Nafas Dakwah

ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Nafas Dakwah ini berhembus sejak 17 tahun yang lalu. Sewaktu kawan sebaya bercelana abu-abu bingung mencari cara menghabiskan waktu.

Di masjid itulah, Habiburrahman, aku belajar tahsin bersama Sang Guru, Ustadz Djunaidi yang mengizinkan seorang remaja lugu bergabung dalam group tahsin pegawai PT. DI yang terhormat.

Nafas dakwah itulah yang terus berhembus hingga hari ini mengisi rongga kehidupan. Lima tahun aku serap ilmu Sang Guru. Kemudian petualangan akademisku mengatarkanku ke Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Tapi dakwah itu tidak lagi berjalan lambat-lambat, justru berlari kencang. Karena target, mimpi dan obsesi dakwah tidak hanya di level lokal, tapi internasional.

Belasan guru dakwah kutekuni, dari Sang Murabbi dari Depok, Sulawesi, Riau, Padang hingga Mesir. Berdinamika bersama, senyum, tertawa, menangis, marah dan semangat bersama, mengisi waktu-waktu kami berdakwah di tanah para nabi.

Berlatih disiplin, tidak telat dan tidak terlalu cepat datang walau semenit bersama Sang Guru Mesir dari Manshurah, adalah pengalaman tidak terlupakan. Dididik untuk mengamalkan Risalah-risalah dengan singkat, padat, jelas, elaboratif, analitis, kritis adalah makanan mingguanku bersama lingkaran saudara seiman, sepemikiran dan se-visi di Al-Azhar. Begitulah cara guru dakwah Mesir mendidik kami. Maka itulah style pengajian mingguan-ku yang harus kuat secara ilmiah, terbuka untuk diskusi, juga tidak membuka mulut ini kecuali berdalil dan berlogika. Dan di kemudian hari aku selalu membawa iklim ini.

Lalu nafas dakwah ini juga mengantarkanku pada negeri Napoleon. Setahun pertamaku di Perancis, di kota kecil Saint Etienne, kujalani dakwah ini sepi sendiri sebagai muslim Indonesia. Tapi tetap bertemu virtual bersama saudara-saudara tercinta dari berbagai universitas dan kota. Kendala jarak dan biaya kami siasati dengan teleconference Skype dan jaringan Wifi yang mencapai 100 Mbps.

Begitupun saat aku pindah ke Paris menjalani S2 ku. Nafas dakwah itulah yang memompa semangat menjadi muslim dai justru di jantung kota yang penuh godaan itu. Bahkan negeri-negeri Eropa kujelajahi karena nafas dakwah itu memompa deras mengajak ekspansi tak hanya di satu negara, tapi dakwah global ke Jerman, Belanda, Austria, juga di negeri yang Rasul katakan akan kita sinari dengan Islam: Italia.

Petualangan akademisku yang paling mutakhir adalah Inggris, Manchester. Nafas dakwah yang sama adalah teman sejatiku, untuk menjadi modal hidup menghadapi pluralitas dan liberalnya masyarakat Inggeris. Persaudaraan kita bangun bersama, dakwah kita perluas tidak hanya untuk muslim Indonesia, tapi kita berbicara untuk muslim dunia bahkan berdialektika dengan calon-calon muslim Eropa. Jaringan dakwah globalpun makin kubangun dari Inggris. Dengan berbagai forum keislaman se-Eropa, berbagi gagasan dan strategi dakwah hingga ke Ceko, Hongaria dan Turki.

Lalu pulanglah aku ke negeriku sendiri, di tahun 2016 dengan nafas dakwah menggebu untuk berpartisipasi dalam perubahan negeri. Bertemulah aku dengan saudara lama, Guru-guru, juga Sang Guru pertama: ustadz Djunaidi. Hingga 2018 ini, total guru dakwah-ku ada 16 ustadz. 5 di Indonesia, 8 di Mesir, 1 di Perancis dan 2 di Inggris.

Lalu program mulai digelar, kajian mulai ditebar dan semangat membangun negeri ini kian menggelegar. Itulah aura yang kurasakan dari sebagian para aktivis dakwah negeri ini. Tapi saat persoalan internal muncul, analisis mandiri kulakukan. Semua bekal pisau metodologi politik, kuterapkan. Hasilnya kusimpulkan, kendaraan dakwah yang kunaiki perlu perbaikan. Kuusulkan beberapa gagasan. Kuikuti beberapa pertemuan. Kurumuskan beberapa tawaran bersama kawan seiman se-pergerakan. Hasilnya sama, kendaraan-ku perlu pengembangan. Pengembangan pemikiran, konsep, strategi politik, manuver koalisi, bahkan konten kajian rutin mingguan-nya. Suatu hari akan kutulis tawaran gagasan-gagasan ini dalam serial #MindsetDakwah.

