dakwatuna.com – Hubungan diplomatik Ethiopia, Sudan dan Mesir sedang panas. Penyebabnya, rebutan air. Ethiopia membangun “Grand Renaisance Dam” di hulu sungai Nil yang mengancam jatah suplai air ke Sudan dan Mesir. Sesungguhnya, hulu sungai Nil terpecah dua. The Blue Nile yang bersumber di Ethiopia dan The White Nile yang bersumber di Uganda. Kedua hulu itu kemudian bertemu di Sudan.
Selama ribuan tahun, bangsa-bangsa yang berada di lintasan sungai Nil telah menikmati air yang melimpah dari sungai itu. Bahkan, keberhasilan pembangunan Piramida di Mesir berhutang budi pada sungai Nil. Kok bisa? Apa hubungannya?
Di era Firaun, pertanian gandum sukses berkat pengairan air yang bagus. Gandum kemudian diproses untuk jadi minuman bir. Nah, bir itu jadi “mata uang” untuk membayar para pekerja yang membangun Piramida. Di era Firaun, mata uang “recehan” paling populer adalah bir, sebab emas dan perak adalah pecahan yang bernilai tinggi.
Karena itu pula, Ethiopia kini mengklaim bahwa saatnya mereka menikmati air dari sungai Nil secara serius. Mereka membangun bendungan (dam) raksasa yang diharapkan dapat menjadi sumber air bagi industri pertanian dan energi. Sedemikian besarnya bendungan itu, hingga dibutuhkan waktu tujuh tahun untuk bisa terisi penuh. Tentu saja, Sudan risau sebab akan mengganggu suplai air ke pembangkit listrik dan pertanian mereka. Mesir pun sama.
Bedannya, Sudan lebih memahami keinginan Ethiopia, dan hulu Nil yang mengalir dari Uganda masih bisa masuk ke negara mereka. Jadi, walaupun air Nil dibendung di Ethiopia, aliran dari Uganda masih mencukupi. Sementara Mesir keberatan jika Ethiopia langsung mengisi bendungannya secara full power. Mesir mengusulkan agar Ethiopia mengisi bendungan pada bulan “ber-ber” (September-Desember) saja. Tapi Ethiopia keberatan karena jika dengan cara itu, bendungan baru bisa penuh selama 20 tahun, sementara pembangunan bendungan hasil utang dengan Cina.
Di sinilah letak masalahnya. Utang 20 milyar dollar untuk membangun bendungan itu harus dibayar. Dan — seperti biasa — Amerika memancing di air keruh. Sebagai sekutu dekat Masir, Amerika berpihak pada negeri piramid itu. Maka, atas usul Amerika, persoalan rebutan air ini menjadi topik yang harus didiskusikan di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Mesir berdalih, ada konvensi PBB yang harus ditaati Ethiopia, yaitu Konvensi PBB tentang Aliran Air (Convention on the Law of the Non-Navigational Uses of International Watercourses). Menurut Mesir, dengan merujuk pada konvensi tersebut, Ethiopia dilarang untuk membendung air sebab — pada pasal 7 konvensi Aliran Air disebutkan — “in utilizing an international watercourse in their territories …. take all appropriate measures to prevent the causing of significant harm to other watercourse states”.
Menurut Mesir, dengan membendung air demi kepentingan pemenuhan “Grand Renaissance Dam” itu, Ethiopia telah menyebabkan negara-negara yang membutuhkan air terzhalimi (causing of significant harm). Maka Mesir meminta PBB bersikap tegas atas pelanggaran yang dilakukan Ethiopia. Menjawab tuduhan Mesir itu, duta Besar Ethiopia di PBB berkata, “mereka telah menikmati sungai Nil ribuan tahun, wajarlah bila kami sekarang menikmatinya”.
Tentu, sebagai sesama negara mayoritas Muslim, kita berharap Ethiopia, Sudan dan Mesir tidak terpancing hingga terjebak dalam kepentingan dua negara adidaya. Cina perlu uangnya dikembalikan, tentu dengan bunganya. Amerika perlu membela Mesir untuk memuluskan agenda lainnya, yaitu perdamaian Israel dan negara-negara Arab.
Seperti kita tahu, Israel baru saja menandatangani perjanjian damai dengan Uni Emirates Arab dan Bahrain atas “jasa baik” Amerika. Maka, target Amerika berikutnya adalah Saudi Arabia. Sebagai sekutu dekat Amerika, Mesir tak boleh kacau, apalagi sampai dikuasai kembali partai Ikhwanul Muslimin. Sekali Mesir kembali ke pangkuan IM, semua agenda Amerika berantakan.
Wallahua’lam bis shawwab.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: