Kesaksian Warga Desa Kamboja Hempaskan Megaproyek Cina (Bagian 2/ Akhir)

Penduduk desa yang menerima kompensasi untuk meninggalkan tanah terus memprotes, mengklaim mereka diperlakukan tidak adil oleh UDG.(Andrew Nachemson / Al Jazeera)

Sejumlah keluarga yang menerima penawaran relokasi mengaku menyesal di kemudian hari.
Kompensasi yang ditawarkan, kata mereka, disertai dengan ancaman dan paksaan.

“Suamiku tidak pernah bernegosiasi. 100 persen ia tinggal di sini hingga ajal menjemput. Aku tidak takut,” kata Moeun. Ia percaya bahwa keputusannya merupakan tugas untuk melanjutkan warisan perlawanan suaminya.

Sekitar 184 keluarga di desa Moeun dan Say Hieng tinggal melakukan protes kepada perusahaan setiap harinya. Mereka menuntut agar tanah mereka dikembalikan.

Warga desa yang menerima kompensasi mendirikan tenda di tepi jalan yang mengarah ke desa lama mereka.

Di sepanjang jalan terdappat tulisan yang berbunyi: “Kami 184 keluarga meminta pemerintah untuk memenuhi janji”.

Di dalam kamp, penduduk desa menceritakan kisah tentang bagaimana perusahaan dan pemerintah menipu mereka. Mereka mengklaim dijanjikan lima hektar lahan di lokasi relokasi, tapi hanya menerima dua setengah saja.

Danau yang dibangun dengan membendung sungai kecil. (Al Jazeera)
Mereka juga mengeluhkan lahan yang mereka terima ada di dataran berbukit dan hutan, sehingga tidak dapat digunakan untuk bertani.

Kunjungan ke tempat relokasi menegaskan bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk pertanian, selain banyak rumah sudah berantakan.

Rayo Nguyen, seorang aktivis lingkungan hidup di Mother Nature Kamboja, mengatakan terakhir kali ia mengunjungi daerah itu, ia berkemah di tenda.

Ketika penjaga keamanan mendekatinya, ia harus mengaku sebagai seorang turis yang ketinggalan kapal terakhir ke pulau-pulau terdekat.

“Mereka mengatakan bahwa mereka takut orang Cina akan marah. Aku berkata, ‘Aku orang Kamboja, ini tanahku.”

Rencana untuk pelabuhan air dalam, bandara, dan resor kota kecil yang berfungsi penuh dilaporkan masih dalam pengerjaan, tetapi kunjungan terakhir oleh Al Jazeera mengungkapkan konstruksi tidak berlangsung.

Dermaga besar membentang ke lautan, berakhir tiba-tiba di air terbuka. Tidak ada kapal berlabuh atau pekerja di lokasi.

Dalam perjalanan ke resor ada danau raksasa, dibuat dengan membendung sungai kecil. Tampaknya danau itu tidak berfungsi apapun selain untuk pemandangan.

Ada tanda larangan untuk mandi atau memancing di sana.

Selain mencegah warga Kamboja menggunakan sumber daya alam mereka, proses pembendungan membanjiri sekitar lahan pertanian.

Beberapa lapangan golf telah dibangun di properti, dengan lebih banyak bangunan.

Resor utama memiliki kasino, hamparan pantai berpasir yang panjang, dan hotel-hotel mewah yang kosong.

Padahal, daerah itu bukan termasuk yang berpasir.

Satu-satunya orang yang terlihat adalah para buruh yang merawat kebun. (whc/dakwatuna)

Konten ini telah dimodifikasi pada 22/09/18 | 19:07 19:07

Konten Terkait
Disqus Comments Loading...