Masa Kampus: Sebuah Rangkaian Fase

Ilustrasi. (okezone.com)

dakwatuna.com – Saya membagi masa berproses di kampus menjadi tiga fase sederhana. Pertama adalah fase adaptasi. Kedua, eksplorasi. Dan ketiga adalah kontribusi. Saya akan coba bedah satu-satu.

Pertama, fase adaptasi. Memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi adalah kesempatan langka. Ada yang setelah selesai SLTA langsung bisa meneruskan. Ada yang menunda 1 bahkan sampai 2 tahun. Ada yang harus bekerja keras dahulu untuk memperoleh penghasilan, dan ada yang bahkan tidak cukup kuat bertahan berjuang hingga harus pupus di tengah. Adalah hal yang wajar jika syukur adalah satu hal pertama dan utama yang perlu dilakukan tatkala mampu melalui cobaan tersebut.

Bersyukur sesungguhnya tidak membatas pada rasa lega atau ucapan terima kasih. Syukur akan memiliki energi dan makna ketika ia mewujud pada sebuah tindakan yang aktif. Sebuah tindakan yang ketika hal itu dilakukan manfaatnya terasa bagi orang lain. Sebuah tindakan yang ketika hal tersebut dilakukan mengundang orang lain untuk turut mengucap “terima kasih”. Kembali, ini tentang mewujudkan ucapan menjadi tindakan.

Bersyukur adalah mendayagunakan segenap potensi yang kita miliki untuk meluaskan kebaikan dan memberi kebermanfaatan bagi orang lain. Sehingga ada atau tidaknya diri kita dalam kehidupan sepatutnya menjadi sebuah pembeda. Adalah hal yang perlu diwaspadai jika ada atau tidaknya kita apakah lantas memberi pengaruh bagi sekitar. Jika tidak sama sekali, barangkali itu sebuah alarm bagi kita untuk sejenak menepi. Bukan, bukan maksud saya mengucapkan bahwa kamu tidak berguna. Justru kita menepi untuk berpikir sejenak. Menelisik ruang yang belum terjamah. Sebab bisa saja sebelumnya kita terperangkap dalam warna dan watak yang sama dengan lingkungan sehingga ada atau tidaknya kita justru tidak memberi pengaruh bagi sekitar. Saya percaya setiap manusia lahir untuk menjadi berguna dengan versi dan caranya masing-masing.

Syahdan, apa hubungannya dengan adaptasi?

Konsep bersyukur yang saya jelaskan di awal perlu dimaknai sebagai sebuah itikad baik di awal. Konsep ini yang kemudian kita pegang teguh dalam ikhtiar kita menyelami samudra ilmu di kampus. Menceburkan diri dalam berbagai kepanitiaan, organisasi, bahkan komunitas adalah sebaik-baik upaya untuk menggali potensi diri. Pun, jika memang sejauh ini kita belum mampu mengenali diri bukan alasan untuk memutuskan berdiam diri bukan? Saya percaya bahwa keterdiaman hanya membuah kekosongan.

Adaptasi tidak hanya dimaknai sebagai upaya untuk menyesuaikan diri. Adaptasi adalah usaha kita menyelidik, bertanya, hingga akhirnya menemukan jawaban atas kegelisahan. Kampus adalah tempat tanya dan jawab berada. Ada yang masih berjarak dan ada pula yang telah dipertemukan. Adaptasi adalah untuk mempertemukan dua hal yang berjarak tersebut. Maka tahun awal adalah masa untuk mengumpulkan banyak tanya. Dan tahun awal adalah masa untuk berjuang mempertemukan sebanyak-banyaknya tanya kepada jawaban. Dengan tetap berpegang teguh pada konsep bersyukur di awal maka pastikan muara dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak membatas pada jawaban. Namun pastikan muara akhir dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pada rasa “terima kasih”. Rasa terima kasih adalah buah manis yang terpetik ketika kita memaknai pertanyaan-pertanyaan tadi sebagai kunci pembuka untuk mendamaikan setiap gelisah dan masalah yang belum sempat terselesaikan sebelumnya, bagi kita maupun orang lain.

