Bentuk-Bentuk Penyimpangan di Jalan Dakwah (Bagian ke-1: Penyimpangan Tujuan)

Ilustrasi. (hdwallpapers4u.eu)

dakwatuna.com – Banyak bentuk penyimpangan dari prinsip dakwah. Ada yang jelas, ada pula yang tersembunyi dan samar-samar. Penyimpangan dapat berbentuk penyimpangan tujuan (ghayah), sasaran (ahdaf), sekitar jamaah dan komitmen (iltizam), pemahaman (fahm), sarana (wasilah), langkah (khiththah), dan lain-lainnya.

1. Penyimpangan Tujuan (Ghayah)

Penyimpangan tujuan termasuk salah satu penyelewengan paling berbahaya yang harus dihindari. Tujuan dakwah, semata-mata karena Allah. Dakwah yang bertujuan selain Allah, atau menyertai tujuan-tujuan lain, seperti tujuan dalam bentuk kepentingan pribadi selain tujuan kepada Allah, adalah suatu penyimpangan.

Setiap penyimpangan tujuan, meskipun ringan atau kecil, tetap akan menyebabkan amal tersebut tertolak. Allah tidak menghendaki sekutu dan tidak menerima amal, kecuali yang ikhlas karena-Nya. Karena itu, mengikhlaskan niat karena Allah dan membersihkan dari segala noda, menjadi persoalan mendasar dalam jalan dakwah ini. Dakwah memerlukan pelurusan niat dan pemantapan yang terus menerus. Jiwa manusia sering dipengaruhi hawa nafsu. Syaithan dapat menyusup ke aliran darah manusia, berusaha merusak ibadah, jihad, juga membatalkan amal dan pahala seseorang.

Bahaya Penyakit Hati

Riya’, ghurur (lupa diri), sombong, ego-centris dan gila popularitas, sebenarnya justru meruntuhkan popularitasnya sendiri. Memburu tujuan duniawi; seperti jabatan, kehormatan, kekayaan atau kekuasaan serta hal-hal duniawi lainnya yang tidak berharga. Ke semuanya merupakan contoh penyakit hati yang menyebabkan manusia menyimpang dari tujuan.

Penyakit hati merupakan penyakit paling berbahaya. Lebih berbahaya ketimbang penyakit jasmani yang pengaruhnya hanya terhadap jasad, yang fana sebatas kehidupan dunia. la (penyakit hati) dapat merusak niat seta membatalkan amal.

Setiap manusia mengidap penyakit hati. Tetapi, orang beriman selalu melawan dan menundukkan dengan kekuatan iman, takwa dan muraqabah akan Rabb-nya. Dengan pembaruan niat, mengutamakan yang ada di sisi Allah ketimbang semua kemewahan dunia. la yakin balasan Allah lebih baik dan kekal.

Penyakit hati memang sulit dilawan dan dibersihkan. Sebab, di sana terjadi perebutan pengaruh dan pertarungan, antara dorongan kebaikan dan kejahatan.

Antara mujahadah (perlawanan) terhadap nafsu dalam rangka membersihkan diri dan mendekatkannya kepada Allah dengan tarikan dunia yang bersifat nafsu jasmaniyah dan kemewahan dunia. Allah berfirman:

“Sungguh telah menang orang yang membersihkan nafsunya, dan celakalah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami. Pasti Kami akan menunjukkan kepada mereka berbagai jalan Kami, dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Al-Ankabut: 69)

Penyimpangan tujuan tidak harus berarti mengarahkan secara total kepada tujuan-tujuan duniawi; berpaling secara total dari Allah, sedikit saja di dalam hati, itu sudah termasuk penyimpangan. Akibatnya, membatalkan amal dan mengeluarkannya dari batasan ikhlas karena Allah.

Penyimpangan tujuan sangat berbahaya. Karena niat berada di hati, sehingga sulit diketahui, walaupun, sudah terjadi. Kecuali, sesudah ekses penyimpangan yang tidak dapat ditutupi lagi. Kemudian merusak jamaah, atau paling tidak berpengaruh buruk. Terutama, jika yang bersangkutan mempunyai posisi menentukan. Akhirnya, mereka harus dikeluarkan dari barisan (shaf). Kecuali jika mereka taubat dengan membersihkan hati dan mengikhlaskan diri kepada Allah.

