Preteks Pada Viralitas Video UAS

Ustadz Abdul Somad L.C M.A saat menyampaikan Ceramah di acara Maghrib Akbar di Gedung Croatian Club, Punchbowl, Sydney Australia. (HI/zak)

dakwatuna.com – Jakarta. Pada bagian politik elite, konsolidasi nampak telah usai dengan membangun kesetimbangan baru. Kita menunggu hasil kompromi dan negosiasi melalui struktur kabinet. Problemnya, di tingkat akar rumput residu kontestasi masih terus berlanjut, seolah tidak pernah usai.

Polarisasi yang terpelihara bisa jadi dimainkan oleh para pihak untuk mengambil keuntungan tidak terpuji. Inilah hasil dari bibit friksi politik yang masuk ke berbagai ranah kehidupan, bahkan paska peristiwa politik itu telah selesai berlangsung.

Terakhir viral di sosial media, potongan klip video ceramah UAS yang dianggap melecehkan pemeluk agama lain. Tidak hanya itu, perbandingan sejenis dibuat dengan melakukan komparasi kejadian sejenis pada periode kontestasi politik terdahulu.

Jelas situasinya berbeda, dan tidak dapat dapat dianalogikan secara linier. Terutama terkait pada kajian aspek komunikasi. Tulisan ini, dapat ditafsir secara bebas untuk melakukan uraian masalah dari sudut pandang penulis, khususnya pada relasi teks, konteks dan interteks yang terjadi pada video viral tersebut.

Jejak digital adalah bagian yang tidak terpisahkan di era modern saat ini. Kejadian di masa lalu yang termuat dalam kanal internet dengan mudah di recall, disimpan dan ditayangkan kembali.

Lalu apa yang salah dengan hal itu? Masalahnya muncul ketika sebuah teks dilepaskan dari konteksnya, serta tidak melihat aspek interteks yang terjadi pada periode awal saat kejadian berlangsung, serta bagaimana tafsir itu dilakukan saat ini.

Klarifikasi UAS

Pada video pendek selanjutnya, UAS menjelaskan duduk perkara yang kini membawanya sampai pada laporan aduan yang menurut kabarnya akan disampaikan kepada pihak kepolisian di NTT. Ada beberapa hal yang diterangkan disitu:

Pertama: posisi UAS menjawab sekaligus menjelaskan terkait pertanyaan jamaah yang hadir pada saat kajian tersebut berlangsung, terkait dengan tema keimanan dan keIslaman, yang kebetulan pertanyaan tersebut terkait dengan simbol agama lain.

Kedua: kejadian tersebut berlangsung dalam sebuah forum yang terbatas, dan tentu saja tidak dilakukan terbuka, dalam kapasitasnya sebagai penceramah dan tokoh agama. Situasi dan kondisi kejadian itu telah diletakan pada posisinya yang sesuai.

Ketiga: konstruksi kejadian itu, sesungguhnya telah berlangsung pada tiga tahun silam. Dalam makna sebuah peristiwa di masa lalu, yang baru muncul dan mendapatkan viralitas di waktu sekarang. Hal itu perlu dilihat lebih jauh sebagai sebuah keganjilan.

Dengan demikian, agaknya harus dicermati bagaimana produksi teks dilakukan, serta didistribusikan hingga akhirnya di konsumsi publik. Pada kasus tersebut, pertanyaan terkaitnya adalah motif dari framing video tersebut? Pihak yang memiliki kewenangan, harus melakukan tindakan segera.

Menyoal Kasus

Mengapa UAS disorot? Tentu karena posisinya sebagai tokoh publik, dimana legitimasinya menempatkan figur UAS sebagai seorang penceramah dengan begitu banyak jamaah. Maka kita akan melakukan pengecekan terhadap konten dan konteksnya dalam sudut komunikasi, guna memahami kerangka bangunan peristiwa yang terjadi.

