit, Ibu lihai merawatku layaknya seorang dokter yang sedang merawat pasiennya. Ibu memberiku makan serta obat sesuai takaran. Wajahnya yang lelah karena kurang tidur, tak ia perlihatkan padaku. Justru sebuah simpulan senyum selalu diperlihatkan Ibu, serta ucapan doa yang dipanjatkan untuk kesembuhanku.

Tangguh. Sebuah kata aku cetuskan bagi Ibu. Bagaimana tidak, Ibu rela bekerja dari pagi hingga malam demi mewujudkan satu citanya. Sebuah cita-cita mulia, yakni menyekolahkan anaknya hingga sukses. Semangat itu membuat aku tersadar dan terpacu untuk menggapai impian. Impian dimana bisa membuat orangtuaku bahagia, tersenyum manis menikmati masa tua.

Di mataku, ibu adalah segalanya. Ada di setiap suka dan duka. Selalu hadir sebagai penerang dalam kehidupan. Terima kasih atas kasih dan cinta yang tak pernah padam. Doaku takkan terhenti, meski tak ada dalam wujud nyata. Terima kasih Ibu. Aku sayang Ibu. (dakwatuna.com/hdn)

Biasanya dipanggil Gita. Mahasiswi semester 4 di Politekni Negeri Jakarta
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...