Ketentuan Allah kepada kaum Mukminin, dalam berdakwah harus bebas dari segala kebusukan. Barang siapa berniat baik, Allah menjadikannya sebagai pengembang dakwah. Barang siapa menyimpan kebusukan di hatinya, Allah tidak akan menyerahkan dakwah ini kepadanya. Untuk membedakan antara haq dan bathil guna menyusun shaf yang bersih, menjadi sunnatullah diperlukan ujian dan cobaan, sebagaimana firman Allah:

“Alif Laam Miim. Apakah manusia menyangka bahwa setelah mereka mengucapkan; ‘Kami telah beriman’, mereka akan dibiarkan tanpa diuji? Sungguh Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, agar Allah membuktikan siapa yang benar dan siapa yang berdusta”. (Al- Ankabut: 1-3)

Urgensi Keikhlasan

Karena keikhlasan dan segala akibatnya merupakan masalah mendasar, maka ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi banyak membicarakannya, misalnya:

“Katakanlah, sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan aku diperintah agar menjadi orang pertama yang menyerahkan diri.” (Az-Zumar: 11-12)

“Katakanlah, hanya kepada Allah aku menyembah dengan mengikhlaskan ibadahku kepada-Nya”. (Az-Zumar: 14)

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Rabb sekalian alam, tanpa menyekutukan-Nya, demikian itu diperintahkan kepadaku.”

“Ingatlah, hanya kepada Allahlah pengabdian yang ikhlas itu”. (Az-Zumar: 3)

“Dan mereka tidak diperintahkan melainkan mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya, dengan menjauhi kesesatan”. (Al-Bayyinah: 5)

“Sesungguhnya semua amal itu akan diterima sesuai dengan niatnya”. (Bukhari dan Muslim)

“Dari Abu Hurairah RA ia berkata; Rasulullah SAW telah bersabda, ‘sesungguhnya Allah tidak menilai penampilan atau bentukmu, tetap Allah menilai hatimu’”. (HR. Muslim)

“Dan dari Abu Musa Abdullah bin Qays al-‘Asy’ari RA ia berkata, ‘Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin dikatakan berani, fanatisme golongan, dan riya’. Manakah yang bernilai sabilillah? Rasulullah menjawab, ‘Barang siapa yang berperang agar kalimat Allah bisa ditegakkan maka sesungguhnya ia telah berperang di
jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian pentingnya keikhlasan dalam berdakwah; sehingga, Imam Asy-Syahid Hasan Al Banna menjadikannya salah satu rukun baiat yang ke-10. Semua orang wajib komitmen dengannya. Menepati dan menjaganya dari segala bentuk noda, agar tidak melanggar baiatnya.

Menurut Hasan Al-Banna, pengertian ikhlas, ialah menunjukkan semua ucapan, amal dan jihadnya hanya kepada Allah semata. Karena mencari ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa mengharapkan keuntungan, popularitas, kehormatan, reputasi, kemajuan atau keterbelakangan. Dengan keikhlasan ini  seseorang akan menjadi pengawal fikrah dan aqidah. Bukan pengawal kepentingan dan keberuntungan.

Firman Allah:

“Katakanlah Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah karena Rabb sekalian alam, tanpa menyekutukan-Nya, demikianlah aku diperintahkan.” (An-An’am: 162-163)

Dengan demikian, seorang muslim dapat memahami makna doktrin “Allah tujuan kami” dan “Allahu Akbar Walilahil Hamdu.”

Menepati janji kepada Allah dengan tanpa mengganti dan menggeser niat sampai ajal tiba, merupakan salah satu kewajiban seorang prajurit dakwah. Sehingga orang tersebut masuk dalam golongan yang dimaksud Allah dalam firman-Nya:

“Dan di antara orang-orang yang beriman adalah yang menepati janjinya kepada Allah, maka di antara mereka ada yang telah syahid, dan ada yang masih menunggu-tunggu, tanpa mengubah janji mereka sedikit pun. Supaya Allah membalas orang-orang yang munafiq jika Ia menghendaki atau mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab: 23-24)

Macam-macam Penyimpangan

Kta harus waspada dalam menjalani cobaan berat berupa kesengsaraan dan malapetaka. Kita tidak boleh beranggapan telah lulus dari ujian. Padahal tidak tertutup kemungkinan akan gagal menghadapi cobaan lain. Misalnya cobaan keduniaan dengan segala kemewahan yang memesona. Karena hal itu menjadi kebiasaan musuh-musuh Allah dalam memerangi para prajurit dakwah.

Selain menguji dengan penderitaan juga membujuk dengan kemenangan dunia, kedudukan, dan segala macam fasilitas. Dengan itu, banyak orang tertipu dengan termakan oleh bujuk rayu mereka. Celakanya, orang-orang yang tertipu ini selalu mengatasnamakan amal Islami, dan berdalih untuk kepentingan Islam. Padahal mereka pembohong besar.

Jika kehidupan Rasulullah diukur dengan materi, maka beliau benar-benar orang yang sangat berkekurangan. Tidak sulit bagi beliau kalau mau menjadi orang yang paling mewah sekalipun. Beliau tidak suka hal itu. Rasulullah SAW lebih suka memberikan teladan kepada kita dalam zuhud dan enggan dengan kemewahan dunia, serta keutamaan yang ada di sisi Allah. Dunia, bukan negeri abadi dan bukan tempat kenikmatan. Apalagi kemewahan itu sering kali membawa kesengsaraan dan kehinaan.

Mari, Rasulullah kita jadikan sebagai pemimpin dan panutan dalam mengemban amanah dakwah ini. Meneladaninya, serta lebih berhati-hati terhadap fitnah dunia.