Pertama: dalam aspek konten ceramah UAS, sifatnya merupakan respons atas pertanyaan publik yang hadir pada saat peristiwa tersebut berlangsung. Posisi UAS mengambil sikap pasif dalam menjawab sekaligus menerangkan apa yang diminta oleh jamaah yang hadir. Dengan posisinya sebagai penceramah, termasuk melihat latar pendidikan UAS, maka konten tersebut adalah hal yang dipahami, berdasarkan keilmuan yang dimilikinya.

Kedua: berkenaan dengan konteks, kejadian ceramah UAS telah terjadi bahkan sudah lewat dalam hitungan tahunan. Pada bingkai komunikasi, kita melihat bagaimana teks itu berkaitan dengan kondisi sosial politik yang melingkupinya. UAS adalah tokoh agama, yang mengambil pilihan politik berbeda, pada periode kontestasi yang lalu. Adakah keterhubungan dengan kasus saat ini? Bisa saja, terutama bagi free rider yang tidak menyukai figur UAS.

Pada kajian komunikasi, khususnya terkait dengan retorika, yakni bentuk komunikasi dasar untuk berbicara dimuka khalayak ramai, sekurangnya terdapat tiga hal penting, yakni ethos-kredibilitas pembicara, pathos-kemampuan menyampaikan narasi yang menggugah dan logos-aspek rasionalitas dari pembicaraan yang disampaikan. Menggunakan indikator tersebut, UAS memang penceramah dengan kualifikasi yang memenuhi kriteria retorika yang dibutuhkan.

Preteks dan Sensitivitas Agama

Sekali lagi, kajian ini tidak hendak menyatakan apakah UAS salah atau benar dalam kedudukan hukum. Tulisan ini hendak memposisikan viralitas video UAS yang kini menjadi polemik serta perdebatan pada sudut kajian komunikasi. Letak pangkalnya pada aspek konten, konteks, relasi antar teks dan yang paling sering tertinggal adalah preteks.

Apa itu preteks? Sekurangnya itu adalah motif dari narasi yang dipersiapkan dan hendak di produksi pada bagian ujung paling awal. Bagaimana memaknainya? Preteks pula yang kemudian menjadi dasar bagi terjadinya perang di Irak. Tanpa bukti data argumentatif, negeri 1001 malam itu mendadak harus diperangi secara fisik, dengan tuduhan mempersiapkan senjata pemusnah massal.

Terkait agama, dalam sejarah kehidupan manusia merupakan hal yang rumit karena berkaitan dengan keyakinan yang sulit dirubah. Maka himbauan MUI untuk saling menahan diri adalah hal yang terbaik dalam melihat kasus UAS. Sekaligus sebagai sarana reflektif hasil dari benih yang ditanam melalui ketatnya kompetisi politik yang dilewati, pada bulan kemerdekaan ini.

Lalu apa preteks dalam viralitas video UAS? Banyak pihak yang tidak menghendaki bangsa ini pulih dalam normalitas barunya. Banyak kepentingan yang bisa jadi bermain untuk menciptakan kondisi instabilitas. Terlebih terkait dengan isu sensitif soal agama. Preteksnya jelas, menginginkan disharmoni terjadi, sementara proses menuju recovery kebangsaan paska keterbelahan sedang mulai terjadi secara perlahan.

Preteks disharmoni ini disambung dengan viralitas tandingan terkait keagamaan yang beredar di sosial media. Aksi reaksi terjadi. Perdebatan mengemuka. Jika dibiarkan akan menjadi bola liar yang menerjang banyak pihak. Pada upaya menangani preteks tersebut, maka peran parapihak terkait, dibutuhkan untuk mencegah persebaran titik persingungan yang meluas.

Kita belajar bahwa kita belum sepenuhnya merdeka dari sisa debu kompetisi politik yang sengit. Sekaligus, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan dalam kesempitan dari kejadian ini. (rmol/dakwatuna.com)

Become a good journalist...!
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...