Lalu aku bertemu dengan para pemuda yang merasakan keresahan bersama. Apa yang sudah kusimpulkan mendahului pertemuan dengan para pemuda ini. Maka pertemuan ini (minimal untukku) bukanlah pertemuan kekaguman orasi, apalagi ‘wala syakhsyi’ tapi pertemuan pikiran-pikiran peradaban. Ditambah, rasa cinta pada dakwah ini semakin memberi energi konstruktif, bahwa dakwah ini menjadi tanggung jawab kita untuk dikembangkan.

Hari-hari kami jalani, tapi semangat ini justru dinilai berbeda. Bagi sebagian orang, semangat perbaikan dianggap pembangkangan. Gerakan penyadaran dianggap pengkhianatan. Lalu label buku fenomenal itu dengan mudah disematkan. ‘Al-Mutasaqithun fi thariq da’wah’, yang berjatuhan di jalan dakwah. Nafas dakwah dianggap telah selesai, karena berganti dengan nafas kekuasaan, uang dan buta ketokohan.

Tanyalah aku sekali lagi, apakah nafas dakwah itu hilang? tanyalah langsung! Bukan menduga, menafsir dari foto, komen dan fenomena. Maka akan kujawab lantang: Nafas dakwah itu tidak pernah berhenti, tidak akan berhenti, justru akan semakin melambung tinggi hingga izrail yang memaksanya terhenti. (elvandi/dakwatuna.com)

Muhammad Elvandi lahir di Bandung, tahun 1986. Ia menyelesaikan seluruh pendidikan dasarnya di Bandung: SDN Cibuntu 5, SLTPN 25 dan SMUN 9. Bahasa Arab mulai dikenalnya dari dasar selama dua tahun di Ma’had Al Imarat dan bahasa Inggris selama sembilan bulan di LIA. Skill kepemimpinannya terlatih sejak pramuka, menjadi ketua IKMA rohis SLTPN 25, ketua bidang tarbiyah PRISMAN SMUN 9, dan president UCC (United Conversation Club) dan presiden mahasiswa BEM Al Imarat. Pengalaman menulis pertamanya adalah sebuah novel kepahlawanan di zaman perang salib ‘Syair Cinta Pejuang Damaskus‘ tahun 2006. Pertengahan tahun 2007 mendapatkan beasiswa kuliah S-1 di Universitas al-Azhar Mesir, jurusan Da’wah wa Tsaqâfah al-Islâmiyyah hingga selesai tahun 2011. Selama menjadi mahasiswa di Mesir kembali menekuni aktivitas kepenulisan hingga terbit buku ‘’Inilah Politikku’’. Juga terjun dalam organisasi mahasiswa dan menjadi ketua BPA-PPMI. Dan menjadi pembicara di puluhan forum Keislaman, Kepenulisan, Leadership, Public Speaking dan Politik. Ia menggemari sastra secara umum, juga buku-buku sejarah, pemikiran, dan politik. Tahun 2011 Elvandi meneruskan kuliah ke Perancis. Mempelajari bahasa Perancis dalam setahun di Saint Etienne lalu mengambil Master Filsafat di Institut Europeen des Sciences Humaines de Paris hingga 2014. Ia menjadi konsultan pendidikan dan keislaman untuk komunitas pekerja perusahaan Internasional Total Paris, juga menjadi pembicara keislaman dan keindonesiaan di KBRI Perancis, KBRI Autria, KBRI London, Forum Keislaman IWKZ Berlin, SGB Utrech Belanda, KIBAR United Kingdom, dan beberapa komunitas muslim lokal di Newcastle, Manchester, Glasgow dan Aberdeen. Tahun 2014 Elvandi mengambil mengambil Master kedua di University of Manchester pada program MA Political Science: Governance and Public Policy yang diselesaikan di pertengahan 2015. Saat ini Elvandi membangun beberapa lini bisnis di Indonesia dan Eropa, juga menjadi pembicara di forum-forum dalam dan luar negeri, serta menjadi dosen di Telkom University Bandung. Elvandi juga membina berbagai komunitas anak muda di Indonesia. MUDA Community (www.muda.id) adalah komunitas Muslim Berdaya yang fokus membangun kemampuan pemikiran dan ilmu-ilmu keislaman di generasi muda. Juga AFKAR Institute, adalah lembaga kajian strategis, Think Tank yang mengkaji tema-tema strategis keumatan di level Indonesia dan global.
Konten Terkait
Disqus Comments Loading...