Kisah para tukang sihir di dalam AI-Quran; yang imannya dapat mengubah dan meluruskan neraca dirinya, dapat kita ambil sebagai pelajaran. Di siang hari mereka datang bertujuan menjilat Fir’aun untuk memperoleh harta dan kedudukan. Namun, tiba-tiba mereka menjadi beriman (kepada Allah). Sehingga intimidasi berupa penyiksaan sadis dari Fir’aun, mereka hadapi dengan tidak gentar.

Firman Allah:

“Mereka (para penyihir) berkata, “Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini. Kami benar-benar telah beriman kepada Tuhan kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah engkau paksakan kepada kami. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya).” (Thaha: 72-73)

Demikianlah, neraca kebenaran menjadi lurus kembali. Jika sikap para tukang sihir Firaun saja telah beriman seperti itu. Maka pantaskah bagi orang yang sedang lama orientasi hidupnya secara tulus dipersembahkan karena Allah?

Penyakit hati lainnya, ialah bila seseorang merasa dirinya lebih berpengalaman; la merasa lebih cerdas, lebih baik analisisnya terhadap setiap persoalan. la merasa lebih pintar tentang seluk-beluk politik dan cara melakukan perlawanan terhadap para musuh ketimbang orang lain. la merasa lebih super ketimbang orang lain. Menghina (meremehkan) peran orang lain. Meskipun ia orang yang banyak berjasa dalam dakwah.

Mereka itu, kalau mewujudkan suatu kebaikan dalam dakwah akan mengatakan, keberhasilan itu karena kemampuan dan kejeniusannya semata. la lupa akan karunia Allah, pertolongan dan taufiq-Nya. Padahal, tanpa karunia Allah, tidak akan terwujud suatu kebaikan. Hal ini, mengingatkan kita kepada sikap Qarun yang mengatakan:

“Aku peroleh ini semua adalah karena kepandaianku semata”. (Al-Qashas: 78)

Kami merasakan bahwa penyakit “ego sentris” juga dapat merusak dakwah. Mereka yang mengidap penyakit ini lebih suka mencari orang untuk menjadi pengikutnya sendiri daripada untuk menjadi pengikut jamaah. Hanya manusia-manusia setipe yang mau mendekatinya.

Kita hendaknya tidak mengikatkan diri dengan orang yang punya tipe tersebut. Meskipun, mereka itu mempunyai kedudukan dan kelebihan. Karena, itu merupakan sikap ular. Sedang ular sangat sulit dikendalikan bisanya.

Ketahuilah, orang yang berpenyakit semacam itu tidak pernah mau mengaku dirinya berpenyakit. Kemungkinan, karena ketidaktahuannya atas keberhasilan tipu daya iblis kepadanya. Akibatnya, penyakitnya semakin parah. Kita berkewajiban menyadarkan orang lain yang tidak mengikutinya. Orang-orang tersebut kadang-kadang membenarkan sikap ambisi pribadinya, dengan dalih kemaslahatan dakwah atau umat; bukan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, keikutsertaannya dalam satu pemerintahan thaghut (pemerintahan yang tidak menjalankan hukum Islam), semata-mata untuk kepentingan Islam. Ia menganggap perbuatannya itu sebagai taktik dakwah. Bahkan ia menuduh orang lain terlalu picik dalam menilai kemaslahatan dakwah. Seandainya di situ ada nilai kemaslahatan, apakah hanya dirinya saja yang berhak menilai?

Perlu diketahui, keberadaan mereka yang berwatak semacam itu dalam shaf setelah tidak mau diperbaiki lebih membahayakan ketimbang melakukan pembersihan shaf. Maka, tidak dapat diterima sikap sebagian orang yang dengan niat baik mentolerir mereka. Karena khawatir terjadi perpecahan dan takut kehilangan potensi mereka. Akhirnya dengan keberadaan mereka dalam shaf tidak hanya mereka yang dinilai menyimpang, tetapi shaf (barisan) tersebut juga menyimpang. Pembahasan masalah penyimpangan tujuan ini kita akhiri dengan mengutip kata-kata Syahid Sayyid Quthb:

“Satu demi satu anggota jamaah diserang kerontokan. Mereka akan gugur seperti daun kering yang jatuh dari pohon besar. Kemudian musuh menggenggam salah satu ranting pohon tersebut disertai anggapan, dengan tercabutnya ranting pohon tersebut akan dapat menghancurkan seluruh pohon itu, sehingga apabila telah tiba saatnya dan ranting pun dicabut, maka keluarlah dari genggamannya seperti kayu kering, tidak mati dan tidak pula hidup, sedangkan pohon tersebut tetap utuh seperti semula.” (dakwatuna/nnn)

Referensi: Syaikh Mushthafa Masyhur, Fiqih Dakwah, Jakarta, Al-I’tishom Cahaya Umat, 2000

Insya Allah bersambung

Konten ini telah dimodifikasi pada 17/11/18 | 15:14 15:14

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...