Kedua, eksplorasi. Pada fase ini kita seharusnya sudah tidak lagi menyumpahi takdir yang seakan menjebak kita pada jurusan yang salah. Kita sudah selesai dengan itu. Pada fase ini seharusnya kita telah tenggelam dalam kegembiraan berproses di berbagai perkumpulan atau organisasi. Eksplorasi adalah sarana penajaman laku dan pikir. Bisa melalui sarana di organisasi, klub, maupun kegiatan ekstra lainnya. Pada fase ini kita menemukan kesadaran atas apa yang menjadi potensi kita, apa yang menjadi passion kita, dan yang pertama dan utama adalah siapa diri kita sebenarnya.

Semakin kita mampu mengenali diri maka sudah seharusnya semakin kita mampu memahami diri sendiri. Sederhananya adalah kita mampu mengetahui apa yang bisa kita lakukan, apa yang tidak bisa dilakukan. Apa yang menjadi kelemahan dan apa yang menjadi kekuatan sehingga muara dari identifikasi ini sebenarnya pada satu hal;

“..kita mampu mengetahui apa yang bisa menjadi manfaat bagi orang lain dan apa yang bisa menjadi kerugian bagi orang lain. Jika itu bermanfaat maka pastikan kita lakukan itu dengan segera dan sebaik-baiknya. Dan jika itu akan menimbulkan kerugian maka kita akan hindari hal itu lebih dini..”

Dalam beberapa kasus kegiatan eksplorasi ini tidak membatas pada kegiatan pada satu organisasi tertentu. Mereka yang tengah bereksplorasi ini kerap kali mengambil banyak ruang untuk terus mencari. Mereka mengambil banyak organisasi untuk diselami dan bercampur dengan dinamika di dalamnya. Meskipun dalam keberjalanannya mereka akan sulit untuk mendamaikan jadwal kegiatan-kegiatan lain yang kerap kali berkonflik atau tenaga yang tersisa begitu terbatas. Mulai dari berpuluh sampai beratus orang dijumpai, berpuluh kali rapat dihadiri dan dipimpin, dan belasan kali kegiatan dirancang dan dieksekusi. Semua peluh ini adalah harga yang harus dibayar untuk akhirnya mengetahui apa yang menjadi potensi diri, mutiara diri. Syahdan, tatkala mutiara tersebut akhirnya ditemukan di tempat yang paling dasar maka saatnya membawa mutiara tersebut ke permukaan.

Menginjak pada fase terakhir adalah fase kontribusi. Sebuah fase tatkala mutiara tersebut ditemukan maka ia ada untuk menampilkan keindahannya. Membuat setiap pasang bibir mendecak kagum sehingga menelusupkan kegembiraan bagi setiap pasang mata yang melihatnya. Kegembiraan tersebut turut terasa sama halnya ketika kita akhirnya mengetahui apa yang menjadi potensi diri. Sesungguhnya kegembiraan ini sepatutnya tidak membatas pada kegembiraan pribadi namun menjadi sesuatu yang meluas sehingga bisa dirasakan orang lain.

Hal terbaik untuk menjaga barang terbaik adalah merawatnya dengan baik-baik. Begitu pula dengan potensi diri. Hal terbaik untuk menjaganya adalah dengan merawatnya, melalui konsistensi karya ataupun kerja-kerja yang memberikan dampak bagi sekitar. Fase kontribusi perlu dimaknai sebagai fase yang akan memberikan potret pembeda. Secara sederhana kontribusi adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya kita adalah sebuah pembeda. Segenap ilmu dan pengalaman yang telah diperoleh pada dua fase sebelumnya adalah bekal yang kelak digunakan untuk membantu kita dalam memberikan dampak yang menuntun pada kemajuan. Segenap kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu, segenap kekurangan yang belum sempat ditutupi di masa lampau adalah energi yang kelak kita bawa untuk memperbaiki apa yang bisa dijumpai di masa kini dan nanti.

Maka yang bisa dimulai saat ini adalah mulailah bergerak. Coba semua hal baru. Tatkala menemui hambatan ataupun kejenuhan dalam berproses, bergeraklah seperti air. Ketika ada batu yang menghambat alirannya, air tidak menghenti. Ia lantas mencari celah lain agar bisa tetap mengalir maju. Begitu pun dalam ikhtiar menggali potensi, ia menuntut kesetiaan dan kesabaran dalam menemukannya. Dan tatkala ia berhasil ditemukan, ia hanya meminta kebijaksanaan dan kebaikan dalam memanfaatkannya. Selamat berproses!

Aditya Nurullahi Purnama adalah peneliti di Lembaga Kajian Lingkar Studi Tjokro. Saat ini tengah menempuh studi di Departemen Sejarah Universitas Diponegoro.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...