Mevlut juga menegaskan bahwa Berlin tidak perlu memberikan pelajaran demokrasi dan HAM kepada Turki. Selain itu, menurut Mevlut, Eropa saat ini sedang memiliki masalah besar terkait rasisme dan ketakutan terhadap Islam.

Reaksi yang ditimbulkan pun beragam, dan menimbulkan perdebatan di antara para hakim dan politisi AS. Para hakim, mempertimbangkan langkah hukum berdasarkan segala prosedur dan konsekuensinya. Sedangkan para politisi, terbelah menjadi dua, yaitu golongan pendukung dan golongan penolak.

Presiden Amerika, Donald Trump pada Senin (06/03/2017) kemarin, menandatangani perintah eksekutif baru terkait kebijakan imigrasi di Amerika Serikat.

Kanselir Jerman, Angela Merkel pada Senin (06/03/2017), memperingatkan Turki untuk tetap tenang dalam menyikapi krisis diplomatik yang melanda Turki dan Jerman saat ini.

Sumber dari otoritas perbatasan dan penyeberangan, bagian dari Departemen Dalam Negeri di Gaza, mengatakan, “Pada pagi hari ini, Senin, pemerintah Mesir membuka gerbang perbatasan Rafah untuk kedua belah pihak selama tiga hari.”

Perintah eksekutif baru ini sebagai pengganti perintah sebelumnya yang telah dianulir oleh pengadilan federal, dan menimbulkan kontroversi serta kekacauan yang luas.

Mantan Presiden Amerika, Barack Obama, membantah tuduhan Presiden Trump yang menyebutnya telah menyadap pembicaraan Trump selama masa kampanye.

Pemikir Mauritania, Muhammed Shanqeeti, mengatakan bahwa Turki memenuhi syarat untuk menjadi negara pusat di dunia Islam. Penyataan ini diungkapkan Shanqeeti dalam sebuah seminar dengan tema “Turki dan Kekosongan Strategi di Dunia Islam”, Jumat (03/03/2017).

Dari sejumlah nama yang dinominasikan, ada dua nama teratas dan menjadi sorotan, yaitu Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan Presiden Amerika, Donald Trump.