Rompi Anti Kanker Warsito Dibahas Pada Diskusi Kanker Amsterdam di Hadapan 38 Negara

Ilmuwan Indonesia pada kegiatan diskusi tentang kanker di Amsterdam. (ist)

dakwatuna.com – Amsterdam. Dua ilmuan Indonesia, Sahudi dan Firman Alamsyah mendapat sambutan hangat ketika mempresentasikan penelitian mereka tentang ECCT atau rompi anti kanker Warsito pada acara “A Matter of Life or Death: Mechanisms And Relevance Of Cell Death For Cancer Biology And Treatment” yang diselanggarakan oleh European Association of Cancer Research, di Amsterdam tanggal 28 hingga 30 Januari 2016 yang lalu.

Presentasi ilmiah tersebut dilakukan di tengah proses reviu yang dilakukan oleh Kemenkes dan Kemenristekdikti terkait teknologi ECCT dan ECVT yang dikembangkan oleh Warsito Purwo Taruno yang hingga hari ini hasilnya belum diumumkan.

Pertemuan ini dihadiri para peneliti kanker dari 38 negara di dunia yang berasal dari universitas dan pusat riset kanker ternama di dunia seperti German Cancer Research Center (DKFZ), Harvard Medical School USA, dan Weitzmann Institute of Science Israel. Fokus pembahasan yang disampaikan yaitu tentang peran multifaset kematian sel di kanker mulai dari mekanisme dasar sinyal kematian sel dan resistensi, mikro tumor, heterogenitas tumor, dan efek kekebalan tubuh untuk menargetkan penemuan dan konsep terapi baru.

Sahudi dan Firman menjadi satu-satunya tim peresenter dari Indonesia dengan judul Cell Death and Induced p53 expression in oral cancer, HeLa and bone marrow mesenchyme cells under the exposure of non contact electric fields/ECCT. Sahudi menjelaskan kalau penelitiannya membuktikan efek pajanan medan listrik voltase rendah, dengan frekuensi menengah dari alat terapi kanker ECCT dan pengukuran variabel yang dilakukan setelah pemberian perlakuan.

“Penelitian ini sangat menjanjikan untuk dilanjutkan dan harus didukung oleh pemerintah sehingga bisa menjadi solusi terapi kanker. Apalagi menurut data yang ada saat ini kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan untuk kanker baru bisa melayani 15% pasien yang ada di Indonesia dan kebanyakan terpusat di Pulau Jawa,” ujar Sahudi yang menyelesaikan studi doktoral di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.

Data Riskesdas Kemenkes menunjukkan prevalensi kanker mencapai 4,3 per 1.000 orang pada tahun 2013, atau diperkirakan terdapat 1 juta orang penderita kanker.

Sedangkan alat kesehatan di Indonesia 94% berasal dari impor. Alat kesehatan dengan teknologi tinggi belum banyak berkembang di Indonesia karena penelitian eksperimentalnya butuh biaya besar, waktu yang lama, hasil yang tidak pasti dan kerja sama banyak pihak.

Menurut Sahudi untuk clinical trial, tidak ada tempat yang lebih cocok dan lebih membutuhkan untuk pengembangan teknologi ini selain tanah air kita tercinta, Indonesia.

Sahudi menyarankan agar koordinasi antara Kemenkes dan Kemenristekdikti perlu dilakukan lebih baik agar terciptanya banyak terobosan dalam teknologi medis dan memberikan solusi baru bagi pengobatan kanker. (Sonia Mahrudin/dakwatuna.com/hdn)

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...